Menuju konten utama

Gedung Langgar SLF Didenda Rp50 Juta, Anies Sebut Sanksinya Murah

Ada 23 gedung di DKI Jakarta melanggar Sertifikat Laik Fungsi (SLF), pelanggaran ini ditenggarai karena denda yang murah.

Gedung Langgar SLF Didenda Rp50 Juta, Anies Sebut Sanksinya Murah
pembangunan infrastruktur, sinyal pertumbuhan ekonomi indonesia. tirto/andrey gromico

tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta mendapati ada 23 gedung di Jakarta yang melanggar Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Gedung-gedung tersebut ada yang yang masa berlakunya habis, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Laporan ini tentu bakal bikin was-was bagi mereka yang biasa beraktivitas sehari-hari di gedung-gedung terutama bertingkat di Jakarta. Persoalan kepatuhan SLF ini mencuat pasca kejadian ambruknya lantai mezanin gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), awal pekan ini.

Laporan BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta ini merupakan hasil audit terhadap kinerja Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) DKI sepanjang 2 Agustus hingga 12 Oktober tahun 2017.

SLF adalah bukti bahwa pemilik gedung telah membangun sesuai standardisasi, baik dalam aspek kesesuaian fungsi hingga keselamatan dan kesehatan. Dengan kata lain, jika tidak dilengkapi dengan SLF, maka gedung yang dimaksud belum tentu aman.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut bahwa gedung-gedung yang tertera dalam laporan tersebut hanya sebagian kecil saja. Sejauh ini angka persisnya masih didata. Anies dan jajaran Pemprov DKI Jakarta bakal melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh gedung bertingkat di Jakarta.

Dalam audit nanti, kata Anies, ia bakal menyiapkan sistem yang dapat memberikan efek jera bagi pelanggar SLF. Sebab menurut dia, dalam Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, sanksi yang diberikan kepada para pelanggar masih terbilang ringan.

"Kalau Perda perlu waktu. yang jelas kita harus membuat sistem ini memiliki efek jera. Efek jera itu artinya kalau tidak melaksanakan kapok. sekarang [sanksi] itu terlalu murah," katanya.

Pada pasal 283 Perda Nomor 7 tahun 2010 mengatur antara lain soal sanksi bagi pelanggaran pasal 150 tentang pemanfaatan bangunan gedung wajib dilaksanakan oleh pemilik atau pengguna secara tertib administratif dan teknis untuk menjamin kelaikan fungsi bangunan gedung tanpa menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

Ini berlaku bagi pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Audit menyeluruh juga merupakan bagian dari koreksi terhadap sistem yang telah berjalan selama ini. Sebab bagaimana pun, pengawasan terhadap gedung-gedung di DKI berada di bawah mereka. Artinya, jika ada pelanggaran yang terjadi, maka permasalahan terletak pada lemahnya pengawasan.

Tertera jelas dalam Peraturan Daerah DKI Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, Pasal 238 ayat (1), disebutkan bahwa gedung baru bisa dimanfaatkan ketika sudah dilengkapi SLF.

Soal audit menyeluruh ditegaskan kembali oleh Asisten Pembangunan Provinsi DKI Jakarta Gamal Sinurat. Ia mengatakan bahwa audit akan dikerjakan oleh PM-PTSP dan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (Citata).

"Kemarin sudah diinstruksikan juga sama gubernur, kalau bisa mereka deklarasi siapa yang sudah punya siapa yang belum," ungkap Gamal saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (18/1/2018).

Langkah untuk mengaudit gedung yang ada di Jakarta, dengan demikian, adalah upaya untuk menindak pelanggaran yang telah lama dibiarkan. Sementara langkah preventif agar pemilik gedung taat aturan SLF, diakui sendiri oleh Gamal, "sampai saat ini belum ada."

Gamal berharap audit dapat menyelesaikan masalah yang ada. Oleh karenanya, Pemprov juga akan memberikan sanksi kepada pemilik gedung sesuai dengan Perda DKI 7/2010. Sanksi diatur dalam Pasal 282 dan 283. Pasal 282 berisi sanksi administratif, sementara pasal sesudahnya sanksi pidana.

Gamal mengatakan sanksi tersebut dibuat dengan maksud yang jelas: untuk memberikan efek jera bagi pelanggar, serta mencegah insiden serupa robohnya mezanin Gedung BEI terulang.

Kepala Dinas PM-PTSP DKI Jakarta, Edy Junaedi, mengatakan bahwa ia juga tidak tahu mana saja gedung yang melanggar aturan. Namun Edy menyebut ada 800 gedung dengan tinggi lebih dari delapan lantai di Jakarta, spesifikasi bangunan dimana penerbitan SLF-nya berada di PM-PTSP.

Menurutnya hal ini bisa dimaklumi karena pengurusan izin SLF berada di tangan PM-PTSP baru diberlakukan pada 2015, tahun dimana PM-PTSP dibentuk. "Sebelumnya semua izin kelayakan bangunan ada di Dinas Cipta Karya" kata Edy saat dihubungi Tirto, Kamis (18/1/2018).

Bukan Berarti Tidak Diawasi

Edy menjelaskan bahwa bukan berarti tidak ada pengawasan sama sekali dari Pemprov DKI Jakarta terhadap gedung yang tidak memiliki SLF. Sebab, katanya, gedung-gedung di Jakarta telah diaudit kelayakannya secara bertahap, dimulai saat pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Pada tahap ini, petugas bakal mengecek kelayakan bangunan berdasarkan gambar teknis. Setelah IMB terbit, petugas akan kembali untuk mengecek kesesuaian gambar teknis dengan struktur yang dibangun. Biasanya, kata Edy, pada tahap ini lah pelanggaran konstruksi kerap muncul.

"Misalnya semula tidak ada lift (elevator) jadi ada. Terus semula desainnya tidak ada tangga jadi ada," ujarnya.

Setelah bangunan berdiri, maka Pemprov akan mengecek kembali untuk keperluan SLF. Pemilik gedung sendiri yang harus mengajukan SLF, dengan terlebih dulu melengkapi syarat, dari mulai berita acara selesainya pelaksanaan bangunan, hingga foto bangunan, parkir, dan sumur resapan air hujan.

Ada dua jenis SLF yang akan diterbitkan yaitu SLF definitif dan SLF sementara.

Edy mengungkapkan, nantinya audit gedung bakal melibatkan perangkat daerah lain lantaran tidak hanya memeriksa kelaikan fungsi bangunan, melainkan juga pengelolaan air bersih dan limbah, penggunaan air tanah, elevator, sampai instalasi pemasangan kebakaran.

Misalnya dalam hal pencegahan kebakaran. Kepala Bidang Pencegahan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Keselamatan DKI, Suheri, saat dihubungi Tirto menjelaskan bahwa biasanya petugas akan melakukan pengecekan selama satu sampai dua minggu.

Tugas pengecekan "meliputi sprinkler water, tabung apar, box hydrant, sistem alarm, sampai tabung-tabung gas seperti foam, halon, FM 100, Co2 dan lain-lain yang ditaruh biasanya di dekat genset."

Selebihnya mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran. Dalam pasal 8 Perda tersebut, diwajibkan agar bangunan dilengkapi dengan sarana jalan keluar; pencahayaan darurat tanda jalan ke luar; petunjuk arah jalan ke luar; komunikasi darurat; pengendali asap; tempat berhimpun sementara; dan tempat evakuasi.

Jika hasil pengecekan tak layak, biasanya dinas Damkar akan meminta pemilik gedung untuk melakukan perbaikan sampai memenuhi standar.

"Setelah itu, barulah rekomendasi keluar dan kami berikan ke PTSP sebagai salah satu syarat penerbitan SLF," imbuhnya.

Penerbitan rekomendasi dari Dinas Damkar tak mudah lantaran banyak hal teknis yang telah diatur dan harus dipenuhi. Di antaranya, seperti Pergub Nomor 92 Tahun 2014 tentang persyaratan teknis dan tata cara pemasangan pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman. Pergub 250 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis dan Tata Cara Pemasangan Sistem Deteksi dan Alarm Kebakaran.

Selain itu ada juga Pergub 143 Tahun 2016 tentang manajemen keselamatan kebakaran gedung dan manajemen keselamatan kebakaran lingkungan, Pergub Nomor 200 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Akses Pemadam Kebakaran.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKAT LAIK FUNGSI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino