Menuju konten utama

Gelembung Bocor, Inflasi, dan Pandemi Membuat Startup Kelabakan

Beberapa startup melakukan PHK terhadap sejumlah karyawannya. Efek dari pandemi, inflasi, dan gagalnya strategi penggelembungan.

Gelembung Bocor, Inflasi, dan Pandemi Membuat Startup Kelabakan
Ilustrasi kurir shopee. foto/IStockphoto

tirto.id - PT. Shopee Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 187 karyawan alias 3 persen dari total sumber daya manusia perusahaannya yang berjumlah 6.232 karyawan.

Dalam keterangan tertulis, Head of Public Affairs Shopee Indonesia Radynal Nataprawira menyebut bahwa langkah PHK ini dilakukan "[atas] kondisi ekonomi global yang menuntut kami untuk lebih cepat beradaptasi serta mengevaluasi prioritas bisnis."

Sebagai salah satu e-commerce terbesar di Asia Tenggara, langkah PHK yang dilakukan Shopee di satu sisi terasa aneh.

Merujuk laporan e-Conomy SEA, sejak 2010 hingga 2020, tak kurang dari 140 juta penduduk Asia Tenggara berbondong-bondong berbelanja online untuk pertama kalinya. Dari jumlah tersebut, 40 juta di antaranya melakukan transaksi pada 12 bulan terakhir saat diberlakukan pembatasan aktivitas selama pandemi Covid-19.

Laporan itu menyatakan bahwa mereka yang telah berbelanja online, 90 persen mengaku akan terus berbelanja online meskipun pandemi berakhir.

Secara menyeluruh, terjadi pertumbuhan nilai pasar e-commerce hingga 63 persen pada 2020 dengan nilai sebesar $62 miliar. Pertumbuhan ini membuat Ninja Van, perusahaan jasa pengiriman barang asal Singapura, misalnya, mengalami pertumbuhan eksponensial.

Mereka mengirim 180 juta unit paket pada 2019, dan ketika pandemi tahun 2020 Ninja Van melipatgandakan pengiriman serta terus bertumbuh.

Di sisi lain, pertumbuhan e-commerce di Asia Tenggara diiringi meningkatnya suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed. Hal ini membuat pelaku investasi memilih menyimpan uangnya di bank alih-alih "dihamburkan" untuk membiayai perusahaan rintisan.

Terlebih, demi mengejar status unicorn alias startup yang memiliki valuasi lebih dari $1 miliar, banyak startup yang menggelembungkan nilai mereka secara serampangan tanpa pijakan nyata.

Will Gornall, peneliti dari University of British Columbia, dalam tulisannya berjudul "Squaring Venture Capital Valuations with Reality" (Journal of Financial Economics, 2020), mengatakan hampir 50 persen startup bergelar unicorn, overvalued alias memiliki nilai terlalu tinggi.

Gornall dan timnya menyatakan dari 135 startup unicorn yang diteliti, 65 di antaranya memiliki nilai yang terlalu tinggi dibandingkan nilai semestinya.

Airbnb, startup host-sharing, salah satunya. Data per September 2016 menyatakan perusahaan tersebut memiliki nilai valuasi $30 miliar. Namun, Gornall dan timnya menyatakan valuasi Airbnb hanya $26,1 miliar.

Ini juga terjadi pada Buzzfeed. Nilai valuasi pada November 2016 startup ini sebesar $1,70 miliar. Namun, Gornall menyatakan nilai sesungguhnya hanya berada di angka $1,08 miliar.

Kelakuan startup menggelembungkan valuasi mereka, menurut Gornall, untuk memperoleh pendanaan baru. Menarik simpati investor dengan mengiming-imingi bahwa startup mereka moncer.

Namun saat suku bunga acuan naik, strategi penggelembungan ini akhirnya termentahkan. Larinya uang investor ke bank juga terjadi karena melempemnya startup-startup yang terjun ke bursa saham.

Di tengah pandemi Covid-19, inflasi melonjak di mana-mana. Secara mengejutkan, pelbagai startup unicorn ramai-ramai melakukan aksi penawaran saham perdana (IPO).

Mereka mencoba bertransformasi dari perusahaan privat yang dipompa uang melimpah kapital ventura (VC) menjadi perusahaan publik yang mengumpulkan uang dari masyarakat umum. Zomato, startup asal India penyaji ulasan serta pengantaran makanan, memulai fenomena ini dengan menjual saham mereka untuk pertama kali kepada publik pada 14 Juli 2021.

Selanjutnya Paytm (fintech, India), Nubank (fintech, Brazil), dLocal (fintech, Uruguay), Bukalapak (e-commerce, Indonesia), Grab (ride-hailing, Singapura), serta GoTo alias "Gojek dan Tokopedia" (ride-hailing & e-commerce, Indonesia) menyusul langkah yang dilakukan Zomato.

Meskipun sempat mencapai 125,8 rupee (sekitar Rp23.700) per lembar saham di penghujung hari IPO dilakukan dari harga pembuka sebesar 76 rupee (sekitar Rp14.300), perlahan tapi pasti saham Zomato terjungkal.

Dalam hitungan hari sejak IPO dilakukan, saham Zomato melorot hampir 35 persen, menyentuh angka 75,55 rupee (sekutar Rp14.200). Nasib sama juga dialami Bukalapak yang harus rela melihat harga sahamnya melorot ke angka Rp352 dari harga pembuka sebesar Rp850 per lembar saham.

Padahal sebelumnya Bukalapak sempat perkasa di bursa saham dan unggul atas Bank Negara Indonesia (BNI) hingga Indofood CBP Sukses Makmur.

Singkatnya, terjadi pembantaian besar-besaran di bursa saham terhadap pelbagai startup bertitel unicorn tersebut. Ini membuyarkan mimpi indah para startup setelah dimanja modal "bakar-bakar duit" lebih dari $32,6 miliar--data Crunchbase dengan menghitung pendanaan yang dibuka/disiarkan dari pelbagai kapital ventura.

Kemudian terjadi "huge correction" yang akibatnya terjadi pemutusan hubungan kerja.

Shopee tidak sendirian. Startup-startup besar berlabel unicorn pun tak luput dari hantaman ini. Uber, misalnya, melakukan PHK terhadap 3.700 karyawannya atau 14 persen dari total pekerja.

Startup akomodasi dan wisata Airbnb telah mem-PHK 1.900 karyawannya atau sekitar 25 persen dari tenaga kerja perusahaan. Zenius, platform edukasi, mem-PHK 200 karyawan. LinkAja serta JD pun melakukannya. Bahkan, Airy, harus berhenti beroperasi secara total.

Pandemi Menghantam Bisnis Sharing Economy

Startup di segmen bisnis mana sesungguhnya yang paling terdampak pandemi?

Dalam laporannya untuk The New York Times, Kate Conger punya jawaban singkat: “sharing economy". Sharing economy merupakan konsep lama, yakni membagi aset secara peer-to-peer dengan transaksi yang dilakukan secara desentralisasi antarindividu.

Sharing economy kini bertransformasi setelah "ditunggangi" sentuhan teknologi, dalam hal ini aplikasi. Dalam laporan Komisi Perdagangan Federal AS bertajuk "The 'Sharing' Economy Issues Facing Platform, Participants and Regulators" (2016) disebutkan bahwa sharing economy merupakan marketplace yang dikelilingi tiga pemain utama: platform (aplikasi), penjual, dan pembeli.

Laporan tersebut menyatakan bahwa platform atau aplikasi berguna “untuk mempertemukan individu yang memiliki suatu barang dengan seseorang yang menginginkan barang tersebut”.

Pada waktu-waktu normal, ini tidak jadi soal. Namun, di masa pandemi, pertemuan antar pengguna platform atau aplikasi--baik yang menawarkan jasa maupun pengguna jasa--sukar dilakukan.

Selama vaksin belum ditemukan, menjaga jarak fisik sangat perlu dilakukan. Ditambah lagi, pemerintah di banyak belahan dunia memberlakukan karantina wilayah. Masyarakat hanya diperbolehkan keluar rumah hanya untuk urusan-urusan esensial.

Infografik Shopee PHK

Infografik Shopee PHK. tirto.id.Fuad

Pemrogram Uber, Grab, Gojek, Airbnb, dan startup teknologi lainnya dapat bekerja dari rumah tatkala karantina dilakukan.

Namun, pengemudi Uber, Grab, Gojek, atau akomodasi yang ditawarkan via Airbnb, atau pengantar makanan di FoodPanda, tidak akan dapat bekerja dari rumah. Pekerjaan mereka mengharuskan pertemuan langsung antara pemilik jasa dan orang yang membutuhkan jasa. Alhasil, transaksi jasa sukar dilakukan karena pandemi COVID-19.

Mengutip Statista, pariwisata dunia diperkirakan jatuh dari $685 miliar di tahun 2019 ke $396 miliar di tahun 2020. Sebagaimana diwartakan Reuters, dunia penerbangan internasional kini kehilangan 1,2 miliar penumpangnya akibat pandemi.

Platform sharing economy di bidang lain seperti Airbnb dan Airy yang mempertemukan pemilik akomodasi dengan konsumen, juga ikut terpukul.

Secara keseluruhan, pada 2019 bisnis ride-sharing menghasilkan pendapatan total senilai $302 miliar bagi berbagai pemainnya di seluruh dunia. Pendapatan bisnis ride-sharing diyakini akan terjun ke angka $192 miliar karena pandemi Covid-19.

Di dunia pariwisata, tempat Airbnb dan Airy serta OYO dan RedDoorz hidup, proyeksi pendapatan tahun 2020 diubah, dari $711 miliar menjadi hanya $447 miliar.

Menurut Direktur Wedbush Securities Daniel Ives, dunia sharing economy atau yang acap disebut gig economy, bisnis ini akan kehilangan 30 persen pendapatannya dalam satu hingga dua tahun mendatang. Dengan kata lain, bisnis yang dipelopori Uber ini akan tertatih-tatih.

Mengutip laporan AppJobs, platform komparasi aplikasi kerja yang melakukan survei pada 1.400 pekerja gig economy seperti pengemudi Uber yang terdampak pandemi Covid-19, 52 persen responden menyatakan sudah kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Yang paling menyedihkan, hanya 23 persen responden yang mengaku memiliki tabungan untuk bertahan hidup.

Baca juga artikel terkait PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi