Menuju konten utama

Gairah Hijrah Meletupkan Persaingan dan Keuntungan Busana Syar'i

Pelopor busana syar’i kini dikepung pesaing dan penjiplak desain. Namun, tetap laris manis.

Gairah Hijrah Meletupkan Persaingan dan Keuntungan Busana Syar'i
Sanza (kiri) dan Senaz, adik-kakak yang mendirikan usaha bisnis busana muslim syar'i dengan brand "si.se.sa" sekitar tahun 2013 karena melihat potensi bisnis busana muslim yang menjanjikan. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Si.Se.Sa mengawinkan perkembangan mode dengan prinsip syariah Islam. Ia melahap jangkauan pasar sekaligus mempertebal pengaruh. Ia menjual pakaian syar'i yang mewah.

Label itu didirikan Siriz, Senaz, dan Sansa, tiga bersaudara yang ditopang ibunya, desainer ternama Merry Pramono. Mereka mengincar daya tarik orang yang berhijrah, awam soal ajaran Islam, dan tenggelam dalam mitos bahwa pakaian muslim ketinggalan zaman dan ribet.

Konsepnya dirancang untuk menjawab bermacam pertanyaan seperti bagaimana jika ke kamar mandi? Seperti apa padu padan baju untuk ke kantor? Ribet dipakai atau tidak? Bahannya panas atau sebaliknya?

Sejak memutuskan konsisten menggunakan dan berbisnis busana syar’i pada 2013, label tiga bersaudara itu punya peran baru: menjadi duta busana syar’i kaum mudi.

Kala itu usia Senaz dan Sansa pada pengujung 20-an dan awal 30-an tahun. Mayoritas perempuan muslim seusia mereka tidak mengenakan khimar dan gamis panjang. Hal itu membuat mereka dipandang berbeda daripada yang lain. Mereka kerap dihampiri orang asing yang penasaran soal gaya busananya.

“Hijab panjang hanya dikenakan oleh guru pengajian atau peserta acara pengajian,” kata Senaz menerangkan sosok pemakai busana syar’i enam tahun lalu.

Awalnya mereka membuat busana untuk memenuhi kebutuhan sandang sehari-hari. Atas dorongan sang ibu, mereka memberanikan diri membuka usaha dagang busana syar’i.

Kejutan pertama datang kala Si.Se.Sa melantai dalam bursa pagelaran busana Indonesia Fashion Week 2013 di Jakarta Convention Center (JCC).

Stan mereka dalam acara itu dipadati para pengunjung yang membeli borongan. “Kami sampai harus re-stock berulang kali dan terpaksa menerapkan sistem pre-order,” kata Senaz, yang saat itu menjual sekitar 3.000 potong busana per hari dengan harga Rp450.000.

Kisah manis soal dagangan laris itu awet hingga kini. Senaz berkata pendapatan bisnisnya selalu meningkat setiap tahun. Tantangannya, ia mesti berpikir keras untuk mengeksplorasi desain baju. Alasannya, “Penjiplak Si.Se.Sa sudah banyak sekali. Dari segi harga, tentu jauh lebih murah.”

Peminat produk Si.Se.Sa adalah kalangan menengah ke atas. Saat ini, satu khimar dijual Rp950 ribu sementara setelan gamis dijual dari harga Rp2,5 juta hingga Rp6 juta.

Seiring waktu, mulai terkikis kecemasan kaum akhwat tentang busana syar’i yang terkesan rumit. Kini, busana itu ibarat kemeja atau kaus yang biasa dikenakan orang-orang. Sebagai contoh, acara Hijrah Festival 2019 dibanjiri perempuan yang dominan memakai busana syar’i.

Di tempat itu, berjajar lapak-lapak yang menjual gamis serta khimar. Harganya sekitar Rp80 ribu hingga Rp180 ribuan. Nyaris tak pernah sepi pengunjung. Pembelinya adalah kaum muda.

Saya berjumpa tiga perempuan bercadar yang berbelanja di tenant Hijrah Fest 2019, yang baru mengenakan busana syar’i kurang dari enam bulan lalu.

“Aku merasa lebih dihargai dan lebih aman mengenakan busana syar’i,” kata Rosalia, 24 tahun, yang mengenakan busana syar'i dalam hitungan minggu.

“Busana itu bertujuan untuk menyampaikan kebaikan. Busana syar’i ini punya makna yang baik,” tambah Alfira, 20 tahun.

“Memakai baju seperti ini hitungannya Sunnah dan dengan baju syar’i, kita bisa lebih jaga diri sendiri,” sahut Mita, 25 tahun.

Setiap bulan, tiga remaja itu setidaknya membeli busana syar’i sebanyak dua kali. Busana yang dibeli rata-rata seharga Rp250 ribu hingga Rp350 ribu.

Infografik HL Indepth Hijrah

Infografik Fesyen Syar'i untuk hijrah. tirto/Lugas

Berebut Pasar

Sejak 2017, sejumlah desainer segmen kelas atas memperluas usaha dengan melansir koleksi busana syar’i. Yang terbaru adalah Vivi Zubedi. Mendekati Ramadan, desainer yang membuka butik di kawasan Kemang Utara ini melansir koleksi busana syar’i yang membidik pasar serupa dengan Si.Se.Sa.

Bedanya, Vivi menjual busana dengan harga di bawah Si.Se.Sa, sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta.

Hal serupa terjadi pada label busana Norma Hauri dan IM Syari. Beberapa bulan lalu, mereka melansir koleksi busana kolaborasi dengan selebritas Dhini Aminarti. Busana IM Syari X Dhini Aminarti dijual dari harga Rp900 ribuan.

“Aku ingin menyebarkan cara berpakaian yang baik, yakni tutuplah dada kalian,” kata Dhini dalam acara peluncuran koleksi busana, Januari 2019.

Dhini, yang tak punya pengalaman di gelanggang desain busana, menggandeng Irma, desainer busana muslim yang berkarya sejak akhir 1990-an.

Selebritas dengan 2,4 juta pengikut di Instagram itu terinspirasi dari teman hijrahnya, Shireen Sungkar. Artis sekaligus selebgram itu sudah terlebih dulu meluncurkan koleksi busana syar’i bernama Gerai Hawa.

Kini, desain busana teranyar lansiran Gerai Hawa telah jadi acuan tren busana muslim di salah satu pusat grosir busana muslim Thamrin City, Jakarta Pusat. Gamis syar’i ala Gerai Hawa dijual sekitar Rp250 ribu hingga Rp600 ribu.

Ragam busana syar'i dengan kisaran harga itu juga jadi barang dagangan andalan Tatia, pengusaha busana muslim sejak 2008.

“Busana ini bisa dipakai salat jadi kalau orang traveling, mereka tidak usah ribet ganti busana,” katanya.

Tatia memanfaatkan material seperti ceruti (bahan kain jenis sifon yang teksturnya mirip kulit jeruk), crepe (kain lembut bertekstur seperti kerikil), maxmara (tekstur licin), dan linen look (tekstur serat menonjol) untuk memproduksi busana. Jenis bahan itu juga jadi bahan yang digunakan Shireen dan Dhini Aminarti dalam koleksi busananya.

Tatia pertama kali melansir busana syar'i pada 2013 lewat rok lebar yang disebutnya “gamis 8M”. Pada dua tahun pertama, omzetnya mencapai Rp150 juta dalam sebulan, lalu berlipat ganda pada 2015 dan 2016 menjadi sekitar Rp1 miliar per bulan.

“Sekarang sudah turun karena banyak persaingan. Tahun 2018-2019 ini paling tinggi hanya Rp800 juta. Reseller saya sudah banyak yang akhirnya membuka bisnis sendiri. Kayak gini-gini mudah sekali ditiru,” lanjut Tatia.

Ia berusaha bertahan, dengan mengisap inspirasi dari desainer adibusana seperti Elie Saab, bahkan mengadopsi tren mode dalam berbagai serial drama Korea.

Hal serupa dilakukan pula oleh Irna Mutiara. Bila enam tahun lalu orang menganggapnya sebagai salah satu desainer awal yang mengembangkan busana syar’i, kini ia berharap bisa berkolaborasi dengan sejumlah selebritas atau desainer Milenial. Tujuannya, mereinkarnasi minat konsumen.

Sambil menunggu momen tersebut tiba, Irna memilih untuk membuat bahan busana baru yang lebih nyaman dan terasa sejuk di kulit. “Namanya serat bambu. Anti bakteri dan anti kusut dan bisa nyaman dikenakan untuk beraktivitas di dalam rumah,” katanya.

Bisa jadi, di situlah keahlian Irna. Seorang pengusaha mode yang memelopori dan memantau proses produksi bahan voal, kain yang digunakan sebagai hijab, oleh perusahaan tekstil dalam negeri.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Dieqy Hasbi Widhana