Menuju konten utama

Gabriel Boric, Milenial Kiri yang Jadi Presiden Chili

Gabriel Boric jadi presiden termuda Chili. Ia berjanji melawan ketimpangan, memberdayakan perempuan, mendukung LGBT, dan melindungi lingkungan.

Gabriel Boric, Milenial Kiri yang Jadi Presiden Chili
Kandidat presiden Gabriel Boric dari koalisi Apruebo Dignidad berpidato saat kampanye penutupan menjelang pemilihan presiden putaran kedua di Santiago, Chili, Kamis, 16 Desember 2021. (AP Photo/Matias Delacroix)

tirto.id - Sebagai warga yang terbiasa memiliki presiden berlatar belakang elite—entah pengusaha, mantan tentara, atau keturunan politikus lawas—kita mungkin akan kaget dengan profil presiden baru Chili, sebuah negara kaya di kawasan Amerika Latin. Ia adalah mantan aktivis mahasiswa yang baru berusia 35 tahun dengan gaya khas milenial, punya tato, berjenggot agak lebat, berpakaian kasual, dan menggemari musik Metallica sampai Lady Gaga dan Taylor Swift. Namanya Gabriel Boric.

Boric berasal dari partai berhaluan kiri bernama Convergencia Social. Pada Juli lalu, ia terpilih sebagai kandidat presiden untuk mewakili Apruebo Dignidad, koalisi elektoral di mana Convergencia Social bergabung. Di dalamnya juga terdapat Partai Komunis Chili.

Dalam pemilu yang diselenggarakan pada 21 November lalu, Boric mendapatkan 25 persen suara. Karena tak satu pun kandidat mencapai batas minimal suara untuk menang, diselenggarakanlah pilpres putaran kedua pada 19 Desember. Kali ini, Boric berhasil meraup 55,87 persen suara.

Saingan utama Boric adalah politikus ultrakonservatif José Antonio Kast (55). Tokoh yang sering disamakan dengan Jair Bolsonaro dari Brasil atau Donald Trump dari Amerika Serikat ini mengawali karier sebagai pengacara dan punya firma hukum. Bapaknya adalah imigran asal Jerman yang pernah bergabung dengan Nazi pada 1942, sementara salah satu abangnya adalah ekonom didikan AS yang bekerja untuk rezim diktator Augusto Pinochet (menjabat 1974–1990).

Kast juga merupakan pemuja Pinochet—yang mengkudeta pemerintahan sosialis yang terpilih secara demokratis Salvador Allende dan berada di balik pembantaian terhadap 3.000-an orang. Kast pernah berpendapat bahwa rezim Pinochet tidak bisa disebut kediktatoran sebagaimana pemerintahan Nikaragua dan Venezuela pada hari ini. Dia menganggap transisi kekuasaan ke Pinochet sudah berlangsung damai tanpa pembungkaman terhadap oposisi.

Bapak dari sembilan anak ini menentang pernikahan sesama jenis, yang undang-undangnya baru saja disahkan oleh pemerintah. Ia juga tidak setuju dengan ide tentang legalisasi aborsi. Kast juga berpegang pada prinsip mano dura (tangan besi) untuk menghalau imigran ilegal.

Sokongan untuk Kast terutama datang dari penduduk di daerah utara yang sering kedatangan imigran asal Venezuela. Dukungan juga datang dari orang-orang di daerah selatan yang kerap mendapati pemberontakan kecil-kecilan oleh grup masyarakat suku Mapuche.

Pada putaran pertama pemilu Kast sebenarnya berada di posisi teratas dengan 28 persen suara. Namun di putaran kedua dia harus bertekuk lutut di hadapan anak muda Boric.

Latar Belakang Biasa-Biasa Saja

Boric yang lahir pada 11 Februari 1986 tidak dibesarkan oleh keluarga elite nan mapan di ibu kota Santiago sebagaimana politikus Chili pada umumnya. Ia tumbuh di Punta Arenas, kota di Magallanes, provinsi terujung selatan Chili, sekitar 3.000 km dari gemerlap ibu kota. Sang bapak, Luis Javier Boric Scarpa, adalah teknisi kimia di perusahaan negara, sementara ibunda berdarah Catalonia, daerah di timur laut Spanyol. Moyangnya merupakan pendatang asal Kroasia yang bermigrasi ke kawasan tersebut pada akhir 1800-an untuk beternak domba.

Pada 2004, Boric pergi ke Santiago untuk menempuh pendidikan hukum di University of Chile. Meskipun kelak tidak membawa pulang gelar karena sebetulnya lebih tertarik jadi penulis novel, kiprah politiknya dimulai di sini.

Selama berkuliah Boric aktif dalam gerakan mahasiswa berideologi marxis, Estudiantes Autónomos. Ia juga pernah memimpin serikat mahasiswa di kampusnya.

Namanya mulai melambung pada 2011. Ketika itu Boric dan tokoh gerakan komunis muda yang namanya cukup populer di Indonesia, Camila Vallejo, memimpin demonstrasi mahasiswa bertajuk “Musim Dingin Chili”. Bersama ratusan ribu pelajar, mereka turun ke jalan menuntut pendidikan menjadi hak universal, yang berarti wajib disediakan secara gratis dan berkualitas oleh negara.

Pengalaman berpolitik praktis dimulai pada 2014 atau ketika berusia 28. Ketika itu ia menjabat sebagai anggota dewan di parlemen tingkat rendah. Ia maju sebagai kandidat independen untuk mewakili distrik di daerah asalnya.

Pada hari pertama masuk kerja, Boric mengenakan jaket warna cokelat dengan kemeja yang kancingnya terbuka, lalu rambut gondrong dan jenggot awut-awutan. Gayanya kontras dengan pejabat lain yang memakai jas warna gelap dan berdasi rapi. Saat seorang kolega menudingnya sudah melanggar aturan, Boric merespons pendek, “Bodo amat.” Ia mengaku hanya ingin dinilai publik karena kinerja dan keyakinannya, bukan selera fesyen.

Boric kembali terpilih jadi anggota dewan pada 2017. Kali ini dia mewakili koalisi partai-partai berhaluan kiri Frente Amplio. Tak berapa lama kemudian, ia bergabung dengan partai kiri lain, Convergencia Social.

Ketika protes kesenjangan sosio-ekonomi menyeruak di Chili, Boric ikut menegosiasikan tuntutan publik kepada pemerintah. Hasilnya berujung pada referendum yang melibatkan warga dari beragam latar belakang untuk merumuskan konstitusi baru Chili agar lebih inklusif. Sampai hari ini, Chili masih menggunakan konstitusi 1980 warisan diktator Augusto Pinochet yang isinya terlalu membela kepentingan pasar dan orang berduit.

Terinspirasi Marxisme tapi Bukan Komunis

Lalu, apa sebenarnya ideologi yang diyakini Boric, mengingat makna “kiri” itu sendiri relatif cair dan terdiri dari spektrum pemikiran yang luas?

Di mata para pengkritik, terutama kaum elite kaya di ibu kota dan penduduk di daerah perbatasan, Boric diberi label “komunis”, terlebih karena asosiasinya dengan Partai Komunis Chili yang merupakan salah satu partai pendukungnya. Bagi para hater, Boric bakal jadi seperti Hugo Chavez yang mau mengubah Chili jadi “Chilezuela”.

Namun Sandra Weiss dalam ulasannya tentang Boric untuk media Jerman Der Tagesspiegel menyebut basis politik Boric kurang jelas. Boric memang terinspirasi oleh para pemikir marxis, dari mulai Wakil Presiden Bolivia Álvaro García Linera sampai pemikir Italia Antonio Gramsci. Akan tetapi, saat berpidato, Boric kadang terdengar agresif layaknya tokoh revolusioner Amerika Latin dan di lain waktu bisa juga seperti seorang sosial demokrat dari negara-negara Nordik.

Dirinya juga dianggap pragmatis karena pernah bernegosiasi tentang referendum konstitusi baru dengan pemerintah yang kala itu didominasi para elite politik kanan.

Sementara ekonom Francisco Castaneda dari kampus swasta Universidad Mayor di Santiago menilai “Boric bukan komunis.” Menurutnya, “Kelompok politiknya [Boric] sedang belajar untuk memahami bahwa tanggung jawab fiskal itu penting, dan bahwa reformasi untuk mengakhiri kesenjangan sosial harus dilakukan secara bertahap, dalam jangka panjang.”

Boric bisa dibilang lebih mewakili suara generasi sosialis baru atau populer dengan istilah “milenial kiri”. Angkatan kelahiran dekade 1980 sampai 1990-an ini berbeda dari para pendahulunya yang menitikberatkan aktivitas partai dan serikat pekerja untuk memupuk kesadaran dan kemampuan berpolitik. Sebagaimana Boric dan kawan-kawannya tunjukkan, milenial kiri cenderung berangkat dari aktivisme jalanan—dibantu dengan kemudahan teknologi seperti Twitter—untuk menantang status quo dan menyuarakan isu-isu yang mengusik benak mereka: ketimpangan sosio-ekonomi, rasisme struktural, kesetaraan gender, hak asasi, isu iklim, dan lingkungan.

Program Boric

Ideologi yang cenderung tidak terlalu kiri tersebut juga tampak dalam visi Boric dalam mengelola negara. Ia berambisi untuk mengubah Chili jadi negara kesejahteraan (welfare state) yang gagasan utamanya adalah redistribusi kekayaan. “Agar semua orang punya hak yang sama berapa pun uang yang ada di dompetnya.”

Selama ini Chili berpijak pada kebijakan propasar yang ramah investasi. Faktor-faktor tersebut mendorongnya jadi salah satu kekuatan ekonomi paling mapan di belahan bumi selatan. Upah minimum bulanan mencapai 440 dolar AS atau sekitar Rp6,2 juta, tertinggi di seantero Amerika Latin. Pemerintahnya menjalin kerja sama dagang internasional yang kuat dengan Cina, AS, Jepang, Turki, Uni Eropa, sampai Asia Tenggara. Kekayaan nasional disokong oleh industri pertambangan tembaga yang menyumbang 50 persen dari total komoditas ekspor Chili pada 2019.

Di balik itu, bagi Boric, sistem ekonomi yang ada kurang berpihak pada kepentingan kelas pekerja dan kelompok miskin. Hal ini tercermin misalnya di ranah pendidikan yang semakin mahal sampai-sampai kualitas terbaiknya hanya bisa dirasakan oleh anak-anak dari keluarga kaya. Sistem kesehatan dan pensiun yang dikelola swasta juga dipandang kurang memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Secara umum, ketimpangan ekonomi antarwarga tergolong tinggi, sekitar 65 persen lebih besar daripada rata-rata grup negara makmur OECD. Menurut studi oleh pemerintah pada 2018, orang terkaya mendapatkan gaji 13,6 kali lipat lebih tinggi dari kalangan termiskin. Sementara itu, separuh dari angkatan kerja di Chili menerima gaji bulanan kurang dari 550 dolar AS atau di bawah Rp8 juta.

Boric ingin merombak itu semua. “Apabila Chili adalah tanah kelahiran neoliberalisme di Amerika Latin, di sini jugalah kuburannya,” ucapnya saat kampanye.

Boric menargetkan pajak bertambah 8 persen dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dalam kurun 6-8 tahun. Sampai hari ini, Chili mencatat rasio pajak pendapatan dan PDB sebesar 20 persen, urutan ketiga terbawah dari 35 negara anggota OECD. Untuk mencapainya, Boric mau meningkatkan pajak orang-orang kaya, perusahaan, emisi karbon dan kemasan plastik, sampai tarif royalti tambang tembaga.

Terkait kesejahteraan sosial, Boric mengajukan skema uang pensiun standar yang dipatok pada kisaran 300 dolar AS atau Rp4,2 juta per bulan. Ia juga mendukung hak-hak komunitas LGBT, berjanji melonggarkan aturan tentang hak reproduksi seperti aborsi, membuka 500 ribu lapangan kerja untuk perempuan, dan mengurangi waktu bekerja per minggu dari 45 jam jadi 40 jam.

Sehubungan dengan isu iklim dan lingkungan, Boric ingin fokus menjaga pasokan air dan berinvestasi lebih banyak untuk pengelolaan limbah serta energi terbarukan.

Infografik Gabriel Boric

Infografik Gabriel Boric. tirto.id/Tino

Program-program itu tentu bukan sesuatu yang mudah dijalankan. Melansir artikel The Economist, Boric diperkirakan bakal kerepotan karena tidak kuatnya pendukung di legislatif. Di parlemen tingkat rendah, koalisi partai penyokongnya hanya menguasai 37 dari 155 kursi.

Media propasar ini juga menilai situasi ekonomi Chili sedang kurang oke—inflasi meningkat, defisit fiskal masih berlangsung, pertumbuhan ekonomi melambat, dan utang negara yang besar. Singkatnya, para ekonom menilai tidak akan ada ruang fiskal yang cukup untuk mewadahi program reformasi ambisius ala Boric.

Sementara mantan Menteri Keuangan Rodrigo Valdés menilai administrasi Boric kurang berpengalaman untuk mengatur transisi sistem layanan publik Chili dari yang sangat terprivatisasi jadi seperti welfare state.

Terlepas dari apa yang bakal terjadi, Kemenangan Boric mencerminkan tren kebangkitan gerakan kiri di Amerika Latin. Sebulan silam, rakyat Honduras memilih Xiomara Castro (62) dari partai kiri Liberty and Refoundation sebagai presiden, yang ingin mengakhiri 12 tahun “kediktatoran-narko” di negaranya. Pada Juli, seorang guru dari keluarga petani Pedro Castillo (52) terpilih jadi Presiden Peru berkat bekingan para sosialis. Sementara di Brasil, mantan presiden Lula da Silva (76) dari Worker’s Party jadi favorit dalam pilpres tahun depan, sama dengan gerilyawan kiri Gustavo Petro (61) yang dijagokan di pemilu Kolombia Mei mendatang.

Baca juga artikel terkait CHILI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino