Menuju konten utama
11 November 1982

G.A. Siwabessy, Dokter yang Merintis Teknologi Nuklir di Indonesia

G.A. Siwabessy sebenarnya seorang dokter yang mempelajari radiologi. Ia lalu diserahi tugas oleh pemerintah untuk mengembangkan teknologi nuklir di Indonesia.

G.A. Siwabessy, Dokter yang Merintis Teknologi Nuklir di Indonesia
G.A. Siwabessy. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Era pendudukan Jepang hingga revolusi adalah masa-masa sulit bagi orang Ambon. Karena banyak yang jadi serdadu KNIL, mereka kena stigma sebagai antek Belanda. Ketika tentara Jepang mulai menyerang Jawa pada Maret 1942, orang-orang Ambon juga ikut dicurigai dan diincar.

Keadaan itu turut mengusik kehidupan dokter muda asal Ambon bernama Siwabessy. Ia sedang berdinas di kota kecil Cepu, Blora ketika kekacauan akibat serbuan Jepang mulai menjalar. Demi menyelamatkan diri, Siwabessy dan istrinya mengungsi ke Surabaya.

Ketika perang mulai berkobar pada 1945, suasana lebih kacau lagi. Siwabessy bahkan merasai ditangkap oleh dua pihak. Ke-Ambon-annya membuat tentara Belanda maupun Laskar Indonesia menaruh curiga kepadanya.

Suatu kali di pengujung 1947, Dokter Siwabessy berkunjung ke Malang bersama beberapa koleganya. Saat memasuki daerah kota, yang dikuasai Belanda, ia ditangkap. Siwabessy dan kawannya lantas dibawa ke Kepanjen, Malang bagian Selatan, yang dikuasai laskar Republik.

Di perbatasan ia dilepas Belanda. Tapi begitu memasuki wilayah Republikan ia ditangkap lagi oleh laskar. Mulanya ia hendak dibunuh, namun berkat kepandaiannya bernegosiasi dengan bahasa Jawa, Siwabessy lantas digiring ke markas laskar.

“Ya Allah, Pak Siwabessy kok mau dibunuh,” teriak seorang anggota laskar itu tiba-tiba ketika Siwabessy sampai di markas.

Siwabessy merasa familiar dengan wajah dan suara anggota laskar yang ternyata seorang polisi itu. Rupanya ia adalah seorang polisi kenalannya dulu semasa di Surabaya dan sekarang jadi komandan laskar tersebut. Sekali lagi selamatlah Siwabessy.

Jalan takdir rupanya tidak menghendaki Siwabessy mati saat itu. Babak utama kehidupannya justru baru akan dimulai dan ia masih punya tugas penting di hari depan. Tugas yang nantinya membuat dia dikenang sebagai Bapak Atom Indonesia.

Mula sebagai Dokter

Dokter Siwabessy yang kita bicarakan tiada lain adalah Gerrit Augustinus Siwabessy putra Pak Enoch Siwabessy. Dia lahir di Saparua pada 19 Agustus 1914. Pak Enoch yang seorang petani cengkeh tak sempat melihat Gerrit tumbuh berkembang lantaran wafat lebih dulu saat Gerrit berumur setahun.

Ibunya, Naatje Manuhutu, lalu menikah lagi dengan seorang guru bernama Yakob Leuwol. Sejak itu Gerrit pindah ke Ambon menyertai ayah tirinya itu. Seluruh jenjang pendidikan dasar hingga menengah dihabiskan di Ambon.

“Beta senantiasa menyertai ‘tuan guru’ Leuwol yang berturut-turut ditempatkan sebagai guru di Larike, Tawiri, dan Lateri (semuanya di pulau Ambon),” tulis Gerrit Siwabessy dalam memoar berjudul Upuleru (1979: 11).

Usai tamat MULO alias sekolah guru pada 1931 Gerrit Siwabessy merantau ke Surabaya. Berkat nilai-nilai ujian akhir yang baik ia memperoleh beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda untuk berkuliah di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Diakuinya, inilah momen pertamanya melihat cakrawala yang lebih luas daripada sekadar Ambon atau Maluku.

Di zaman yang sedang dilingkupi atmosfer pergerakan nasional, Gerrit Siwabessy ikut jadi aktivis. Ia turut andil mendirikan Vereniging Ambonsche Studenten (VAS) bersama Johanes Leimena dan Jo Picauly. Lain itu ia juga menginisiasi sebuah organisasi kebidayaan Maluku yang dinamai Memadjoekan Cultuur Maloekoe (MCM).

Kegiatannya segudang. Mulai dari diskusi politik, rapat umum, hingga pentas sandiwara. Sejak aktif di berbagai organisasi itu ia lalu dijuluki "Upuleru" yang dalam bahasa suku-suku di Maluku berarti dewa atau pelindung.

“Mungkin ini pun merupakan pernyataan dan pencarian identitas di kalangan masyarakat Maluku ketika itu. Nama ini tetap dipakai oleh kawan-kawanku dalam masa perjuangan 45,” kenang Gerrit Siwabessy (hlm. 15).

Gerrit Siwabessy berhasil menyelesaikan kulah dokternya sekira Desember 1941, bertepatan dengan mula berkobarnya Perang Pasifik. Ia lalu menjalani ikatan dinas di pusat pengeboran minyak Belanda di Cepu. Tak lama ia menikmati masa sebagai dokter gajian, karena pada Maret 1942 Jepang merangsek ke Jawa.

Gerrit Siwabessy yang kala itu baru saja menikah dengan Reny Poetiray lantas mengungsi ke Surabaya. Meski sempat menganggur, Si Upuleru lantas ditolong kawan lamanya di NIAS. Dokter Sutjahyo, nama si kawan itu, meminta Gerrit Siwabessy membantunya di bagian radiologi Rumah Sakit Simpang, Surabaya.

Gerrit semula agak enggan. Minatnya yang utama sebenarnya ada di bidang fisika dan psikiatri. Lagi pula, radiologi adalah bidang yang sangat baru baginya. Karenanya ia musti mempelajarinya dari sangat dasar hingga teknik mengoperasikan segala macam pirantinya. Ia tak punya jalan lain, maka pekerjaan sulit pun jadilah.

“Tidak kuduga ketika itu, bahwa keputusan yang kuambil secara terpaksa ini akan menentukan jalan hidup kemudian, baik di masa krisis pada masa pendudukan Jepang maupun dalam masa revolusi dan masa merdeka,” tulis Si Upuleru dalam memoarnya (hlm. 20).

Belajar Atom ke Inggris

Atas saran Johanes Leimena, yang menjabat menteri kesehatan di Kabinet Hatta, Gerrit Siwabessy akhirnya memperdalam lagi pengetahuan radiologinya. Ketika konflik Indonesia-Belanda mereda pada pertengahan 1949, Leimena memberi surat rekomendasi kepada Siwabessy untuk studi lanjutan ke Inggris.

Atas beasiswa dari British Council, Siwabessy lalu mengikuti 12 bulan pendidikan radiologi di Universitas London. Tak hanya itu, Siwabessy juga berkesempatan untuk mempelajari dasar-dasar kedokteran nuklir. Saat itu metode radioterapi dengan memanfaatkan teknologi nuklir memang sudah jamak di Inggris.

“Perkenalan dengan bidang ini di London kemudian melahirkan kegiatan-kegiatan lain dalam bidang atom di Indonesia,” kata Siwabessy (hlm. 64).

Sepulang belajar dari Inggris, Siwabessy kebanjiran pekerjaan. Ia mengajar sekaligus jadi asisten kepala Bagian Radiologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Lain itu juga mengepalai Lembaga Radiologi di Departemen Kesehatan.

Membawa Nuklir ke Indonesia

Perjalanan karier lalu membawanya lebih dekat dengan bidang nuklir daripada kedokteran. Meski begitu, dia bukanlah seorang praktisi atau ahli nuklir. Barangkali lebih tepat menyebutnya sebagai birokrat yang membuka jalan bagi pengembangan teknologi nuklir di Indonesia.

Kesempatan pertamanya terbuka pada 1954, ketika Amerika Serikat meledakkan bom termonuklir di Kepulauan Marshall di Samudra Pasifik. Dengan kekuatan ledakan setara lima juta ton dinamit, kerusakan yang ditimbulkan oleh bom yang dinamai Castle Bravo itu tak main-main. Pulau yang semula hijau jadi gersang. Residu radioaktif bom itu pun mencemari laut dan udara hingga bermil-mil luasnya.

Indonesia, yang wilayah timurnya berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, termasuk negara yang khawatir akan dampak dari percobaan bom nuklir tersebut. Karena itu, sebagai langkah antisipasi, pemerintah Indonesia berinisiatif membentuk tim untuk mengukur kadar radioaktivitas di wilayah timur yang kemungkinan terpapar. Lembaga Radiologi yang dipimpin Siwabessy lah yang kemudian diserahi mandat itu.

“Pada 23 November 1954, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No 230/1954 tentang pembentukan Panitia Negara untuk Penjelidikan Radioaktivitet. Siwabessy ditunjuk jadi ketuanya,” tulis majalah Historia (nomor 16, tahun II, 2013).

Panitia itu lantas menyisir daerah Sulawesi Utara, Maluku, dan Timor. Hasilnya, di wilayah itu tak terdapat paparan residu radioaktif yang berbahaya. Lantaran peristiwa itulah timbul pikiran Siwabessy bahwa Indonesia perlu menyiapkan tenaga-tenaga ahli nuklir sebagai antisipasi masa depan.

Berdasarkan Keppres, Panitia Negara Penyelidikan Radioaktivitet sebenarnya punya tugas yang lebih luas. Tugas itu mencakup penelitian-penelitian untuk mengembangkan potensi nuklir untuk tujuan damai. Beberapa anak buah Siwabessy di Lembaga Radiologi lantas dikirim ke London untuk belajar nuklir. Ia juga menyebar timnya untuk menjalankan program perlindungan radiasi ke rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.

“Akan tetapi kepanitiaan tersebut memiliki keterbatasan, antara lain permasalahan kewenangan dan keuangannya yang sangat terbatas. Oleh karena itu sesuai dengan hasil yang diperoleh delegasi Indonesia di dalam konferensi internasional teknologi nuklir atau IAEA, serta Peraturan Pemerintah No. 65 dibentuklah Dewan Tenaga Atom atau Lembaga Tenaga Atom pada tanggal 5 Desember 1958,” tulis Teuku Reza Fadeli dalam skripsinya di Program Studi Ilmu Sejarah UI bertajuk Sukarno dan Politik Nuklir Indonesia 1958-1967 (2014: 32).

Infografik Mozaik G A Siwabessy

Infografik Mozaik G.A. Siwabessy. tirto.id/Rangga

Dewan Tenaga Atom jadi semacam penasihat pemerintah terkait perkembangan teknologi atom global dan dalam negeri. Sementara Lembaga Tenaga Atom (LTA) bertindak sebagai pelaksana program nuklir di Indonesia. Karena pengalamannya, Siwabessy lagi-lagi ditunjuk untuk memimpin LTA ini.

LTA di bawah kendali Siwabessy bergerak cepat. Beberapa sarjana ia rekrut dan disekolahkan ke negara-negara yang maju bidang nuklirnya. Kerja sama dengan Amerika dan Uni Soviet pun dijajaki untuk mengakses teknologi nuklir. Pada Juni 1960 Indonesia dan Amerika menyepakati program Atom for Peace untuk pengembangan nuklir di Indonesia.

“Amerika merealisasikan kerjasama penggunaan energi atom untuk kepentingan sipil itu dengan memberikan bantuan sebesar 350 ribu dolar untuk pembangunan sebuah reaktor riset di Bandung berikut fasilitas operasionalnya. [...] Berdasarkan perjanjian tersebut, AS mensuplai uranium yang telah diperkaya untuk bahan bakar reaktor riset,” tulis majalah Historia.

Seturut penelusuran Teuku Reza Fadeli, proyek reaktor riset di Bandung itu lalu dimasukkan dalam rencana lima tahun LTA. Selain untuk riset, reaktor yang pembangunannya dikerjakan bersama ITB itu juga berguna untuk memproduksi isotop dan eksperimen fisika neutron.

“Reaktor ini selesai pada tahun 1962. Ketika pada tahun itu RRC meledakkan bom nuklirnya yang pertama, Indonesia telah siap pula (reaktor menjadi kritis) dengan reaktor pertamanya yang dimaksud untuk tujuan-tujuan damai,” tulis Siwabessy dalam memoarnya.

Langkah lain yang diinisiasi LTA adalah menyiapkan RUU Pokok Tenaga Atom. RUU ini ditetapkan jadi undang-undang pada 1964. Berdasarkan UU Pokok Tenaga Atom inilah LTA lalu direorganisasi menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

Yang terjadi setelah itu adalah lompatan karier Siwabessy. Ia ditunjuk sebagai direktur BATAN dan kemudian statusnya ditingkatkan jadi setara menteri. Setelah reaktor riset di Bandung, BATAN lalu membangun laboratorium isotop dan kimia nuklir di Pasar Jumat. Siwabessy juga membentuk tim khusus untuk menyelidiki kemungkinan adanya deposit uranium di Indonesia.

Karena itu, wajar jika BATAN menobatkan Siwabessy sebagai Bapak Atom Indonesia pada 2014. Pemberian gelar ini adalah bentuk penghargaan atas jasa Siwabessy membangun tenologi nuklir di Indonesia. Tahun itu juga penting karena bertepatan dengan ulang tahun ke-56 BATAN sekaligus seratus tahun kelahiran Siwabessy.

"Di puncak peringatan ini Batan ingin memberikan penghormatan tertinggi sebagai Bapak Atom Indonesia, Prof. G.A Siwabessy, yang merintis teknologi nuklir di Indonesia sehingga Batan menjadi besar seperti sekarang," ujar Ketua Panitia penyelengaraan HUT Batan ke-56, Heru Umbaran, sebagaimana dikutip laman Republika.

Wajar juga bila pada 1968 Siwabessy diganjar Bintang Mahaputra III oleh Presiden Soeharto. Nama Siwabessy yang wafat pada 11 November 1982, tepat hari ini 37 tahun lalu, juga diabadikan sebagai nama reaktor serba guna milik BATAN di Tangerang Selatan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SAINS atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan