Menuju konten utama

Ganjar Pranowo di Tengah Kuasa Megawati atas PDI Perjuangan

PDI-P dan Megawati nampaknya menghadapi dilema: Antara menjagokan Ganjar yang elektabilitasnya tinggi, atau Puan yang merupakan penerus trah Sukarno.

Ganjar Pranowo di Tengah Kuasa Megawati atas PDI Perjuangan
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - “Kalau Pak Ganjar [mencalonkan diri] jadi presiden,” kata mantan vokalis yang kini dikenal sebagai pelawak dan influencer Andre Taulany dalam unggahannya di Taulany TV, Rabu 26 Mei 2021, “saya jadi orang pertama yang nyoblos.”

Ganjar yang dimaksud Andre tidak lain adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang tengah berkunjung ke rumahnya di bilangan Bintaro, Tangerang Selatan. Ganjar juga merupakan kader partai penguasa saat ini, PDI Perjuangan.

Selama setidaknya setahun belakangan, Ganjar memang kerap tampil di media sosial para influencer. Sebelumnya ia menjadi bintang tamu acara Deddy Corbuzier dan Boy William.

Tapi Ganjar tidak hanya menjalin relasi dengan para influencer. Dia juga menjelma sebagai influencer itu sendiri. Ganjar membuat saluran YouTube pada 20 Mar 2018. Pelanggannya hampir 1 juta akun dan video yang diunggahnya telah ditonton lebih dari 91 juta kali. Isi videonya beragam, mulai dari kegiatan pribadi hingga pekerjaannya sebagai kepala daerah provinsi nomor tiga terpadat di Indonesia.

Kegiatan Ganjar juga jadi salah satu konten yang paling menonjol di saluran YouTube Humas Jateng. Akun ini diikuti oleh 167 ribu pengguna.

Selain di YouTube, yang saat ini merupakan media sosial paling populer di Indonesia, Ganjar juga aktif di Twitter dengan pengikut 1,9 juta akun; sedangkan akun Instagram-nya diikuti oleh 3,4 juta pengguna.

Kekuatan Ganjar di media sosial ini amat timpang dengan Puan Maharani, Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDI-P sekaligus Ketua DPR RI. Keduanya beberapa waktu terakhir tampak berhadap-hadapan terutama ketika Ganjar tak diundang dalam pembekalan kader menuju Pilpres 2024 pada Minggu 23 Mei 2021. Terlebih lagi dalam acara tersebut Puan mengatakan bahwa pemimpin yang baik itu adalah mereka yang tidak hanya berhubungan dengan masyarakat di media sosial, “tapi memang nyata terjalin di lapangan.”

Puan tidak punya akun Twitter dan YouTube resmi atau centang biru, sementara akun Instagram-nya hanya diikuti oleh 485 ribu akun per 7 Juni 2021. Untuk menyaingi Ganjar, angka itu harus diperbanyak hingga tujuh kali lipat.

Persis karena alasan popularitas di jagat maya itu, Ganjar tak diundang dalam pembekalan Pilpres 2024, setidaknya menurut Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PDI-P Bambang Wuryanto. “Hal ini ditengarai dengan tingginya intensitas Ganjar di media sosial dan media massa, bahkan Ganjar sampai rela menjadi host di YouTube-nya, padahal hal serupa tak dilakukan oleh kader PDI-P yang lain yang juga berpotensi untuk nyapres,” ujar pria kerap disapa Bambang Pacul ini.

Mega di Antara Trah Sukarno dan Partai

Meski Pilpres 2024 masih menghitung tahun, partai seperti PDI-P memang telah mulai mempersiapkan diri dan wacana tentang siapa politikus yang bakal meramaikannya telah muncul. Ganjar tak terkecuali. Namanya mencuat dalam jajak pendapat mana pun sejak Pilpres 2019 berakhir dan dia tidak pernah ada di urutan tengah apalagi bawah.

Pertama survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2019. Survei ini hanya mencari nama-nama potensial untuk Pilpres 2024 dan Ganjar adalah salah satu di antaranya. Pada survei Indo Barometer yang keluar pada Februari 2020, nama Ganjar berada di urutan keempat dengan perolehan suara 7,7%.

Pada bulan-bulan selanjutnya, pria kelahiran 28 Oktober 1968 ini semakin menarik suara responden. Survei Indikator Politik Indonesia pada Mei, Juli, dan September 2020, misalnya, mencatat nama Ganjar selalu bertengger di peringkat teratas dengan perolehan suara berturut-turut 11,8%, 16,2%, dan 16,7%. Sedangkan survei Indometer pada Juli 2020 menemukan Ganjar digemari 15,4% responden.

Ganjar kembali mendapat peringkat teratas pada survei Saiful Muljani Research Center (SMRC) yang keluar Desember 2020. Dia dipilih oleh 15,7% responden. Pada bulan yang sama, survei dari Polmatrix Indonesia menunjukkan Ganjar dipilih oleh 17,1% responden--hanya di bawah Prabowo Subianto. Survei teranyar Y-Publica yang keluar akhir Mei 2021 mencatat Ganjar dipilih 20,2% dari 1.200 responden.

Puan juga tampak konsisten, akan tetapi dari sisi sebaliknya: dari berbagai survei dia tidak pernah dapat menarik bahkan 1% responden.

Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada September 2020 mencatat Puan berada di peringkat bawah dengan perolehan 0,9% suara responden. Survei dari Maret-April 2021 yang dilakukan KedaiKOPI juga tidak lebih baik. Dia hanya dipilih sebanyak 0,2% responden. Dari survei Y-Publica, Puan juga hanya mendapat 0,7%.

Sederet jabatan mentereng, mulai dari Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ketua DPP PDIP, anggota legislatif, hingga Ketua DPR perempuan pertama di Indonesia ternyata tak mampu mengerek elektabilitas Puan sebagai pemimpin Indonesia di 2024.

Sampai sini semua tampak mudah bagi PDI-P, apalagi jika melihat sejarah Pilpres 2014. Ketika itu Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri punya elektabilitas yang kecil, sedangkan Joko Widodo melesat bersanding dengan Prabowo Subianto. Pada 2013, setahun menjelang pemilihan, Puan telah mengatakan bahwa Mega, yang tak lain merupakan ibu kandungnya, “berkeinginan kaderisasi dan regenerasi.” “Kalau ada tokoh muda potensial, kenapa tidak?” katanya.

Pada tahun itu belum ada keputusan siapa yang mereka calonkan. Namun pada detik-detik terakhir jelang batas pendaftaran, Mega akhirnya mencalonkan Jokowi bersama Jusuf Kalla dan akhirnya menang. Mega juga mengakui bahwa dipiliihnya Jokowi karena ia “tidak hanya populer, tapi juga bekerja, tulus, memiliki komitmen, dan kepribadiannya sederhana.”

Hanya satu perkara yang barangkali membuat hitung-hitungan politik PDI-P dalam Pilpres 2024 tak sesederhana yang digambarkan dalam survei-survei di atas: Puan adalah satu-satunya harapan--dan mungkin yang terakhir--agar trah Sukarno kembali benar-benar menancapkan nama sebagai pemimpin Indonesia.

Faktanya Mega tidak pernah benar-benar memenangkan pilpres. Jabatannya sebagai presiden kelima diperoleh karena Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dilengserkan dari kekuasaan. Dia sempat maju pada Pilpres 2004 dan 2009, berpasangan dengan Hasyim Muzadi dan Prabowo. Dua-duanya mendera kekalahan.

Pada 2014, Mega hendak mencoba peruntungan untuk ketiga kalinya, kendati mungkin hanya menjadi wakil presiden bagi Prabowo berdasarkan Perjanjian Batu Tulis. Namun semuanya berubah ketika dia memberikan restu kepada Jokowi.

Sekarang, Mega menghadapi dilema serupa. Antara menyerahkan tiket kepresidenan kepada pejabat partai yang punya elektabilitas tinggi seperti Jokowi dan disukai publik karena main media sosial, atau kepada putrinya yang merupakan trah Sukarno kendati elektabilitasnya rendah.

Variabel tambahan, elektabilitas tinggi individu kader bisa membawa PDI-P menang pemilu legislatif lagi untuk ketiga kalinya--dan dengan demikian menguasai parlemen. Ini dibuktikan pada saat penunjukan Jokowi di 2014 dan 2019. Dua kali PDI-P keluar sebagai partai pemenang.

Infografik HL Indepth Kongres PDI Perjuangan

Infografik HL Indepth Kuasa Abadi Megawati Soekarnoputri. tirto.id/Lugas

Nasib Ganjar di Tangan Mega?

Pada akhirnya semua tergantung Megawati Sukarnoputri atau Bu Mega. Ganjar sendiri mengakui itu.

“Harus. Petugas partai harus nurut semuanya,” kata Ganjar seperti dilansir KompasTV, merespons pernyataan Mega apabila ada kader partai yang tidak melaksanakan arahan.

Ganjar sepatutnya tahu bahwa memang nasibnya bukan di tangan Puan, tetapi Mega. Makanya tidak mengherankan ketika terlibat perselisihan dengan Puan, Ganjar tampak tidak ambil pusing. Ganjar irit bicara ketika ditanya perihal nihilnya undangan dari partai ketika Puan berkunjung ke Jateng. Dia malah menyebut Puan sangat berjasa dalam perjalanan karier politiknya di provinsi itu.

Ia juga menjaga betul omongan soal pencalonan Pilpres 2024 yang keluar dari mulutnya. “Sing arep maju iki sopo? (yang mau maju siapa)?” kata Ganjar. Tentu omongan ini tidak bisa jadi pegangan karena Jokowi juga mengucapkan hal sama sebelum 2014 jadi calon presiden. Tapi setidaknya omongan ini tidak menciptakan konflik lebih jauh dengan Puan yang selalu diisukan maju pada Pilpres 2024.

Alternatif untuk Ganjar bukannya tidak ada. Ketika lewat PDI-P agak sulit, relawan bernama Ganjarist mendukungnya pindah partai agar dapat mencalonkan diri pada Pilpres 2024. Tapi upaya itu tidak semudah membalik telapak tangan. Partai yang dituju belum tentu bersedia memberikan tiket calon presiden.

Pilihan partai pun bisa jadi terbatas. Jika ideologi jadi pertimbangan, maka partai nasionalis yang tersedia hanya Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat. Belum lagi mereka juga nampaknya sudah punya calon sendiri.

Partai Nasdem pernah menyatakan minatnya mengambil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Partai Gerindra masih akrab dengan sosok Prabowo dan Sandiaga Uno. Demokrat juga punya calon sendiri, yakni Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dan Partai Golkar tidak pernah mengusulkan calon yang bukan dari internal. Bila pindah partai, Ganjar harus bersaing dengan mereka semua.

Dosen Program Studi Ilmu Politik dari Universitas Bakrie Irfan Harapan Harahap, dalam tulisannya berjudul Kaderisasi Partai Politik dan Pengaruhnya Terhadap Kepemimpinan Nasional (2017) megatakan kader memang menentukan daya jual partai politik di masyarakat. Untuk mendapatkannya, pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi harus berjalan dengan baik. Jika partai hanya mengusung tokoh-tokoh yang hanya terkenal karena elektabilitas tinggi, Irfan menganggap rekrutmen dan kaderisasi secara instan itu hanya akan merugikan partai.

Kaderisasi instan itu, menurut Irfan, akan mengurangi kepercayaan publik kepada partai politik dalam mencetak pemimpin nasional yang berkualitas dan berintegritas. Belum lagi ini bisa berdampak pada rusaknya ekosistem partai. Kader yang loyal bisa berubah haluan karena merasa tidak dihargai.

“Kader lama yang kurang populer tidak memperoleh ‘panggung’, kalaupun ada, akan dimasukkan sebagai cadangan. Kurangnya penghargaan terhadap kader lama sangat berpotensi menimbulkan runtuhnya kekuatan internal suatu partai politik,” catat Irfan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga pernah menyusun laporan berjudul Panduan Rekrutmen & Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia (2018). KPK dan LIPI berpandangan perekrutan dan kaderisasi harus dilakukan secara terbuka dan berjenjang; tidak secara tiba-tiba menghadirkan pemimpin instan.

Terbuka artinya ketua umum bukan jadi satu-satunya penentu kader mana yang bisa jadi calon presiden atau wakil presiden, tapi ditentukan melalui pelatihan dan penyaringan berjenjang.

“Dengan cara rekrutmen terbuka terbatas secara transisional, partai-partai akan mengalami perubahan karena kader-kader partai diberi peluang yang jauh lebih besar ketimbang orang-orang luar yang dapat menelikung proses demokrasi internal partai,” catat KPK dan LIPI.

Pada akhirnya peluang Ganjar untuk maju sebagai calon presiden memang lebih besar di PDI-P. Dia bukan orang baru. Menjabat anggota DPR dari PDI-P pada 2009 dan menapaki jalan menjadi Gubernur Jateng pada 2013, Ganjar bisa jadi contoh kesuksesan kaderisasi partai.

Tapi nasib Ganjar menjadi calon presiden tetap di tangan Mega, yang, sekali lagi, mungkin tengah menimbang-nimbang apakah mengutamakan kemudahan karena faktor elektabilitas kader atau bertaruh untuk membawa kembali trah Sukarno sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2024 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino