Menuju konten utama
11 November 2004

Gelap Terang Yasser Arafat

Jangan biarkan/ ranting zaitun terlepas/ dari tanganku

Gelap Terang Yasser Arafat
Ilustrasi Yasser Arafat. tirto.id/Gery

tirto.id - Cahaya yang keluar dari lilin-lilin tersebut menerangi bingkai gambar berukuran sedang. Di sampingnya terdapat potongan bunga yang digeletakkan sembarang. Malam itu, 11 November 2004, tepat pada hari ini 13 tahun lalu, sekelompok orang melakukan penghormatan terakhir kepada sosok yang gigih mengupayakan kemerdekaan dan perdamaian Palestina: Yasser Arafat.

Orang ini lahir di Kairo (ia mengaku dilahirkan di Yerusalem) pada tahun 1929. Sepak terjangnya untuk kemerdekaan Palestina telah ia rintis sejak lama. Akhir 1950, Arafat mendirikan gerakan Fatah. Maksud didirikannya organisasi ini ialah mengajak orang-orang Palestina yang terusir dari Israel pada 1948 untuk melakukan perlawanan.

Sepanjang perjalanannya, Fatah kerap melancarkan aksi serangan di berbagai wilayah Arab. Tetapi, sejak kubu Mesir, Suriah, serta Jordania kalah dalam Perang Arab-Israel pada 1967, kekuatan Fatah turut gembos. Perang yang membawa kemenangan bagi Israel ini juga melahirkan dampak lain berupa pendudukan di Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, hingga Dataran Tinggi Golan.

Arafat yang melihat kondisi serba tak menguntungkan itu menolak menyerah. Dua tahun berselang, ia mengambil alih Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan semakin getol mendeklarasikan kemerdekaan tanah airnya di wilayah yang diduduki Israel. Bersama PLO, Arafat berhasil mencuri perhatian dunia.

Pada 1974, PBB mengakui PLO sebagai “satu-satunya perwakilan sah Palestina.” PLO menjadi wakil pertama entitas non-pemerintah. Tak lama setelahnya, Arafat diundang untuk menghadap Majelis Umum. Dalam kesempatan itu, Arafat—mengenakan seragam militer dengan kaffiyeh khasnya—mengungkapkan sebuah analogi: “Hari ini saya datang membawa zaitun dan senjata kebebasan. Jangan biarkan zaitun jatuh dari tangan ini.”

Baca juga: Mengapa Israel Gelisah Saat Palestina Gabung Interpol?

Pencapaian Arafat di PBB kiranya menjadi obat penawar atas apa yang menimpa PLO di Jordania. Empat tahun sebelumnya, pasukan Jordania mengusir PLO dalam peristiwa yang dikenal dengan “Black September” (Bulan September Gelap).

Kejadian tersebut mengakibatkan ribuan orang tewas dan terusirnya faksi-faksi Palestina yang sudah berada di sana terlebih dahulu untuk membangun kembali kehidupan mereka. Peristiwa “Black September” bukan satu-satunya yang terjadi. Tahun 1982, militer Israel membalas aksi PLO yang hendak melakukan penggerebekan berskala kecil di wilayah Israel di Lebanon: menghancurkan kamp pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila.

Semenjak tampil di panggung PBB, Arafat mulai membawa Palestina duduk dalam meja perundingan guna membahas solusi perdamaian dengan Israel. Dua dekade setelahnya, peristiwa monumental terjadi: pada 13 September 1993, Perjanjian Oslo (Oslo Accord) diteken Palestina dan Israel di Gedung Putih, AS. Kesepakatan damai itu memberi kedaulatan bagi rakyat Palestina di Gaza serta Tepi Barat. Kesepakatan juga menetapkan pendirian infrastruktur, administrasi, dan keamanan negara melalui Otoritas Palestina (PA).

Kesepakatan yang dianggap bersejarah tersebut kemudian membawa Arafat (bersama Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan Presiden Shimon Peres dari Israel) memperoleh Nobel Perdamaian 1994. Selain itu, Arafat dipilih 83 persen rakyat Palestina untuk menjadi Presiden Otoritas Palestina.

Seiring berjalannya waktu, konflik antara Israel dan Palestina bukannya mereda, malah kian meruncing. Hal ini dipicu oleh masifnya pembangunan permukiman Israel di wilayah yang disepakati dalam Perjanjian Oslo. Sementara Israel beranggapan Palestina tidak melakukan upaya pencegahan atas serangan bom Hamas terhadap sipil. Walhasil, hubungan kedua belah pihak semakin dingin dan dilandasi sikap tidak percaya satu sama lain.

Baca juga: Kisah Partai Komunis Palestina Melawan Israel

Kondisi itu masih terbawa saat perundingan akhir yang diselenggarakan di Camp David pada 2000. Isu-isu krusial seperti keberadaan Yerusalem dan hak-hak pengungsi Palestina gagal disepakati bersama. Kegagalan perundingan membuat rakyat Palestina marah dan memberontak di wilayah Tepi Barat dan Gaza pada September 2000. Kondisi kian parah dengan tewasnya ribuan orang Palestina akibat tembakan maupun serangan udara dari militer Israel. Sementara di dalam wilayah Israel, ratusan orang tewas akibat serangan bom bunuh diri.

Situasi berdarah yang terjadi membuat Arafat dikenakan tahanan rumah di Ramallah oleh Amerika dan Israel. Guna menyelesaikan permasalahan, Arafat menunjuk kawannya, Mahmoud Abbas, sebagai perdana menteri. Tetapi, Abbas mengundurkan diri hanya empat bulan setelah menjalankan tugas. Pemicunya adalah Arafat menolak menyerahkan kontrol penuh terhadap pasukan keamanan Palestina.

Meski berkali-kali mengadakan kesepakatan damai, dua negara ini tak pernah benar-benar akur. Pada akhirnya, di tengah kondisi kritis yang terus-menerus terjadi antara Palestina dan Israel, Arafat mengembuskan nafas terakhir pada November 2004.

Kematian yang Menimbulkan Teori Konspirasi

Kematian Arafat meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang berujung pada asumsi adanya konspirasi. Sebagian publik tak percaya Arafat tewas karena sakit atau faktor alamiah.

Pada November 2004, jurnalis Palestina Maher Ibrahim menulis, “Israeli Radiation Poisoning Killed President Yasser Arafat” di surat kabat Al Bayan terbitan Dubai. Israel memberikan teori tak kalah menarik dan cenderung mendiskreditkan. Lenny Ben-David, mantan wakil kepala misi kedutaan Israel di Washington menyebut Arafat meninggal akibat AIDS. Sedangkan beberapa pihak meyakini Arafat meninggal akibat ulah orang dalam lingkungan Fatah yang tidak menyukainya.

Baca juga: Museum Yasser Arafat yang Menyimpan Kontroversi

Namun, di antara segala teori, laporan dari Al Jazeera English adalah yang menggemparkan. Dibalut sebuah serial khusus dan serangkaian artikel, Al Jazeera menyatakan, sebuah laboratorium di Swiss menemukan jejak polonium 210 dalam barang-barang milik Arafat termasuk kaffiyeh khasnya. Polonium 210 adalah unsur kimia yang memiliki takaran racun sebesar 250 ribu seperti hidrogen sianida.

Efek pemberitaan itu cukup luas: sebagian besar masyarakat meyakini Arafat meninggal akibat diracun. Mereka juga menyalahkan Israel sebagai dalang pembunuhan.

Laporan Al Jazeera tentu menimbulkan penolakan beberapa pihak. Hussein Ibish, peneliti Arab Gulf States Institute di Washington sekaligus penulis What’s Wrong with One-State Agenda? Why Ending the Occupation and Peace with Israel is Still the Palestinian National Goal (2009), menerangkan ada beberapa alasan untuk tidak serta merta percaya kepada laporan Al Jazeera.

Baca juga: Para Seleb Dunia di Pusaran Konflik Israel-Palestina

Pertama, gejala yang menimpa Arafat telah didokumentasikan dengan baik oleh pihak berwenang dan sama sekali tidak menunjukkan informasi racun polonium dalam tubuhnya. Arafat tidak kehilangan rambut dan sumsum tulang belakangnya ditemukan tidak rusak. Menurut Hussein, Arafat setidaknya melakukan satu kali proses pemulihan singkat yang tidak mungkin terjadi dalam kasus keracunan polonium.

Kedua, laboratorium Swiss yang menjadi dasar laporan Al Jazeera menyatakan bahwa temuannya tidak meyakinkan dan tidak memberikan dasar untuk menyimpulkan adanya racun polonium dalam tubuh Arafat.

Sementara David Ronson, pakar patologi forensik Universitas Monash dan deputi Victorian Institute of Forensic Medicine, menjelaskan bahwa terdapat faktor yang membuat dugaan pemulihan racun di tubuh Arafat sangat sulit; mulai dari karakteristik tanah makamnya, kualitas pembalseman mayat, serta tingkat dekomposisi. Hal-hal tersebut membuat semua prediksi mengenai hasil analisis forensik hampir tidak mungkin terjadi. Ronson menegaskan, sekali pun sampel yang dikumpulkan dari dalam kuburan dan jasad memadai, itu hanya akan menjadi awal dari tantangan lebih besar bagi spesialis forensik.

Infografik Mozaik Yasser Arafat

Teroris atau Pejuang Kemerdekaan?

Arafat tak melulu dianggap sebagai pejuang kemerdekaan Palestina. Lawan-lawan politiknya kerap melabeli Arafat dengan sebutan pemimpin teroris yang otoriter dan manipulatif. Dengan kata lain, Arafat hanya berkeinginan untuk terus berkuasa. Tak hanya itu, Arafat juga dinilai lebih berkomitmen terhadap kekerasan daripada diplomasi.

James Phillips, peneliti Timur Tengah di The Heritage Foundation—kelompok pemikir konservatif Amerika—dalam tulisannya berjudul “Yasser Arafat’s Disastrous Legacy” menyatakan bahwa di bawah kepemimpinan Arafat, Otoritas Palestina menjadi korup, tidak bertanggung jawab, dan hanya berdedikasi pada kepentingan pribadi sang pemimpin; bukan kemaslahatan Palestina. Phillips menambahkan, penolakan Arafat untuk mengakhiri terorisme telah meracuni perundingan perdamaian, melumpuhkan perekonomian, dan menyebabkan Israel kembali menduduki wilayah Palestina.

Baca juga: Arafat-Suha, Kisah Cinta yang Tak Biasa dari Palestina

Anggapan mengenai Arafat sebagai biang terorisme dan aksi kekerasan tak bisa dilepaskan dari kiprahnya bersama PLO pada periode 1960-an hingga 1970-an. Pada dasarnya, PLO merupakan organisasi konfederasi yang terdiri atas berbagai faksi. Dari yang marxis hingga islamis. Tetapi, faksi yang paling dominan adalah Fatah pimpinan Arafat.

Garis perjuangan PLO saat itu sangat tegas: mengobarkan perang melawan Israel di seluruh dunia. Dari pemahaman “perang melawan Israel” ini lah aksi-aksi kekerasan mendapat justifikasi. Pembajakan pesawat, pengeboman hotel, restoran, hingga pangkalan militer, serta menargetkan pembunuhan kepada mereka yang melakukan kontak dengan Israel kerap dilakukan faksi militan PLO. Bahkan, PLO menjadi aktor di balik tewasnya atlet Israel dalam Olimpiade Munich 1972.

Dalam perkembangannya, PLO juga memposisikan diri sebagai pelindung jutaan pengungsi Palestina yang tinggal di kamp-kamp sepanjang Mesir hingga Lebanon. Perjuangan PLO tersebut memberi legitimasi di mata orang-orang Palestina. Tak jarang, PLO menjadi penerima dana dari negara-negara Arab yang ingin menghadapi Israel.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sempat memasukkan PLO dalam daftar organisasi teroris asing sebelum akhirnya dicabut pada 1994 setelah Perjanjian Oslo. Ditekennya Perjanjian Oslo pula yang mengakibatkan banyak faksi utama seperti Hamas dan Jihad Islam memutuskan berpisah dengan PLO.

Baca juga: Orang-Orang Palestina di Dalam Penjara Israel

Arafat barangkali dianggap sebagian orang sebagai arsitek pelbagai tindakan kekerasan dan dimusuhi negara-negara Barat dengan segala propaganda mereka. Tetapi, hal itu tidak memengaruhi pandangan sebagian orang lainnya terhadap perjuangan Arafat.

Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, menyebut Arafat sebagai sosok yang “melambangkan aspirasi nasional rakyat Palestina.” Sementara bekas Presiden Prancis Jacques Chirac mengatakan, Arafat adalah “orang yang memiliki keberanian dan keyakinan selama 40 tahun dan menjelma menjadi pejuang Palestina untuk memperoleh pengakuan serta hak nasional mereka.” Sedangkan Vladimir Putin menggambarkannya sebagai “pemimpin politik besar yang memiliki kepentingan internasional.”

Diakui atau tidak, bagi para pendukungnya, Arafat adalah seorang pejuang, negarawan, serta pembawa damai. Dia lah sosok yang mampu mengangkat isu kemerdekaan Palestina memasuki perbincangan internasional.

Yasser Arafat, yang akrab dipanggil "Abu Ammar" itu, bagaimana pun juga adalah satu-satunya tokoh yang berhasil mempersonifikasikan dirinya dengan perlawanan rakyat Palestina. Di mana-mana ia muncul sebagai ikon sebuah bangsa yang tengah memperjuangkan kepentingannya yang paling hakiki: kebebasan.

Baca juga artikel terkait ISRAEL - PALESTINA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Humaniora
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Ivan Aulia Ahsan