Menuju konten utama

Gatot Subroto, Sersan "Gila" yang Cinta Damai

Orang mengenal Gatot Subroto sebagai panglima militer dan pahlawan nasional. Di masa mudanya, dia suka berkelahi dan keras kepala, tetapi di masa tuanya dia adalah pelindung agama cinta damai bernama Budha.

Gatot Subroto, Sersan
Jenderal Gatot Soebroto [Foto/kebudayaanindonesia.net]

tirto.id - Namanya lebih diingat banyak orang di Jakarta sebagai nama jalan besar nan ramai dan rumah sakit kelas wahid Indonesia. Bagi mereka yang membaca sejarah Indonesia era revolusi, namanya cukup mulia. “Gatot Subroto merupakan perwira yang disegani banyak kalangan,” tulis Peter Britton dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia (1996).

Bersama Nasution dan Azis Saleh, Gatot Subroto ikut memprakarsai partai yang berisi bekas pejuang bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Meski dianggap gila oleh beberapa kolega-koleganya, dan walau tak selama Oerip Soemohardjo berdinas, pengalaman Gatot Subroto sebagai militer sebagai militer juga tergolong lebih panjang, bahkan jauh lebih panjang dibanding Soedirman, Nasution dan Soeharto.

Eks Sersan Yang Dikira Gila

Seabad silam, bocah pribumi ini baru lulus Taman Kanak-Tanak atau Frobelschool. Dia anak dari Sayid Yudoyuwono. Seorang Guru Tweede Inlandsche di Jatilawang. Kala itu, guru sekolah sangat dihormati karena kebanyakan turunan priyayi. Bocah ini kemudian diterima sekolah di Europe Lagere School (ELS) Banyumas. Sebuah sekolah dasar elit khusus Belanda yang hanya bisa dimasuki segelintir pribumi pada zaman kolonial.

Bocah ini bukan bocah pribumi biasa. Berbeda dengan kebanyakan pribumi yang rendah diri, Gatot sebaliknya. Dia bocah Banyumas sejati. Menurut Ben Anderson, orang Banyumas dan Begelen termasuk orang-orang yang suka berkelahi. Meskipun mereka bukan tipikal pembuat onar. Profesi serdadu cocok untuk pemuda-pemuda Bagelen atau Banyumas. Mereka bisa mendaftar di Gombong untuk jadi serdadu di zaman kolonial.

Bocah ini suka juga berkelahi, mirip Oerip Soemohardjo dari Bagelen Purworejo ketika kecil. Beraninya bukan cuma pada bocah lemah, tapi anak-anak Belanda. Terakhir di ELS, bocah ini berkelahi dengan anak Belanda. Tak tanggung-tanggung, menurut saudara sepupunya, bocah ini berkelahi dengan anak dari Residen Banyumas. Bocah ini pun dikeluarkan dari ELS yang elit itu. Saat itu dia masih kelas IV.

Sekolah dasarnya pun terpaksa diselesaikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cilacap, yang gengsinya dibawah ELS. Lepas masa bocah dan juga sekolah dasar, dia tak mau sekolah lagi. Menurut Moh Oemar, yang menulis biografi Jenderal Gatot Subroto (1976), bocah bernama Gatot Subroto ini lulus tahun 1927. Kala itu, sekolah dasar terbaik di Indonesia harus ditempuh 7 tahun. Seringkali usia siswa ketika baru masuk di atas tujuh tahun, bahkan lebih.

Remaja bernama Gatot Subroto ini memilih bekerja. Dia sempat bekerja di kantor. Tak betah berlama-lama dia keluar dan akhirnya masuk militer. Gatot mulai masuk Kaderschool di Magelang sejak Desember 1928. Gatot yang keras kepala dan suka berkelahi itu pernah masuk sel provost ketika masih bau kencur di dunia militer. Sebagai lulusan HIS, Gatot bisa jadi kopral atau Sersan. Ayahnya yang priyayi tak suka dengan pilihan Gatot masuk militer kolonial yang disebut Koninklijk Nederladsch Indiesche Leger (KNIL). Meski sebagai sersan nantinya gajinya terbilang bagus, tetapi profesi militer adalah profesi hina di zaman kolonial. Menurut Budiardjo dalam biografinya, Siapa Sudi Saya Dongengi (1996), gaji sersan KNIL jelang 1940 setidaknya 60 Gulden.

Pada tahun 1930an, Gatot adalah Sersan kelas dua atau Sersan Dua. Selesai pendidikan, dia dikirim ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Kira-kira lima tahun Gatot berdinas di Bumi Rendang tersebut. Sekitar tahun 1934, Gatot mendapat latihan kepolisian lalu ditempatkan di unit Marsose di Jatinegara. Unit tersebut adalah pasukan militer khusus yang sering dibekali tugas kepolisian. Gatot pernah juga ditempatkan di daerah Bekasi dan Cikarang. Di daerah tersebut kekuasaan tuan tanah menyengsarakan rakyat jelata tak bertanah. Tak jarang terjadi kerusuhan. Setelahnya, rakyat perusuh itu dipenjarakan. Gatot, dengan sebagian gajinya, sering membantu keluarga perusuh yang dipenjarakan itu.

Gatot, di mata komandan-komandannya, bukanlah seorang sersan yang loyal. Kepada mereka, Gatot bukannya menunduk, tapi tetap keras kepala. Seorang komandannya menjuluki Gatot sebagai Sersan Gila.

Jelang masuknya Jepang, Gatot dikirim ke Ambon. Daerah itu sasaran terdekat Armada Laut Jepang. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya KNIL dibungkam balatentara Jepang. Tak ada kewajiban bagi Gatot untuk mati demi Ratu Belanda. KNIL hanya dunia yang harus dijalaninya sebagai pemuda keras kepala. Begitu KNIL tercerai-berai, Gatot dan serdadu pribumi lain kabur dari pos mereka, karena Belanda sudah kalah.

Seragam mereka tanggalkan lalu naik kapal kayu ke Makassar. Waktu singgah di Makassar, Gatot ziarah ke makam Pangeran Diponegoro, yang tak jauh dari Pelabuhan. Dari Makassar Gatot menumpang kapal ke Jawa. Lalu pulang ke rumah orangtuanya di Banyumas. Dia disambut dengan syukuran keluarga. Karena tak ada kabar bahkan dikira sudah mati dalam di Front Pasifik.

Setelah jadi vrijman atau preman atau orang sipil, Gatot kemudian dipercaya Bupati Banyumas, Gandasubrata, untuk menangani ketertiban sebagai Kepala Polisi. Di masa pendudukan Jepang, Gatot bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) pada 1943. Setelah mengikuti latihan enam bulan sebagai Chudanco (komandan kompi), dia kembali ke tanah kelahirannya lagi. Di Daidan (Batalyon) PETA Sumpyuh, Banyumas. Kolonel Soesalit, anak tunggal Pahlawan Nasional Kartini, jadi komandan Daidan tersebut. Setelah menjalani masa menjadi Chudanco, Gatot pun naik menjadi Daidanco (komandan batalyon) juga.

Di awal kemerdekaan, batalyon PETA yang dipimpinnya ikut masuk ke Tentara Keamanan Rakyat. Gatot pernah menjadi Panglima Divisi 2/Gunung Jati. Komandan Polisi Militer. Dia pernah menjadi Panglima di Indonesia Timur. Di masa Revolusi, dia pernah berpangkat Jenderal Mayor, tetapi karena turun lagi menjadi Kolonel, ketika ada penurunan pangkat besar-besaran bagi semua anggota TNI. Pada 1953, Gatot mundur dari ketentaraan dan tinggal di Ungaran. Dia sering pergi berburu di hutan.

Namun, Gatot dipanggil kembali pada 1956 untuk menjadi Wakil KSAD. Pangkat Terakhirnya Letnan Jenderal. Sebagai serdadu dia bisa tampil berangasan. Gatot dikenal sebagai komandan yang dekat dengan bawahan. Ada kalanya dia suka memanggil bawahannya: monyet.

“Gatot Subroto terkenal mudah bergaul dengan bawahan-bawahannya, akan persahabatannya yang kasar dan keras. Kekerasan dan kesukaannya menggunakan kata-kata mesum, meningkatkan reputasinya sebagai seorang komandan pasukan infanteri yang efektif,” tulis Peter Britton berdasar pengakuan Brigadir Jenderal Suprapto, seperti ditulis dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia (1996).

Sebagai mantan sersan, dia tak pernah berhenti untuk dekat dengan para bawahannya, yang sering kali dipanggilnya: monyet. Sosoknya tak hanya bisa ditemukan di buku-buku sejarah, tapi juga di film Kereta Api Terakhir (1981). Dengan dialek ngapak atau Banyumasan, berkali-kali Gatot menyebut kata monyet kepada bawahan-bawahannya. Film itu menggambarkan suasana revolusi di Banyumas ketika pangkat Gatot masih Kolonel dan menjabat Panglima Militer di daerah tersebut. Monyet pun jadi sebutan untuk calon prajurit taruna (capratar) di Akademi Militer.

Berdamai Ala Asoka

Berdasar data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dari 237,6 juta penduduk Indonesia, sebanyak 87,18 persen penganut Islam, 6,96 persen penganut Kristen, 2,9 persen penganut Katolik, 1,69 persen penganut Hindu, 0,72 persen penganut Budha dan 0,05 persen penganut Konghucu. Sebanyak 299,6 ribu orang atau 0,13 persen penduduk diketahui menganut di luar agama resmi pemerintah. Sementara itu sebanyak 896 ribu orang lebih atau sekitar 0,38 persen, belum diketahui apa agamanya.

Kecilnya penganut Budha tak hanya terjadi di masa sekarang, tapi juga ketika Gatot masih hidup. Gatot termasuk orang yang sadar begitu kecilnya pengikut Budha. Gatot pun menjadikan dirinya pelindung dari Budha. Budha, yang dikenalkan Sidharta Gautama adalah agama yang mengekang nafsu amarah dan mengajak para pengikutnya pada kedamaian Nirwana.

“Gatot Subroto adalah seorang Muslim. Sekali lagi terbukti bahwa ia seorang besar. Semasa hidupnya, sebagai pelindung agama Budha, ia tampak hadir dalam upacara-upacara keagamaan Budha, antara lain pada upacara-upacara Waisak di Stupa Borobudur. Kepada umat Budha Semarang juga pernah dihadiahkan sebuah patung Budha besar berlapis emas seberat satu setengah ton yang berasal dari Muangthai,” tulis Moeh Oemar lagi dalam biografi Gatot Subroto.

Dalam bukunya Peter Britton agak berbeda dalam melihat bagaimana Gatot beragama. Menurutnya, “Gatot Subroto mempunyai keengganan yang kuat terhadap Agama Islam dan memeluk agama Budha. Kekuatan kejiwaannya dilukiskan dalam cerita mengenai kematiannya. Ia mendemonstrasikan suatu keterampilan yang dikenal di kalangan Kejawen sebagai salah satu keterampilan tertinggi yaitu kepandaian mati, yang meramalkan saat kematiannya sendiri dan dengan demikian mempermudah perjalanannya 'pulang' (kepada Yang Maha Kuasa).”

Peter juga membayangkan kematian Gatot yang mirip tokoh wayang Yudhistira. Hanya di ranjang dalam kondisi sekarat dan nyawanya sulit tercabut. Selama sehari semalam Gatot mendapat serangan jantung hebat.

“Akhirnya dia meninggal di depan seorang ulama yang menasihatinya untuk membaca dua kalimat syahadat, pengakuan kepercayaan (kepada Allah SWT sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rosul), dan kemudian ia meninggal dengan tenang,” ungkap Peter. Gatot, yang menurut Moeh Oemar lahir pada 10 Oktober 1909 di Jatilawang, Purwokerto, itu meninggal pada 11 Juni 1962.

Gatot tetap dimakamkan seperti keinginannya, dengan upacara agama Budha di desa Mulyoharjo, Gunung Ungaran. Seminggu setelah kematiannya, pada 18 Juni 1962, Gatot dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Baca juga artikel terkait BUDHA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti