Menuju konten utama

Ganja Medis Usai Fidelis: Mengapa Reynhart Harus Dibebaskan?

Reynhart Rossy Siahaan menggunakan ganja untuk alasan medis. Tapi dia ditangkap, seperti Fidelis beberapa tahun lalu.

Ganja Medis Usai Fidelis: Mengapa Reynhart Harus Dibebaskan?
Ilustrasi baik-buruk ganja. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur mendapat informasi ada ganja masuk ke Kabupaten Manggarai pada Sabtu 16 November 2019. Mereka segera melacak lokasi dan sehari kemudian menemukan paket ganja seberat 428,26 gram di sebuah kamar indekos di Kelurahan Wae Kelambu Kecamatan Komodo.

Petugas membekuk Reynhart Rossy Siahaan (37), si pemilik paket.

“Tangga 21 [November 2019] diambil tes urinenya di RS Polri di Kupang. Hasilnya positif mengandung ganja,” kata pengacara Reynhardt, Harie Nugraha Cristen Lay kepada reporter Tirto, Kamis (11/6/2020).

Reynhart mengonsumsi ganja karena alasan kesehatan. Ia jadi kerap sakit sejak 2015, saat masih tinggal di Jakarta. Berdasarkan hasil CT Scan dari RS Omni, diketahui itu akibat kelainan pada saraf dan diduga terkait pekerjaannya sebagai porter. Ia pindah Labuan Bajo NTT karena kehilangan pekerjaan di ibu kota. Di tempat baru ini ia bekerja di sektor pariwisata.

Reynhart kembali merasakan sakit pada 2018 dan tak kunjung sembuh kendati telah menjalani pengobatan. Ketika hampir putus asa, Reynhart membaca artikel di internet yang menyebut penyakitnya bisa diatasi dengan air rebusan ganja. Reynhart memutuskan untuk mencobanya. Ia mendapati barang tersebut dari seseorang bernama Reno.

“Setelah diminum rasa sakitnya berkurang. Karenanya jadi rutin dan jadi kebiasaan, [apalagi] dia kan bekerja sehingga kalau sakit sedikit pasti terganggu,” kata Harie.

Tapi proses hukum terhadap Reynhart tetap berjalan dan kini ada di tahap persidangan. Para saksi mengatakan Reynhart memang menggunakan ganja itu sebagai obat. Sebagai bukti, pengacara membawa hasil CT Scan ke pengadilan. Sementara jaksa bersikeras menuntut Reynhart bersalah dengan hukuman satu tahun penjara. Ia dianggap melanggar Pasal 127 ayat 1 UU 35/2009 tentang Narkotika.

Semestinya Reynhart menjalani sidang putusan kemarin (11/6/2020), tapi karena hakim belum siap maka sidang ditunda hingga pekan depan.

Mengulang Fidelis

Kisah Reynhart mirip seperti kasus Fidelis Arie Sudewarto. Tahun 2017 lalu Fidelis menggunakan ganja untuk mengobati istrinya yang mengidap syringomyelia atau gangguan saraf tulang belakang akibat kista. Fidelis dihukum delapan bulan penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat.

Selama penahanan Fidelis, kondisi sang istri terus menurun hingga akhirnya meninggal dunia.

Pengacara publik dari LBH Masyarakat Ma’ruf Bajammal menilai kasus serupa akan selalu terjadi lantaran Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika terang menyatakan narkotika golongan 1, di antaranya ganja, dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Selain itu, pemanfaatan narkotika golongan 1 untuk penelitian pun sangat terbatas. Pasal 8 ayat 2 beleid tersebut menyebut penelitian membutuhkan persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Padahal menurut pasal 4, UU ini bertujuan "menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi." Hal ini pun sejalan dengan tujuan Konvensi Tunggal tentang Narkotika tahun 1961 yang telah diratifikasi Indonesia.

Karena itulah Ma’ruf menyebut kasus seperti Fidelis dan Reynhart “kriminalisasi”. “Kriminalisasi ini jelas bertentangan dengan tujuan pertama dan utama keberadaan narkotika, yaitu untuk kesehatan masyarakat,” kata Ma’ruf.

Ma’ruf berharap hakim dapat bertindak bijak dengan membebaskan Reynhart. Hakim bisa menggunakan Pasal 48 KUHP yang mengatakan barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Asmin Fransiska mengatakan butuh perubahan radikal untuk memastikan masalah seperti ini tidak terjadi lagi. Dari sisi kultural, stigma terhadap pengguna narkotika masih sangat lekat bahkan di kalangan penegak hukum. Hal ini terlihat dari jumlah penghuni lapas yang setengahnya adalah napi pengguna narkotika.

Selain itu, ia menilai pemerintah tidak memiliki perspektif terkait kebijakan narkotika. Kebijakan narkotika selama ini hanya bersifat reaktif, contohnya tembakau gorilla yang dimasukkan ke dalam daftar zat terlarang setelah ramai dibicarakan masyarakat beberapa waktu lalu.

Karena itu menurutnya, meski revisi UU Narkotika penting, tapi jika pemerintah dan legislatif belum memiliki perspektif, maka hasilnya tidak akan bagus.

Negara lain saja sudah melihat masalah ini dari perspektif kesehatan, katanya. Sejumlah negara melegalkan penggunaan ganja untuk medis atau penggunaan sendiri. Selain itu, penggunaan narkotika pun didekriminalisasi dan digantikan dengan rehabilitasi kesehatan atau rehabilitasi sosial.

“Kita mau ke mana? Kita enggak punya satu pegangan dalam kebijakan narkotika, jadi ikuti tren saja. Lagi ramai menghukum ya menghukum, lagi ramai hukuman mati ya hukuman mati,” katanya.

Baca juga artikel terkait GANJA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino