Menuju konten utama

Ganjar, Ridwan Kamil, sampai Bupati Tolak Impor Beras ala Jokowi

Sejumlah gubernur dan bupati menolak impor beras, tapi pemerintah tidak bergeming. Impor beras diduga tidak semata-mata untuk kebutuhan pangan nasional.

Ganjar, Ridwan Kamil, sampai Bupati Tolak Impor Beras ala Jokowi
Presiden Joko Widodo memberi makanan untuk ikan yang diternak di lahan pertanian padi di Tanjungsari, Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (29/10). Dalam kunjungan itu Presiden Joko Widodo mengamati langsung hasil panen benih unggulan teknologi padi Jarwo Super karya penelitian dan pengembangan Kementerian Pertanian yang diharapkan mampu meningkatkan hasil produksi dua kali lipat dari hasil panen biasanya. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/aww/16.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan M Lutfi sudah memutuskan impor beras satu juta ton menjelang masa panen raya. Mereka mengklaim kebijakan ini tidak merusak harga gabah petani dan beras diserap oleh Bulog serta dikeluarkan pada saat-saat tertentu.

Namun, klaim tersebut tak dipercaya para petani. Beberapa kepala daerah bahkan menyatakan secara eksplisit menolak kebijakan pemerintah pusat ini atau setidak-tidaknya menyebut kebijakan ini tidak tepat.

Salah satunya Bupati Blora, Arief Rohman. “Menurut saya sebaiknya pemerintah pusat mengutamakan penyerapan gabah lokal dahulu. Belum impor saja harga gabah sudah turun. Kita minta pemerintah fokus penyerapan. Kasihan petani, pupuk sudah sulit, ketika panen harga turun,” kata Arief kepada reporter Tirto, Rabu (17/3/2021).

Di Blora, sentra utama beras di Indonesia, sudah mulai panen raya. Arief mengatakan harga gabah petani di daerahnya saat ini sudah berada di bawah harga acuan--Rp3.200/kg saat harga pembelian pemerintah (HPP) Rp4.200/kg. Jebloknya harga karena turun hujan yang membuat kadar air gabah tinggi dan berdampak kualitas menurun.

Sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga mempertanyakan alasan mendesak dari Kemenko Perekonomian dan Kemendag.

“Kalau alasan darurat bencana, boleh-boleh saja atau pun impor beras khusus dan karena kebutuhan daerah tertentu, silakan. Tapi harus dijelaskan secara detail agar tidak mengguncang situasi pada saat kita mau panen. Inikan sudah masuk musim panen,” ujar Ganjar pada 8 Maret lalu.

Beralih ke barat, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun menyatakan hal serupa. “Kalau tiba-tiba impor beras, bisa kebayang harganya kebanting,” katanya di Bandung, 17 Maret. Sama juga seperti Ganjar, alih-alih impor, ia meminta pemerintah “maksimalkan saja produksi Jabar yang melimpah.”

Dari wilayah timur, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengatakan bila pemerintah pusat jadi mengimpor, maka beras tersebut tidak boleh masuk ke provinsinya karena akan merusak harga pasar dan memukul petani. “Berasnya sudah susah dijual, impor masuk ini akan sangat merugikan,” kata Rusli Habibie pada 9 Maret lalu.

Hal itu ia sampaikan lewat surat kepada Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan. Ia juga meminta Bulog di daerahnya mengutamakan gabah dari petani setempat.

Gorontalo merupakan salah satu lumbung pangan di Pulau Sulawesi dengan produksi beras suprlus hingga akhir tahun ini.

Direktur Utama Bulog Budi Waseso mengaku meski mendapat tugas impor dari dua menteri, dia bilang belum tentu akan menjalankannya. “Karena kami tetap prioritaskan produk dalam negeri yang mencapai masa puncak panen raya,” kata Buwas.

Selain itu ia mengatakan saat ini saja di Bulog masih ada ratusan ribu ton beras impor beberapa tahun terakhir yang belum tersalurkan.

Kendati demikian, laporan dari petani menyebut Bulog mengurangi kuota penyerapan di daerah, kata GubernurRidwan Kamil. Ia mendapat laporan petani di Cirebon yang menyatakan Bulog hanya menyerap 21 ton yang biasanya 120 ton.

Harus Didukung Data Valid

Menguatkan pendapat para kepala daerah, menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, impor pangan tidak dilarang asalkan memang dibutuhkan. Untuk mengetahui apakah itu dibutuhkan atau tidak, mau tidak mau semua kembali lagi ke data: berapa luas lahan, berapa produksi, dan berapa yang dibutuhkan.

“Impor harus didukung data valid, bukan pertimbangan perburuan rente dan bukan hanya masalah harga,” kata Enny, melansir Antara. “Memang harga dalam negeri punya disparitas yang tinggi dari harga internasional, ini karena biaya produksi di dalam negeri cukup mahal.”

Menurut Enny masalah beras di Indonesia bukan cuma harga yang mahal sehingga solusinya adalah beras dengan harga lebih murah dari luar negeri, melainkan juga rente yang masih kental. Yang dimaksud rente adalah penguasaan yang terkonsentrasi di pihak-pihak tertentu.

“Ketidakmerataan produksi dan distribusi inilah yang harus diselesaikan,” tandasnya.

Impor beras di Indonesia sudah berjalan lama dan terus ditolak. Kali ini pemerintah pusat lagi-lagi bergeming atas penolakan kepala daerah. Dilaporkan Bangkokpost, Indonesia dijadwalkan menekan perjanjian impor beras dengan pemerintah Thailand pada akhir Maret ini.

Menteri Perdagangan Thailand Jurin Laksanawisi menyebut impor melalui skema goverment to goverment (G to G) selama empat tahun untuk jenis beras putih 15-25 persen. Menurut perjanjian, impor beras dilakukan dengan catatan tergantung produksi beras di Indonesia dan Thailand serta harga beras dunia.

Baca juga artikel terkait IMPOR BERAS atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Bisnis
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino