Menuju konten utama

Gagal Reformasi Era Jokowi, Panggung Transformasi Gerakan Mahasiswa

Gagalnya agenda Reformasi menyuburkan kembali pergerakan mahasiswa yang selama ini tak begitu menonjol.

Gagal Reformasi Era Jokowi, Panggung Transformasi Gerakan Mahasiswa
Hingga malam hari ribuan Mahasiswa masih bertahan di pintu tol Senayan saat bentrok dengan aparat Kepolisian dalam sebuah aksi protes #ReformasiDikorupsi di depan Gedung DPR MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/19). Aksi unjuk rasa tersebut menuntut penolakan pengesahan RKUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - “Menteri goblok, menteri goblok, goblok apa sekarang.”

“Goblok benar, goblok benar, goblok benar sekarang.”

Lebih dari 55 tahun yang lalu, lirik yang dinyanyikan dengan nada lagu berjudul “Makan Apa” gubahan Nugroho Setiadi atau Kak Nunuk di atas digunakan oleh mahasiswa untuk mengejek seorang menteri di bawah pimpinan Presiden Sukarno, Ibnu Sutowo. Kendati marah karena dimaki-maki di depan umum, Menteri Minyak dan Gas Bumi itu tidak berani menemui demonstran yang berkumpul di muka gedung departemen.

Hari-hari di tahun 1966 itu adalah puncak demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Sukarno membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya karena dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September (G 30 S). Tuntutan lain mahasiswa adalah rombak kabinet Dwikora dan turunkan harga pangan.

Selain ejekan, suatu siang hari 15 Januari 1966, mahasiswa juga mencegat mobil-mobil menteri yang lewat. Mobil Ahmad Sukendro, yang menjabat menteri negara, dikerumuni. Begitu pula mobil Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani yang dihalangi dengan Jeep. Dua orang itu hanya senyam-senyum dan mengacungkan jempolnya ke kerumunan.

Sekejap menteri bukan lagi orang penting apalagi terhormat.

Sepenuturan Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran cetakan ke-10 (2011), di tempat lain sekitar Istana Negara Jakarta suasana lebih kacau. Mahasiswa terlibat bentrok dengan pasukan Cakrabirawa–yang kelak menjadi Paspampres. Tak terhitung berapa tembakan peringatan ditembakkan.

Situasi baru tenang ketika Soeharto, yang ketika itu secara de facto merupakan pemegang kekuasaan tertinggi tentara, menemui mahasiswa.

Di tengah gelombang protes tersebut, Sukarno malah menaikkan harga bahan bakar minyak. Saking geramnya atas kelakukan mahasiswa, Sukarno memberikan ancaman. Dia menantang siapa yang berani dan sanggup menurunkan harga dalam waktu tiga bulan akan diangkat jadi menteri. Sebaliknya, jika gagal “akan ditembak mati.”

Menurut Gie, bisa jadi itu adalah upaya pengalihan isu soal pembubaran PKI. Tapi bukannya berhasil dialihkan, nyatanya protes mahasiswa malah semakin masif.

“Memang hari itu mahasiswa adalah raja jalanan,” tukas Gie.

Mahasiswa Kiwari

Situasi demonstrasi seperti di atas masih terjadi di era reformasi, khususnya di era presiden sipil, Joko Widodo.

Edward Aspinall, profesor dari Department of Political and Social Change, Australian National University, dalam tulisan berjudul “Indonesian protests point to old patterns” (2020) di New Mandala, mengatakan protes-protes yang berlangsung di Indonesia di era Jokowi mengulang pola lama, yaitu dimotori oleh mahasiswa, sebagaimana yang terjadi di era Sukarno.

Dalam dua dekade terakhir–termasuk pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mahasiswa bukanlah kekuatan politik yang besar. Sepanjang periode tersebut memang ada “mobilisasi dalam jumlah besar” seperti penolakan terhadap kenaikan harga BBM, katanya, tapi “protes-protes ini tidak banyak memengaruhi agenda politik nasional.”

Namun aksi demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan UU KUHP pada 2019 dengan tajuk Reformasi Dikorupsi berbeda; ia berhasil membuat mahasiswa kembali signifikan sampai pada demonstrasi menolak UU Omnibus Law setahun kemudian.

Aksi-aksi itu, bagi Aspinall, disebabkan karena faktor sejarah. Mahasiswa sadar bahwa selama ini mereka punya peran penting dalam menentukan masa depan negara. Ketika Reformasi, yang para senior mereka perjuangkan berpuluh tahun lalu, dianggap gagal di tangan Jokowi, itu jadi dorongan bagi mahasiswa saat ini untuk kembali mengulang sejarah.

Penyebab lain adalah absennya aturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang diterapkan pada masa Orde Baru. Sekarang, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai lembaga mahasiswa intra kampus dapat aktif dalam kegiatan dan menggelar diskusi politik secara bebas.

“Sekarang relatif lebih mudah bagi mereka untuk mengorganisir [diri] dalam lingkup nasional,” catat Aspinall.

Aliansi nasional semacam BEM Seluruh Indonesia (BEM SI), BEM Nusantara, BEM Nasionalis, dan BEM Republik Indonesia (BEM RI) jadi bukti pernyataan Aspinall.

“Masing-masing aliansi BEM ini bergabung berdasarkan kedekatan ideologi perjuangan dan sering kali tidak sejalan dalam beberapa isu,” mengutip laporan mendalam Mawa Kresna untuk Tirto.

Dalam Islamisme ala Kaum Muda Kampus (2020), Zaki Arrobi mengatakan BEM SI merupakan aliansi BEM dari kampus negeri se-Indonesia yang sebenarnya telah terbentuk sejak awal Reformasi, tapi hilang dan baru bangkit lagi pada 2007. Dia mengatakan “BEM SI merupakan jejaring BEM PTN terbesar yang didominasi oleh aktivis-aktivis Tarbiyah” (hlm. 80) yang dekat dengan organ ekstra kampus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Sementara BEM Nusantara didirikan oleh BEM dari kampus-kampus swasta atau kampus kecil yang dekat dengan Kelompok Cipayung, organisasi ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Dalam momen Reformasi Dikorupsi, Kelompok Cipayung menyatakan diri tak terlibat; sementara soal revisi UU KPK mereka setuju. Lalu BEM RI akhirnya memutuskan menarik diri karena merasa demonstrasi ada yang menunggangi.

Tapi tidak semuanya sejalan satu arah. Ada kader-kader yang menentang keputusan pengurus pusat. BEM Nusantara dan Kelompok Cipayung dari Yogyakarta, misalnya, pernah membuat pernyataan sikap menolak UU Omnibus Law. Lalu baru-baru ini, Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra, yang namanya pernah ada dalam HMI, nyatanya mengkritik pemerintah meski KAHMI dan HMI punya relasi baik dengan Jokowi.

Muhammad Ridha, mahasiswa program doktoral di Universitas Northwestern, menanggapi artikel Aspinall dengan mengatakan bahwa ada beberapa yang baru dalam gerakan mahasiswa Indonesia sekarang.

Dalam artikel berjudul “What is new in the old pattern of Indonesia’s student movement?” yang juga terbit di New Mandala, ia mengatakan perbedaan pertama soal mobilisasi, bahwa saat ini “mahasiswa jarang mendeklarasikan posisinya sebagai sektor tersendiri dari gerakan rakyat.” Mereka tidak hanya memakai embel-embel ‘mahasiswa’, tapi bergabung bersama kelompok pekerja dan orang miskin. Sebelumnya gerakan mahasiswa terkesan eksklusif.

Kedua, mahasiswa sadar bahwa gerakan mereka adalah gerakan politik, bukan gerakan moral, dan karenanya tidak malu-malu mengatakan tujuannya adalah menjungkirbalikkan kekuasaan oligarki yang dianggap biang kerok masalah. Ketiga, adanya keterlibatan pelajar, khususnya siswa Sekolah Teknik Menengah (STM).

Ada tiga faktor yang melandasi perubahan ini, kata Ridha: ekonomi, politik, dan ideologi.

Dalam tataran ekonomi, Ridha melihat bahwa mahasiswa di masa Reformasi melihat mereka tidak berbeda dengan kelompok menengah ke bawah. Jika dulu kelompok berpendidikan tinggi seakan istimewa, sekarang mereka juga sulit mendapat pekerjaan setelah lulus. Artinya rezim pasar tenaga kerja fleksibel tidak mengenal Anda berasal dari latar belakang pendidikan seperti apa.

Untuk faktor politik, Ridha menganggap “hubungan patronase antara elite dan gerakan mahasiswa tidak lagi seintensif dulu” sehingga mahasiswa tak lagi dianggap menguntungkan dan perlu diakomodasi. Banyak kelompok lain yang perlu diberikan jabatan atau kue kekuasaan.

Soal ideologi, menurutnya mahasiswa saat ini semakin banyak yang menerima gagasan ‘kiri’ secara terbuka. Sekarang buku-buku atau bacaan lain soal ideologi ‘kiri’ bisa diakses mudah lewat dalam jaringan atau luring. Ridha membuktikan faktor ini berpengaruh lewat populernya kata 'oligarki' selama protes.

Dalam sebuah demonstrasi, massa juga mengatakan Jokowi “anti demokrasi.” Tudingan yang sampai sekarang masih melekat dan diperkuat lewat berbagai indeks.

INFOGRAFIK Pudarnya Demokrasi Indonesia

INFOGRAFIK Pudarnya Demokrasi Indonesia

Harapan Baru?

Serangkaian demonstrasi dari 2019-2020 sebenarnya memang memercik sedikit harapan.

Namun tidak semudah itu bisa tampil dan berpengaruh di gelanggang politik nasional. Artikel Eduard Lazarus di Jacobin berjudul The Indonesian Left Is Stuck in an Anti-Communist Hangover menyebutkan kendati mahasiswa sudah bergabung dengan kelas pekerja, mereka tidak bisa pelan-pelan merangsek naik menjadi satu kekuatan politik yang besar.

Salah satu alasan yang ia kemukakan adalah tidak adanya upaya lain untuk melawan selain protes di jalanan. “Bukan berarti protes tidak berhasil sebagai metode. Tapi, tanpa diiringi tindakan lain, aksi protes hanya mampu menopang elan revolusioner untuk jangka waktu terbatas,” katanya.

Halangan lain adalah para buzzer atau pendengung di internet. Lazarus mencatat, setelah demo merebak besar-besaran, propaganda kontra-narasi demo UU Omnibus Law gencar di media sosial. Ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai mencerna baik-baik rancangan Omnibus Law yang sah, momentum pergerakan sudah berhasil dihambat dan hilang begitu saja.

Jokowi kemudian mempersilakan yang tak terima untuk mengadu ke Mahkamah Konstitusi. Satu hal yang bisa dibaca dari arahan itu adalah Jokowi sebenarnya mengundang kelompok mahasiswa dan LSM untuk mengakui kekalahan, karena bagaimanapun orang-orang di MK juga dipilih oleh DPR–yang menyetujui UU.

Sama dengan Ridha, Lazarus berpendapat ke depan gerakan di Indonesia masih bisa berkembang, apalagi penggeraknya adalah mahasiswa–mereka yang jelas bukan bagian dari kroni Orde Baru bahkan mungkin belum lahir ketika Soeharto tumbang.

“Apa yang demonstran perlukan adalah satu platform yang memudahkan mereka menyebarluaskan agenda-agenda politik tertentu daripada mengambil sikap defensif setiap kali ada ratifikasi UU yang kejam,” catat Lazarus.

Namun, dengan adanya Covid-19 dan demokrasi di Indonesia yang makin terlihat mundur, keberhasilan demonstrasi ini juga makin menjadi tanda tanya.

Mereka yang dulu sempat jadi raja jalanan, sekarang lebih menyerupai preman jalanan. Tiap kali demonstrasi, mahasiswa tak pernah benar-benar lepas dari ancaman represi oleh polisi.

Baca juga artikel terkait GERAKAN MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino