Menuju konten utama

Gagal Kerja Bareng Soe Hok Gie, Prabowo Masuk Akabri

Prabowo pernah mencoba membuat program bernama Pioneer Corps bersama Soe Hok Gie. Program miskin konsep ini gagal dan Prabowo kemudian masuk Akabri.

Gagal Kerja Bareng Soe Hok Gie, Prabowo Masuk Akabri
Prabowo Subianto ketika masih menjadi Pangkostrad. FOTO/AP

tirto.id - Pada pertengahan 1957 keluarga Sumitro Djojohadikusumo dan Dora Sigar tidak bisa berlama-lama lagi di Jakarta. Keluarga ini tak bisa tinggal lebih dari dua tahun. Mereka pernah di Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Zurich, London, dan Bangkok. Sementara itu anak-anak mereka masih kecil. Bianti baru 8 tahun, Maryani masih 7 tahun, Prabowo masih 5 tahun, dan Hashim si bungsu masih 3 tahun.

Bagi Sumitro dan Dora, tinggal di luar negeri bukan hal asing. Keduanya bertemu di Belanda sebelum menikah dan berkeluarga.

Anak-anak Sumitro dan Dora, seperti ditulis Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam biografi Sumitro, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000), tumbuh menjadi anak-anak yang tidak mudah menyerah. Sewaktu bersekolah di Kuala Lumpur, anak laki-laki bungsunya, Prabowo Subianto, pernah diolok-olok kawan-kawan sekolahnya dengan mencemooh Presiden Sukarno. Padahal Sukarno sendiri sedang jadi lawan politik Sumitro (hlm. 401).

“Kenapa bawa kita ke negeri ini? Saya tahu Papi bersebrangan dengan Sukarno. Tapi, saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro Sukarno,” ancam Prabowo pada ayahnya.

Prabowo, catat biografi Sumitro itu, adalah anak Sumitro yang sejak dini mengikuti situasi politik. Selama di luar negeri, Sumitro terjun ke dunia bisnis permebelan dan real estate agar bisa mengganjal perut dan menyekolahkan anak-anaknya.

Di usia 16, pada 1967, Prabowo lulus dari American School di London. “Karena ia terlalu rewel di kelasnya, maka ia dihukum dinaikkan kelasnya supaya menyadari bahwa ada orang lain yang juga lebih pintar,” aku Sumitro dalam biografinya (hlm. 413).

Sumitro berusaha bijaksana dengan tidak membiarkan anak laki-lakinya itu kuliah di Universitas Colorado. Bagi Sumitro, secara psikologis tidak baik jika anaknya mulai kuliah terlalu belia.

"Pemuda yang Kehilangan Horison Romantik"

Kebetulan Presiden Indonesia waktu itu bukan lagi Sukarno. Dia sudah tumbang. Sementara Letnan Jenderal Soeharto baru menanjak. Sumitro pun membawa anak-anaknya pulang ke Indonesia sekitar Mei 1967. Era baru keluarga Sumitro-Dora dimulai lagi.

Selama di Indonesia, Prabowo tak hanya pernah tinggal di rumah keluarga di Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya, tapi juga di Jakarta. Di ibu kota, Prabowo berkenalan dengan kolega bawah tanah ayahnya, Soe Hok Gie. Bukan cuma Gie, tapi juga dengan teman-teman Gie seperti Jopie Lasut.

Prabowo sempat mengajak Gie untuk membentuk Pioneer Corps. Mereka berdua sering mengobrol hingga jam 12 malam. Soe Hok Gie agak kecewa dengan ide itu. “Saya mendapat kesan betapa tidak jelasnya konsepsi rencana ini,” tulis Soe Hok Gie dalam buku hariannya tanggal 22 Mei 1969—yang dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (2011: 246). “Prabowo mau mengambil orang untuk pimpinan-pimpinan penting seperti ia mau membentuk organisasi papan catur.”

Soe Hok Gie tahu Prabowo lama di luar negeri. Di negara yang di zaman kepresidenan Kennedy membentuk Peace Corps. Waktu bertemu Prabowo, Sumitro sudah jadi orang pemerintahan lagi, sebagai Menteri Negara Riset.

Soe Hok Gie, seperti dicatat John Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (2001: 351), semula adalah pendukung Sumitro. Namun pada paruh kedua 1969, dia bersikap keras kepada Sumitro dan pada Juli 1969 tidak ikut lagi dalam Pioneer Corps yang dirintis Prabowo.

“Bagi saya, Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romantiknya,” tulis Gie pada 25 Mei 1969. “Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam dunia yang nyata, ia akan berubah.”

Gie kemudian mati muda di Gunung Semeru pada 1969. Berubah atau tidak, Prabowo tidak meneruskan Pioneer Corps. Bahkan tidak mau kuliah. Prabowo melanjutkan masa mudanya dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Harapannya agar bisa jadi perwira.

Ingin Jadi Presiden sejak Muda

Ketika pulang ke Indonesia pada 1967, Sumitro sempat mengobrol lama dengan Jenderal Sutopo Juwono Prodjohandoko, Kepala Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Tokoh lain yang menjemput Sumitro adalah Mayor Jenderal Ali Moertopo.

“Pada kesempatan itu bahkan Sumitro sempat 'menyodorkan' anaknya, Prabowo, agar bisa masuk Akabri,” tulis Heru Cahyono dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 (1998: 24). Berkat Jenderal Sutopo, Prabowo masuk Akabri Magelang.

Prabowo tampaknya lebih mengikuti jejak pamannya, yang mewarisi nama tengahnya, Subianto. Sang paman gugur dalam Peristiwa Lengkong bersama Mayor Daan Mogot pada 1946. Tak heran jika dalam kampanye pilpresnya pada 2019 nama Daan Mogot pernah disebutnya.

Infografik Masa Muda Prabowo

undefined

“Ambillah keputusanmu sendiri, dan terima apa pun konsekuensinya,” kata Sumitro sebagai ayah, seperti ditulis dalam biografinya (hlm. 414).

Selain dengan ayahnya, Prabowo juga minta pendapat Adnan Buyung Nasution, seperti diceritakan pendiri LBH itu dalam Pergulatan Tanpa Henti - Volume 2 (2004: 370). Kala itu Prabowo berstatus sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Di mata Buyung, yang sering bertemu dan berdiskusi dengan Prabowo di Forum Diskusi yang biasa diselenggarakan di UI, Prabowo itu pintar dan cerdas.

"Kenapa Wo? Apa alasanmu?" tanya Buyung.

Jawaban Prabowo menyiratkan bahwa dia ingin menjadi presiden, meski tidak mengatakannya secara jelas. Kata Prabowo, "Kalau mau jadi presiden, mau jadi pemimpin negara ini, yang paling visible-kan dari tentara.”

Maka masuklah Prabowo ke Akabri.

Di Akabri, Prabowo yang bahasa Indonesianya masih kagok itu jadi bulan-bulanan seniornya. Tentu tidak semua senior jahat padanya. Setidaknya ada Kivlan Zen, yang pernah jadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), onderbouw Masyumi yang pernah dimusuhi pemerintahan Sukarno. Kivlan dan Prabowo cocok.

Dari Kivlan, Prabowo bisa mendalami Islam juga. Dan akhirnya jadi kawan dalam karier. Dengan masuk Akabri, Prabowo kemudian jadi jenderal di tahun-tahun terakhir kepresidenan daripada Soeharto, yang merangkap mertuanya.

Mencoba bikin organisasi perintis yang berisi anak muda terpelajar lalu masuk Akabri tampaknya adalah usaha Prabowo yang berhasrat ingin jadi bagian sejarah Indonesia. Setelah gagal dengan Pioneer Corps, masuk Akabri jadi solusi masa mudanya ketimbang kuliah dan jadi ahli seperti ayahnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan