Menuju konten utama

Gas Pembunuh itu Bernama Sarin

Gas-gas kimia berbahaya sering dijadikan senjata. Serangan gas terakhir yang terjadi adalah di Suriah, merenggut setidaknya 86 jiwa.

Gas Pembunuh itu Bernama Sarin
Seorang petugas sipil bernafas melalui botol oksigen, setelah dugaan serangan gas di kota Khan Sheikhoun di kota yang dikuasai pemberontak Idlib, Suriah, Selasa (4/4). ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Abdullah

tirto.id - Bagi sejumlah manusia, menjadi Tuhan adalah sebuah ambisi. Proses pencapaiannya pun mau tidak mau diikuti dengan konsekuensi buas: melawan kemanusiaan itu sendiri.

Aksi menjadi Tuhan itu dilakukan salah satunya oleh Shoko Asahara. Dalam bukunya, Asahara menyatakan dirinya adalah “Kristus” dan memaklumatkan bahwa Jepang sudah dicerahkan dan dianggap sebagai “anak domba Allah.”

Ia menerangkan tentang ramalan kiamat—yang ia sebut sebagai Perang Dunia III—sebuah istilah yang ia ambil dari Kitab Wahyu 16:16, serta kemampuannya mentransfer kekuatan spiritual yang mampu menghapus dosa para pengikutnya.

Tak puas dengan omong kosongnya, ia beserta pengikutnya membuktikan kesangaran mereka dengan berbondong-bondong membawa truk besar ke dekat rumah seorang hakim. Truk ini berisi alat pembeku yang mampu melepaskan sarin ke sekelilingnya.

Aksi ini adalah perlawanan atas gugatan sengketa real-estate yang mereka anggap sebagai perbuatan melawan Kristus. Setelah aksi pertama, mereka kemudian melepaskan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo. Serangan ini menewaskan 12 orang, melukai 50 orang, dan setidaknya ada 5000 orang lain mengalami masalah penglihatan.

Asahara dan pengikutnya tergabung dalam sebuah sekte kontroversial di Jepang yang dikenal sebagai Aum Shinrikyo.

Tragedi tersebut dituliskan kembali oleh Haruki Murakami dalam buku Underground: The Tokyo Gas Attack and the Japanese Psyche, dua tahun setelahnya. Dalam bukunya, Murakami mengkritik pemerintah Jepang yang terlalu berfokus pada para penyerang dan mengabaikan kehidupan korban serangan gas sarin. Murakami mewawancarai 60 korban serangan dan 8 anggota sekte Aum Shinrikyo.

infografik serangan senjata kimia

Sarin belakangan dipercaya juga menjadi alat pembunuh di Suriah. Dalam sejumlah video, tampak anak-anak kecil terkapar dengan mata melotot dan tubuh kejang-kejang.

Hari itu, provinsi barat laut Idlib mencekam oleh teriakan dan sesak napas-napas kematian. Sarin, gas kimia ini telah merenggut setidaknya 86 jiwa.

Senyawa macam apakah sarin?

Tulisan Beth Simpson dalam BioTeach Journal menulis sarin sebagai anggota bahan kimia organofosfat, sebuah senyawa yang sangat beracun dan mampu membunuh dalam hitungan menit. Sarin tidak berbau, tidak berwarna, berbentuk cair, dan mudah menguap.

Simpson menyatakan bahwa Sarin pertama kali disintesis di Jerman pada tahun 1937 sebagai pestisida. Potensinya sebagai senjata kimia sudah diketahui sejak saat itu.

Doktor Ratih Asmana Ningrum, peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan bahwa sarin menyebabkan penyempitan pupil mata, sesak napas, otot menegang, dan kontraksi saluran pencernaan.

“Gejala-gejala ini muncul dengan segera, tubuh akan kehilangan kontrol terhadap otot, kejang-kejang, dan meninggal seketika. Sarin adalah pembunuh terkutuk, 20 kali lebih kuat dibanding racun sianida,” tambah Ratih.

Dari banyak senjata yang dipakai dalam perang, Ratih menilai Sarin lebih berbahaya daripada senjata api.

“Kalau senjata api, selama tidak mengenai organ vital, ia tidak akan menimbulkan kematian seketika. Berbeda dengan sarin yang menyerang sistem saraf. Dalam paparan gas sarin yang besar, waktu kematian korban bisa jadi cuma 15 menit dari detik pertama terpapar,” kata Ratih menjelaskan sembari menunjukkan struktur kimia sarin.

Physicians for Human Rights (PHR menulis ihwal penanganan paparan gas sarin. Mereka menjelaskan perlindungan dalam menghadapi serangan sarin dapat dilakukan dengan menggunakan masker gas untuk melindungi mata dan paru-paru. Setelah serangan, orang-orang yang terpapar harus segera membersihkan badan untuk mencegah penyerapan di kulit.

Disarankan juga untuk menutup ruangan, mematikan sistem ventilasi, dan sebisa mungkin mencegah peredaran sarin dari udara luar ke dalam ruangan. Yang juga penting: jangan mengkonsumsi makanan dan air yang telah terpapar sarin.

Hal yang harus segera dilakukan pada korban yang terpapar sarin terutama adalah memulai dekontaminasi. Prosedur dekontaminasi dimulai dari kepala dan sampai jari-jari kaki dengan larutan garam. Lepas semua bagian pakaian dan buang untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut. Proses dekontaminasi ini dapat dilakukan dengan campuran 10 cc bleach/pemutih pada setiap liter air.

Bagaimana proses pembuatan gas kimia mematikan ini?

“Membuat sarin tidaklah sulit. Anda bisa membuatnya sendiri di halaman belakang rumah Anda. Sarin cuma dibuat dengan mencampur dua bahan kimia menjadi satu kok,“ kata Seymour Hersh ketika diwawancarai CNN.

Pernyataan tersebut tentu saja sarkasme belaka. Dua bahan kimia yang disebut Hersh untuk membuat sarin sesungguhnya sulit diperoleh. Bahkan, meski bahan tersebut telah diperoleh, para pembuat sarin akan menghadapi tantangan besar yang lain. Bahan-bahannya sendiri lebih berbahaya daripada produk akhirnya, sarin.

Satu proses dalam produksi, misalnya, memerlukan penggunaan gas hidrogen fluorida pada suhu tinggi. Hidrogen fluorida adalah gas yang juga berbahaya. Kebocoran kecil gas ini akan menghancurkan semua peralatan kimia dan hampir segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bisa dikatakan, siapa pun yang mencoba menggabungkan bahan-bahan harus siap membunuh dirinya, tanpa sempat menyaksikan badannya meledak dan hancur berkeping-keping.

Gas Kimia sebagai Alat Pembunuh

Gas pembunuh ini terkenal sebagai senjata setelah disebut-sebut digunakan oleh rezim Saddam Hussein terhadap ribuan warga Kurdi di Kota Irak utara, dalam The Halabja Chemical Attack pada 1988. Tragedi yang juga dikenal sebagai The Halabja Massacre dan Bloody Friday ini diperkirakan menewaskan 5.000 orang.

Jauh sebelumnya, media Jerman mengumumkan pernyataan resmi dari pemimpin perang bahwa negaranya menggunakan gas beracun pada awal Pertempuran Kedua Ypres. Pada 22 April 1915, Jerman menembakkan lebih dari 150 ton gas klorin—gas kimia terlarang selain gas sarin—yang mematikan terhadap dua divisi kolonial Prancis di Ypres, Belgia.

Sekutu mereka dalam Perang Dunia I pun dibuat ketakutan. Huntnews pernah menuliskan bahwa Panglima British Expeditionary Force (BEF), Sir John French, mengutuk keras serangan Jerman di Ypres tersebut.

"Semua sumber daya ilmiah Jerman tampaknya telah digunakan untuk memproduksi gas yang sangat membinasakan dan beracun, yang mana setiap manusia yang terpapar gas tersebut awalnya akan merasa lumpuh dan mengalami kematian menyakitkan," tulis Sir John French.

“Klorin adalah gas beracun, ketika memasuki tubuh, klorin akan bereaksi dengan air dalam tubuh menghasilkan asam klorida yang bersifat korosif dan merusak sel-sel tubuh. Paparan klorin paling berbahaya adalah akibat inhalasi. Pada kadar 1000 ppm atau 1µg/mL udara, sudah mampu menyebabkan kematian,” jelas Ratih.

Selain sarin dan klorin, gas kimia lain yang pernah digunakan sebagai senjata kimia adalah fosgen dan mustard. Selain Jerman, pemerintah Inggris dan Prancis juga mengembangkan dan menggunakan dua gas kimia ini selama Perang Dunia I. Negara-negara ini "mengejar ketertinggalan" dari Jerman yang terlebih dahulu mengembangkan senjata kimia.

BioTeach menulis bahwa Jerman merupakan negara pertama yang secara serius mengembangkan senjata kimia, mulai dari gas air mata sampai gas kimia berbahaya seperti sarin dan klorin.

Baca juga artikel terkait SERANGAN AS atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani