Menuju konten utama

Gelar Pahlawan Zaman Jokowi: Politis dan Bias Agama

Pada November 2018, pemerintah Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan kepada 6 orang. Semuanya muslim. Aneh atau pola yang sudah lazim?

Gelar Pahlawan Zaman Jokowi: Politis dan Bias Agama
Joko Widodo (kedua kanan) menyalami Anies Baswedan seusai memberikan tanda jasa kepada ahli waris saat penganugerahan gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/11/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Hari Kamis, tanggal kedelapan di bulan Oktober 2018. Di teras Balaikota, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berdiri mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam. Dasinya berwarna merah terang. Kepada para pewarta yang sudah menyesaki halaman Balaikota pagi itu, Anies bercerita sedikit soal kakeknya, Abdul Rahman Baswedan.

Anies mengenang kakeknya yang pelahap sekaligus penulis buku. Segala macam buku, termasuk yang berbahasa non-Melayu, pun dibaca sang kakek.

"Anies, ada waktu kosong, baca!" ujar Anies menirukan nasehat kakeknya. "Ada waktu kosong, baca! Jangan pernah ada waktu kosong."

Bagi Anies dan sanak familinya, Kamis ini begitu penting. Sang kakek yang biasa dipanggil A.R. Baswedan itu sudah diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan sejak 2010. Pada Kamis (8/11/2018), dia diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Samhari Baswedan, anak bungsu A.R. Baswedan, berperan sebagai ahli waris yang menerima gelar tersebut.

A.R. Baswedan dikenal sebagai jurnalis. Ia tercatat pernah bergabung dengan koran Sin Tit Po sebagai pewarta. Koran itu dipimpin seorang Tionghoa bernama Liem Koen Hian. Liem pula yang menjadi gurunya dalam jurnalisme dan politik.

Di zaman pegerakan nasional, A.R. Baswedan terkenal karena mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI), kelompok penghimpunan keturunan Arab di Hindia Belanda yang berhaluan nasionalis, pada 1934. Kata "persatoean" dalam PAI berubah menjadi "partai" pada 1940 saat PAI memutuskan menjadi partai politik.

Bukan A.R. Baswedan seorang yang disemati gelar pahlawan pada tahun ini. Jokowi juga memberikan gelar pahlawan kepada Depati Amir, Muhammad Noor, Kasman Singodimedjo, Kiai Syam'un, dan Ibu Agung Andi Depu. Dengan menetapkan 6 orang tersebut sebagai pahlawan, pemerintah Jokowi menggenapi jumlah pahlawan di Indonesia menjadi 179.

Bagaimana Pemerintah Jokowi Memilih Pahlawan?

Tahun 2018 merupakan kali terakhir pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi memberikan gelar pahlawan. Secara keseluruhan, pemerintah Jokowi telah memberikan gelar pahlawan kepada 20 orang.

Dari 20 orang itu, sebanyak 18 orang (90 persen) beragama Islam. Dua orang non-Islam yang didapuk sebagai pahlawan pada era Jokowi adalah I Gusti Ngurah Made Agung (seorang Hindu; Raja Badung VII di Bali) dan Bernard Wilhelm Lapian (seorang Kristen; jurnalis di zaman pergerakan nasional dan sempat jadi Acting Gubernur Sulawesi Utara di awal Republik berdiri). Keduanya diberi gelar pahlawan pada 2015.

Pemberian gelar pahlawan kepada tokoh non-Islam tidak menjadi tren di era presiden Jokowi. Ia berhenti di tahun 2015. Pada 2016, gelar pahlawan diberikan kepada Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin. Sementara itu, semua yang diganjar gelar pahlawan pada 2017 dan 2018, jumlahnya 10 orang, beragama Islam.

Komposisi orang yang diberi gelar pahlawan beragama Islam di era Jokowi mencapai 90 persen. Angka itu hanya disaingi penganugerahan pahlawan era presiden Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati.

Namun, ketiga presiden itu menjabat singkat, tidak sampai 5 tahun. Habibie berkesempatan 1 kali memberi gelar pahlawan. Dia kasih gelar itu ke 4 orang, 3 Muslim dan 1 Katolik. Sedangkan Gus Dur memberikan gelar pahlawan dua kali, kepada 4 orang. Keempatnya beragama Islam. Sementara Megawati memberikan gelar pahlawan kepada 1 tokoh non-Islam dari total 8 orang pahlawan di periodenya.

Sementara itu, komposisi orang Islam yang dijadikan pahlawan di era Sukarno (1945-1968) mencapai 81,6 persen, sedangkan selama 1969-1998, komposisi orang Islam yang diberi gelar pahlawan oleh Presiden Soeharto sebesar 74,6 persen. Sepanjang periode tersebut, Sukarno memberi gelar pahlawan kepada 49 orang, sedangkan Soeharto kepada 55 orang.

Komposisi agama para pahlawan di era Jokowi ini cenderung mirip dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode pertama. Di periode itu, SBY menganugerahkan gelar pahlawan kepada 28 orang. Sebanyak 83,3 persen di antaranya beragama Islam.

Namun, SBY mengubah pola itu di periode keduanya. Sepanjang 2009-2013, pemerintahan SBY memberi gelar pahlawan kepada 15 orang. Orang Islam hanya mencakup 46,7 persen. Sedangkan orang Kristen mengisi 33,3 persen, disusul Katolik yang sebanyak 13,3 persen, dan Hindu yang sebesar 6,7 persen.

Di lima tahun masa pemerintahan keduanya, SBY tampak lebih leluasa dibanding periode pertamanya dalam menetapkan pahlawan sehingga porsi Muslim yang diberi gelar pahlawan lebih sedikit daripada akumulasi agama lainnya.

Pahlawan dan Politik

Latar belakang orang—etnis, asal daerah, agama atau ideologi, masa hidup—yang diberi gelar pahlawan menjadi hal yang menggambarkan cara suatu rezim membentuk kesadaran politik dan historis masyarakat Indonesia. Karena itu, penetapan gelar pahlawan kepada seseorang, sejak Republik ini berdiri, merupakan tindakan politis.

"Hal ini akan menentukan arah dan isi kenangan historis serta menanamkan penafsiran khusus pada masa lalu yang bermanfaat bagi keperluan-keperluan politik tertentu," ujar Klaus H. Schreiner dalam "Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional: Dari Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru 1959-1993" (2005).

Penelitian yang dibuat Schreiner menunjukkan pada era Presiden Sukarno, hampir semua orang yang diberi gelar pahlawan berlatar belakang tokoh pergerakan nasional di abad ke-20. Hanya empat orang yang berasal dari masa sebelum abad ke-20.

Schreiner juga mencatat kepentingan strategis jangka pendek sering mempengaruhi pilihan pahlawan dan melayani kepentingan pribadi Sukarno. Ini tampak ketika tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Alimin Prawirodirdjo diberi gelar pahlawan pada 1964, dua tokoh Muhammadiyah (Kiai Fachruddin dan Kiai Mas Mansur) dan dua tokoh Nahdlatul Ulama (Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Abdul Wahid Hasyim) juga turut diberi gelar pahlawan. Dalam kasus ini, menurut Schreiner, Sukarno ingin menjamin keseimbangan ideologis antara komunis dan Muslim.

Sukarno juga hendak menjadikan 7 jenderal yang dibunuh pada 30 September 1965 malam sebagai pelindungnya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi kepada mereka. Namun, menurut Schreiner, Sukarno gagal. Peristiwa yang kerap disebut Gerakan 30 September itu, termasuk narasi kematian para jenderal itu, justru dimanfaatkan Soeharto untuk membangun pondasi perlawanan terhadap Sukarno dan membangkitkan Orde Baru.

Semasa berkuasa, pemerintahan Soeharto memilih orang yang lebih beragam asal daerah dan agamanya untuk diberi gelar pahlawan. Hingga 1980-an, hampir setiap provinsi di Indonesia sudah memiliki orang kelahiran sana yang diberi pahlawan. Ia juga memberi gelar pahlawan kepada Basuki Rachmat, salah seorang yang membantu Soeharto mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966 dan istrinya sendiri, Siti Hartinah (Tien Soeharto).

"Keseluruhan sejarah hubungan antara rakyat Indonesia dan Belanda dikonseptualisasi sebagai suatu sejarah perjuangan anti-kolonial yang berpuncak pada kebangkitan Orde Baru," ujar Schreiner.

Di era Jokowi, situasi politik yang terjadi, juga tampak memengaruhi komposisi agama orang yang diberi gelar pahlawan.

Infografik Pahlawan dari Rezim ke Rezim

Jokowi mulai memberikan gelar pahlawan hanya kepada Muslim sejak 2016. Pada tahun itu, terjadi demonstrasi besar-besaran berjuluk Aksi Bela Islam di DKI Jakarta. Demonstran yang dimotori Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI menuntut Basuki Tjahaja Purnama, gubernur DKI Jakarta yang juga kandidat di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dipenjara karena, menurut mereka, ucapannya soal Al-Maidah ayat 51 telah menodai agama.

Demonstrasi besar pertama terjadi pada 4 November 2016, tidak sampai sepekan menjelang pemerintah mengumumkan siapa yang bakal diberi gelar pahlawan tahun itu. Kemudian, demonstrasi lebih besar terjadi lagi pada 2 Desember 2016.

Tindakan itu dapat dipahami dalam konteks Jokowi semakin mendekat ke Nahdlatul Ulama (NU) sejak berbagai Aksi Bela Isla, sebagaimana diungkap peneliti politik Islam Greg Fealy dalam "Nahdlatul Ulama and the Politics Trap".

Menurut Fealy, Jokowi tekun menjalin hubungan dengan NU demi menguatkan dukungan dari umat Islam serta menciptakan suatu penyangga yang mampu melawan serangan kelompok Islamis yang menuduh Jokowi memusuhi Islam.

Selain komposisi agama, sejak 2016, pola asal daerah orang yang diberi gelar pahlawan juga berbeda.

Semasa 2014-2015, orang yang dikasih gelar pahlawan berasal dari daerah kantong kemenangan Jokowi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Tenggara.

Namun, yang diberi gelar pahlawan pada 2016 adalah Kiai As'ad Syamsul Arifin, seorang tokoh Nahdlatul Ulama. Ayahnya Kiai As'ad, Kiai Syamsul Arifin, adalah tokoh ulama yang lahir di Madura. Pada 1908, Kiai As'ad dan Kiai Syamsul Arifin mendirikan pesantren di Situbondo. Pesantren itu sekarang dikenal dengan nama Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.

Di Pilpres 2014, Jokowi kalah di Situbondo dan di 4 kabupaten yang ada di Madura.

Ditetapkannya orang-orang yang berasal dari kantong kekalahan Jokowi juga menjadi tren dua tahun berikutnya. Pada 2017, pemerintahan Jokowi memberi gelar pahlawan kepada Laksamana Malahayati (Aceh) dan TGKH Abdul Majid (Nusa Tenggara Barat). Lalu, pada 2018, Kiai Syam'un (Banten) juga diberi gelar pahlawan.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan