Menuju konten utama

Gejolak di Aceh: Mahasiswa & Masyarakat Menolak Tambang Emas

Mahasiswa, masyarakat, bahkan anggota dewan di Aceh menolak beroperasinya tambang  PT Emas Mineral Murni (EMM). Mereka menganggap alam Aceh bakal rusak.

Gejolak di Aceh: Mahasiswa & Masyarakat Menolak Tambang Emas
Perwakilan mahasiswa yang berasal dari seluruh Universitas se-Aceh yang tergabung dalam Korps Barisan Pemuda Aceh (Korps BPA) berunjuk rasa menolak perusahan tambang PT Emas Mineral Murni (EMM) di halaman Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Aceh, Kamis (11/4/2019). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/aww.

tirto.id - Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Aceh menduduki kantor Gubernur Aceh sejak 9 April lalu. Mereka menuntut Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, membatalkan izin operasi PT Emas Mineral Murni (EMM)--anak usaha Asiamet Resources Limited.

Semua berawal sejak 9 Juli 2018, ketika Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengeluarkan Pengumuman Pemasangan Tanda Batas Pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUPOP).

Pengumuman ini menyebut pemerintah telah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT EMM melalui SK Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 pada 19 Desember 2017.

Wilayah konsesi mencapai 10 ribu hektare yang mencakup dua kecamatan: Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah. Izin tambang ini di antaranya berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2.478 hektare.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh, Muhammad Nur menjelaskan kenapa mahasiswa dan masyarakat menolak keberadaan tambang. Salah satu alasannya karena daerah operasi tambang rawan bencana seperti longsor. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW) Aceh pun, katanya, wilayah itu harus steril.

Masyarakat setempat, menurut Nur, juga ditipu sejak penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

"Dalam dokumen AMDAL, perusahaan mendapatkan tanda tangan warga dengan cara ditiru (palsu). Hal itu terungkap dalam persidangan. Memang ada warga yang setuju, tapi 99 persen menolak," ujar Nur kepada reporter Tirto, Kamis (11/4/2019) kemarin.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPRA Nurzahri juga mengatakan izin eksploitasi PT EMM yang dikeluarkan BKPM keluar tanpa rekomendasi DPRA maupun Pemerintah Aceh.

"Izin eksploitasi tersebut melanggar sejumlah peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau UUPA," katanya.

Dengan semua latar belakang itu, mahasiswa dan masyarakat lantas mendesak Nova Iriansyah mencabut izin PT EMM. Pencabutan izin dianggap akan mengantisipasi kerusakan alam di Aceh.

Pada demonstrasi hari pertama, 9 April lalu, kericuhan terjadi. 11 mahasiswa terluka.

"Ada kawan kami yang berdarah akibat bentrok, namun berhasil ditangani. Ketika masyarakat mengetahui hal tersebut, ada masyarakat yang niat membalas dengan membawa senjata tajam," kata Wahidul Ado, mahasiswa asal Universitas Syiah Kuala yang juga turut serta dalam demonstrasi.

Pria yang karib disapa Wahid ini juga mengatakan demonstrasi itu bukanlah yang pertama. Ia bilang mahasiswa rutin menggelar pertemuan sejak September 2018--dua bulan setelah izin keluar--dan mulai berdemonstrasi pada 15 Oktober 2018. Mereka berunjuk rasa setelah tahu duduk perkara pertambangan dan masyarakat ternyata menolaknya.

Mahasiswa kembali berdemonstrasi pada 10 Desember 2018, atau bertepatan dengan hari HAM Internasional.

Mereka juga melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena menganggap SK Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 ilegal. Namun, dalam sidang terakhir yang digelar Kamis kemarin, majelis hakim mengatakan tak berwenang mengadili perkara itu.

"Kami terus mengawal advokasi dan mempengaruhi opini publik melalui berbagai macam media, diskusi rutin, dan roadshow," ucap Wahid.

Pada demonstrasi kali ini, mereka memberikan ultimatum kepada Plt Gubernur Aceh untuk segera mencabut izin PT EMM. Jika hingga 25 April itu tak juga dilakukan, kata Wahid, "kami dan masyarakat berencana berdemonstrasi besar-besaran."

Selain berdemo ke pemerintah, masyarakat juga menggelar zikir. Pada 10 April, mereka menggelar acara dengan tajuk 'Doa Bersama Tolak Tambang PT EMM'.

Masyarakat juga mendatangi kompleks PT EMM di Beutong pada 11 April. Setelah didesak, pejabat humas PT EMM Dwiyanto akhirnya menandatangani surat pernyataan bermaterai Rp6 ribu yang menyatakan akan keluar dari Aceh.

Namun, seperti dikutip dari Antara, Dwiyanto mengaku "terpaksa menandatangani petisi itu. Harapannya agar tidak terjadi hal yang tidak kami inginkan."

Plt Gubernur Setuju

Kemarin, Nova Iriansyah akhirnya menemui mahasiswa. Ia pun menandatangani petisi. Artinya, ia sepakat dengan tuntutan mahasiswa dan masyarakat. Nova mengaku siap menerbitkan rekomendasi pencabutan izin PT EMM dan, mengutip Antara, mengutuk tindakan pemerintah pusat yang tidak menghormati kekhususan Aceh.

"Saya Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah siap melakukan gugatan melalui Pemerintah Aceh sebagai bentuk mempertahankan kekhususan Aceh dan membela rakyat," kata Nova di hadapan ribuan pendemo.

Hari ini, 12 April 2019, Nova kembali menegaskan sikap. Yang perlu dipikirkan, katanya, adalah cara mencabut izin itu.

"Saya sependapat dengan aspirasi mahasiswa untuk mencabut izin tambang itu, tapi bagaimana caranya kita harus bersama-sama duduk untuk memikirkan caranya," katanya, seperti dikutip dari Kompas.

Baca juga artikel terkait ACEH atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino