Menuju konten utama

Geger Puting Beliung & Sejarah Waduk Gajah Mungkur Wonogiri

Ada sejarah panjang di balik pembangunan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri yang rutin diterpa puting beliung.

Geger Puting Beliung & Sejarah Waduk Gajah Mungkur Wonogiri
Gajah di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah. Waduk Gajah Mungkur juga multiguna sebagai irigasi, budi daya ikan, dan aliran sumber energi untuk pembangkit listrik tenaga air. Antara foto/maulana surya/foc/16.

tirto.id - Fenomena alam puting beliung yang menggegerkan warga pada Rabu (20/1/2021) pukul 16.30, terjadi di tengah Waduk Gajah Mungkur, Desa Sendang, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Setelah berlangsung sekitar 10-15 menit, angin puting beliung besar itu mengarah ke selatan dan tidak mengenai pemukiman penduduk. Tidak ada kerusakan bangunan dan korban jiwa.

Uniknya lagi, fenomena ini terjadi secara teratur. “Hampir setiap tahun terjadi di wilayah Kabupaten Wonogiri,” jelas Kepala Pelaksana (Kalaks) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri, Bambang Haryanto, dilansir dari laman resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Wilayah Waduk Gajah Mungkur tempat puting beliung terjadi memiliki nilai sejarah bagi masyarakat setempat. Jika ditarik mundur, selain puting beliung, Waduk Gajah Mungkur punya kaitan dengan bencana alam di kawasan Wonogiri dan Surakarta, khususnya bencana banjir.

Sejarah Pembangunan Waduk Gajah Mungkur

Banjir yang melanda Surakarta pada Maret 1966 adalah banjir terbesar yang pernah terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Banjir tersebut merendam sekitar 10.000 hektar daratan di wilayah Sragen dan Surakarta.

Ratusan ribu rumah tenggelam. Selain itu, ratusan ribu penduduk juga mesti dievakuasi dan dipindahkan. Dua tahun berikutnya, pada 1968, banjir kembali terjadi. Kerusakan yang sama nyaris berulang.

Berlatar belakang hal tersebut, pemerintah Orde Baru mencanangkan pembangunan waduk untuk menampung air sungai Bengawan Solo agar tidak meluap dan mencegah bencana banjir yang kerap terjadi di kawasan tersebut.

Sri Utami dan Agus Trilaksana dalam "Pembangunan Waduk Gajah Mungkur Tahun 1976-1986" yang dimuat di Jurnal Avatara (2015) menuliskan bahwa sebenarnya rencana pembangunan waduk ini sudah dirancang pada 1964.

Analisis kelayakan lingkungan untuk pembangunan waduk mendatangkan teknisi dari Jepang. Japan International Cooperation Agency adalah agensi terpilih untuk menguji lingkungan Desa Sendang.

Selanjutnya, pada 1976, kontrak kerja sama dijalin dengan Nippon Koei. Co. Ltd Consulting Engineers untuk mendesain konstruksi Waduk Gajah Mungkur dan pembangkit listrik, serta pintu air Colo yang digunakan untuk irigasi.

Alasan lain pembangunan Waduk Gajah Mungkur bukan hanya untuk mengendalikan banjir, tetapi juga untuk menahan air agar bisa digunakan untuk irigasi. Hal ini disebabkan faktor topografi dan geologi kawasan Wonogiri yang berupa perbukitan kapur dengan tajuk/top soil yang tipis.

Karena dua faktor tersebut, sebagian besar kawasan, yang berupa tanah kering, menjadikan daerah Wonogiri tak bisa ditanami pada musim kemarau. Di sisi lain, ketika terjadi musim hujan, pasokan air terlalu banyak hingga tanaman tak bisa tumbuh subur.

Lantaran itulah, Waduk Gajah Mungkur dicanangkan sebagai pasokan air untuk irigasi sepanjang tahun. Tujuannya, agar pasokan air untuk pertanian menjadi seimbang dan kebutuhan musiman terpenuhi.

Ketika pembangunan Waduk Gajah Mungkur ini direncanakan, proyek besar tersebut terkendala pemukiman warga dari 51 desa di Wonogiri.

Mau tidak mau, lahan seluas 8.800 hektar harus dibebaskan. Sebanyak 12.567 KK dari 51 desa harus dipindahkan. Wilayah yang dijadikan proyek pembangunan waduk harus diganti rugi oleh pemerintah.

Dalam arsip Sidang Gubernur Bapelda Transmigrasi dan Ganti Rugi Proyek Bengawan Solo (1976) dari Departemen Transmigrasi, disebutkan bahwa per meter, disiapkan sekitar Rp100,00 sampai Rp1000,00 sebagai ganti rugi pembebasan tanah. Setiap pohon yang ditebang juga dibayar minimal Rp10,00.

Selain itu, pemerintah Orde Baru juga mencanangkan program transmigrasi bagi penduduk yang wilayahnya masuk dalam proyek pembangunan waduk. Karenanya, kurang lebih 67.515 jiwa melakukan transmigrasi bedol desa atau pindah secara penuh ke daerah di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu.

Pembangunan Waduk Gajah Mungkur ini dimulai sejak 1976 sampai dengan 1981. Waduk ini diresmikan pada 17 November 1981. Untuk pendanaannya, sekitar Rp58,78 miliar dihabiskan untuk membangun waduk yang diklaim sebagai waduk terbesar se-Asia Tenggara ini.

Baca juga artikel terkait WADUK GAJAH MUNGKUR atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya