Menuju konten utama
Kasus Mercy Maut di Solo

Ganti Rugi Rp1,1 Miliar & Iwan Adranacus Lolos Pasal Pembunuhan

Santunan Rp1,1 miliar kepada keluarga korban jadi salah satu pertimbangan hakim memberi hukuman hanya 1 tahun kepada Iwan Adranacus.

Ganti Rugi Rp1,1 Miliar & Iwan Adranacus Lolos Pasal Pembunuhan
Terdakwa kasus dugaan pembunuhan Iwan Adranacus bersama ayah korban, Suharto, sebelum sidang vonis di Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (29/1/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - "Masalahnya ini nyawa tidak bisa dibeli walaupun Rp10 triliun. Tidak tergantikan," kata Ketua Majelis Hakim Krosbin Lumban Gaol kepada Iwan Adranacus.

"Coba tarik ke diri saudara bagaimana kalau saudara yang dilewatkan orang?"

"Bagaimana keluarga saudara? Menderita!"

"Bagaimana dengan istri dan anak anda?"

Hakim Lumban Gaol terus mencecar Iwan saat sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Surakarta, 29 November 2018.

Di depan majelis hakim, Iwan mengakui marah sekaligus terancam ketika Eko Prasetio berkata "kambing, mengacungkan jari tengah, menendang Mercy, dan mengungkapkan kata-kata ancaman" kepada dirinya.

Hal itu yang mendorong Iwan mengejar Eko. Tapi, upaya itu berujung maut. Mobil Mercedes-Benz AD 888 QQ, yang dikemudikan Iwan, "bertumbukan" dengan sepeda motor Honda Beat AD 5435 OH yang dikendarai Eko.

Eko terpental ke aspal hingga kemudian tewas pada 22 Agustus 2018, tepat pada hari Iduladha, di Jalan KS Tubun, Kota Surakarta.

Amarah Iwan masih muntab bahkan saat ia mengetahui orang yang dikejarnya jatuh terpental. Ia juga tidak segera menghampiri Eko yang tersungkur di aspal. Ia malah memacu mobilnya menuju rumah, mengaku khawatir menjadi sasaran amuk massa.

"Setelah terjadi seperti itu apakah amarah saudara sudah selesai?" tanya Hakim Lumban Gaol.

"Tidak, Yang Mulia," jawab Iwan.

"Sampai kapan lagi amarah saudara terpendam?"

"Amarah berganti panik, kaget luar biasa," ujar Iwan.

Hakim berkali-kali menanyakan apakah amarah Iwan mereda setelah kejadian itu? Apakah kemarahannya terlampiaskan sesudah melihat Eko terjatuh?

Iwan menjawab amarahnya mereda dan berubah penyesalan setelah ia ditangkap polisi selang sekitar 20 menit setelah kejadian. Ia mengaku "menyesal" tatkala mendengar dari polisi bahwa Eko telah meninggal.

"Menyesal dan bersalah, Yang Mulia ... Kenapa kejadian itu harus terjadi."

Iwan mengakui amarahnya mereda tapi ia tidak menjawab amarahnya berhenti. Sembilan kali hakim menanyakan kapan dan di mana amarah Iwan berhenti, berkali-kali pula Iwan memberi jawaban yang tidak memuaskan sehingga hakim harus mengulangi pertanyaan.

"Jawabannya ada pada saudara," ujar hakim. "Pagi-pagi saudara sudah baca [kitab suci], saya senang mendengar saudara tadi mengatakan itu. Tapi, di hidup ini, tidak cukup dengan membaca, tapi pelaksanaannya bagaimana?"

"Saudara berdoa dan membaca, tapi implementasinya di mana? Kenapa hanya karena seperti itu saudara emosi? Apakah karena gengsi dengan teman-temannya itu atau bagaimana?" tanya hakim, merujuk tiga koleganya asal Ende, yang ikut bersama Iwan sebelum peristiwa penabrakan.

Seharusnya, kata hakim menyarankan, jika memang merasa terancam, Iwan bisa berdoa agar Tuhan memberikan kelembutan kepada orang yang mengancamnya. Dan, sebagaimana orang yang terbiasa berdoa, lanjut hakim, Iwan harusnya tahu berapa kali harus bersabar menghadapi orang.

Hakim menambahkan, jika Iwan benar-benar merasa terancam dan membutuhkan perlindungan, ada aparat kepolisian yang dapat menjamin dan memberikan perlindungan.

"Pak polisi," ujar hakim memberi saran kepada Iwan, "Saya lapor saya terancam dengan kondisi begini dengan kondisi orangnya begini, tolong dicatat, selesai."

"Jangan main hakim sendiri [...] Karena saudara berpendidikan [...] Saudara, kan, lulusan dari ITB," kata hakim.

Tuntutan Jaksa: 5 Tahun Penjara

Serentetan pertanyaan dan pernyataan hakim saat pemeriksaan terdakwa itu dijadikan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Surakarta, Satriawan Sulaksono dan Titiek Mariyani, sebagai salah satu dasar untuk menuntut terdakwa.

Dalam surat tuntutan, jaksa menyatakan Iwan telah terbukti "secara sah dan meyakinkan" melakukan tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 338 KUHP (pembunuhan yang disengaja), dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

Dari keterangan saksi--menyatakan bahwa Mercy yang dikemudikan Iwan melaju kencang ke arah Eko Prasetio dan menabraknya--jaksa menuntut terdakwa telah melakukan secara sengaja merampas nyawa orang lain, sesuai pasal 338 KUHP.

Maka, ujar jaksa, "[kami] menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, Iwan Adranacus, dengan pidana penjara selama lima tahun, dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan."

Tuntutan itu, kata jaksa Titiek, berdasarkan pertimbangan yang meringankan maupun memberatkan terdakwa.

Pertimbangan yang memberatkan, menurut jaksa, tindakan Iwan telah menelan korban jiwa. Sedangkan hal yang meringankan di antaranya Iwan dinilai sopan dalam persidangan.

Pemberian uang duka, uang damai, dan uang jaminan hidup kepada keluarga korban dinilai jaksa turut meringankan tuntutan kepada Iwan.

Selain itu, ada surat pernyataan damai dari ayah almarhum Eko Prasetio, Suharto, yang dijadikan jaksa sebagai salah satu pertimbangan meringankan bagi Iwan.

Lolos dari Dakwaan Primer Pembunuhan

Namun, dalam sidang putusan pada Selasa, 29 Januari, majelis hakim tidak sepakat dengan tuntutan jaksa lewat dakwaan primer pembunuhan.

Alasannya, menurut hakim anggota Endang Makmun, Iwan dinilai "tidak ada niat untuk membunuh Eko Prasetio."

Endang berkata Iwan mengejar Eko dengan maksud "mengklarifikasi" tindakan-tindakan korban. Pasalnya, korban sempat mengacungkan jari tengah kepada Iwan dan dua kali menendang Mercy sembari mengancam dengan kata-kata "mati kamu".

Karena itulah, ujar hakim, Iwan merasa terancam. Dan maksud Iwan mengejar korban adalah untuk pergi kantor polisi, "mengklarifikasi" permasalahan di kantor polisi.

"Apalagi kejadian itu dekat dengan kantor Polresta Surakarta. Mana mungkin terdakwa ada niat untuk membunuh korban Eko Prasetio? Dan sampai detik ini pun terdakwa tidak ada niat sama sekali untuk membunuh korban," kata hakim Endang.

Hakim menyampaikan, seandainya Iwan berniat membunuh korban, Iwan tidak perlu mendekati korban, tapi bisa langsung menabrakkan mobilnya ke arah Eko Prasetio.

"Sehingga, menurut majelis hakim, niat untuk membunuh korban Eko Prasetio tidak ditemukan," ujar hakim.

Letak kesalahan terdakwa, menurut hakim, karena Iwan tidak dapat mengendalikan mobilnya, ia menyerempet motor korban hingga korban terjatuh dan kemudian tewas.

Iwan dinilai hakim "kurang bisa mengendalikan emosi." Perbuatan Iwan, ujar hakim, tidak dapat dijadikan contoh yang baik dalam mengemudikan mobil.

"Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum," tambah hakim.

Majelis hakim memilih pasal alternatif dari Undang-Undang 22/ 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Lewat pasal 311 ayat (5), Iwan dinilai "telah bersalah ... dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau mengakibatkan orang lain meninggal dunia."

Untuk itu, ujar Hakim Ketua Krosbin Lumban Gaol, "[Kami] menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun."

Infografik HL Indepth Mercy Solo

Infografik Kasus Mercy Maut di Solo

Beda Pendapat soal "Ganti Rugi" Rp1,1 Miliar

Majelis hakim mempertimbangkan vonis 1 tahun kepada Iwan Adranacus karena terdakwa "bersikap sopan dan tidak mempersulit" proses persidangan; terdakwa maupun keluarganya telah meminta maaf kepada keluarga korban; serta terdakwa telah memberikan uang duka kepada keluarga korban sebesar Rp1,1 miliar.

Hakim juga mempertimbangkan ayah korban yang telah "mengikhlaskan" kematian anaknya. Sang ayah, Suharto, meminta agar terdakwa dibebaskan atau dihukum seringan-ringannya. Suharto juga minta adik korban dapat dipekerjakan di PT Indaco Warna Dunia, sebuah pabrik cat di Karanganyar tempat Iwan menjabat direktur utama.

Di persidangan, Iwan mengakui telah memberikan uang ganti rugi kepada ahli waris korban, yakni istri dan anak korban, sekitar satu bulan setelah kejadian.

"Kemarin kami sudah memberikan Rp100 juta, demikian juga memberikan untuk kesehatan dan pendidikan," ujar Iwan di persidangan. "[Total semua] Rp1 miliar."

Harapannya, ujar Iwan, "Minimal ada ucapan dan dukungan yang meringankan dari keluarga korban."

Hakim Endang Makmun menerangkan uang Rp1,1 miliar telah dianggap "sah dan berguna." Ini dibuktikan lewat keterangan saksi Wahyu Fajar, yang mengatakan terdakwa telah menyampaikan uang duka kepada keluarga korban selama dua kali, 27 September 2018 dan 12 November 2018.

Hal itu juga diperkuat keterangan saksi Sutardi, mertua korban.

"Ia membenarkan uang duka telah diterima oleh istri korban, dengan demikian bantuan uang dari terdakwa adalah sah," kata hakim Endang.

Namun, jaksa penuntut umum Satriawan Sulaksono mengatakan uang duka Rp1,1 miliar kepada keluarga korban tidak bisa dianggap sebagai "ganti rugi."

Uang itu, katanya, lebih layak dinilai "iktikad baik terdakwa" sebagai uang duka atau biaya hidup keluarga korban. Korban, ujar jaksa, meninggalkan seorang istri dan seorang balita.

Satriawan berkata sampai kapan pun keluarga korban akan tetap rugi. Pasalnya, seorang anak tetap kehilangan ayahnya, seorang istri tetap kehilangan suaminya, dan seorang ayah tetap kehilangan anaknya.

Meskipun keluarga telah berkata "ikhlas" dan menerima hal itu sebagai "takdir", ujar Satriawan, "Nyawa telah hilang dan tidak dapat dipulihkan kembali sekalipun dihubungkan dengan konsep restorative justice."

Beda Pendapat Keluarga Soal Rp1,1 miliar

Suharto, ayah Eko Prasetio, dalam sidang pledoi pada 10 Januari 2019, meminta kepada majelis hakim agar Iwan Adranacus dibebaskan atau paling tidak hukumannya diringankan.

"Kami meminta kepada majelis hakim untuk memberikan kebebasan bersyarat kepada terdakwa. Kami menyadari bahwa ini adalah sebuah kecelakaan yang tidak disengaja," kata Suharto.

Suharto mengatakan ia sudah mengikhlaskan kepergian putranya. Untuk membuat perasaanya lega, ia telah memaafkan Iwan.

Ia berkata bahwa tindakan pemaafan dan permintaan agar hukuman Iwan diringankan bukan karena uang. Ia mengaku ia memang ditawari uang oleh Iwan hingga miliaran rupiah tetapi ia menolaknya.

"Saya bicara ini bukan karena saya dibayar [...] Berbeda dengan anak mantu saya dan besan saya yang telah menzalimi saya. Mereka menerima uang tanpa kompromi, baik [menerima uang] dari rumah sakit, tempat anak saya kerja, dan dari terdakwa," katanya.

Namun, Suharto berkata tidak mempermasalahkan hal itu. Ia berharap agar uang yang telah diberikan oleh Iwan dapat digunakan dengan baik terutama untuk keperluan masa depan cucunya.

Belakangan, ia meralat ucapannya setelah sidang putusan Iwan Adranacus. Jika memang besan dan menantunya tak sanggup membiayai cucunya, Suharto berkata siap membiayai dan mengasuh cucunya.

"Kepada besan dan anak mantu saya, kalau anda punya harga diri dan moral, tolong kembalikan uang yang Rp1,1 miliar itu," ujarnya.

Guna meminta klarifikasi soal uang "ganti rugi" Rp1,1 miliar, saya telah beberapa kali menghubungi istri dan mertua almarhum Eko Prasetio. Namun, mereka enggan memberikan keterangan. Saya juga mendatangi kediaman istri dan mertua korban, tapi gagal menemuinya.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Fahri Salam