Menuju konten utama
Tajuk Lapsus G20

G20 Bali: Pertarungan 'Taman' vs 'Hutan' dalam Imajinasi Barat

“Eropa adalah taman… Kebanyakan negara lainnya di dunia adalah hutan, dan hutan tersebut bisa menyerang taman."

G20 Bali: Pertarungan 'Taman' vs 'Hutan' dalam Imajinasi Barat
Header Lapsus G20. tirto.id/Tino

tirto.id - Analogi tersebut disampaikan Josep Borrell, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan di depan Akademi Diplomasi Eropa di Bruges, Belgia, pada 13 Oktober 2022.

Dia tengah berusaha menggambarkan situasi perpolitikan dunia terbaru menurut alam pemikiran—atau lebih tepatnya alam angan-angan—khas jagoan koboi Barat yang mengendap di otaknya.

Pernyataan politisi gaek asal Spanyol tersebut mengundang kecaman politisi dan diplomat dari berbagai belahan dunia, karena menunjukkan bagaimana Barat belum bisa meninggalkan pandangan rasisme dan mengidap bias akut yang tak kunjung sembuh.

Uni Emirat Arab (UEA) memanggil plt Kepala Misi Delegasi Uni Eropa di UEA dan meminta penjelasan atas pernyataan “tak pantas dan bermuatan diskriminasi.” Politisi sayap Kiri asal Belgia Marc Botenga menilai pernyataan Borrell berakar dari imperialisme dan neo kolonialisme.

Apa acuan kecaman mereka?

Pernyataan Borrell selanjutnya: “Kita telah membangun sebuah taman. Semuanya lancar. Ia merupakan kombinasi terbaik kebebasan politik, kemakmuran ekonomi, dan kohesi sosial yang umat manusia pernah bangun—ketiganya secara bersamaan.”

Borrell secara implisit berkata bahwa masyarakat modern ada di Barat, sementara sisanya adalah kaum yang hidup dengan hukum rimba, lekat dengan sifat liar: tak beradab, tak punya kebebasan, dan tak makmur.

Oleh karenanya, negara lain di dunia itu perlu “dibebaskan.” Secara eksplisit, dia menyerukan para duta besar Eropa untuk bertindak sebagai penjaga taman yang merambah hutan dengan menjalankan misi agar mereka yang di "hutan" kelak tidak menginvasi “taman Eropa.”

Pernyataan Borrell, dan pembelaannya yang belakangan muncul di laman blognya, menunjukkan bahwa pola pikir Barat masih jumud, belum beranjak dari perspektif koboi, yang memandang diri sebagai orang bebas, pembawa obor peradaban, sementara kaum liyan (Indian di Amerika Serikat/AS) sebagai kaum liar, barbar, dan mesti “dibebaskan.”

"Patut disayangkan, dunia yang kita tempati saat ini terlihat kian dan semakin seperti 'hutan' dan kian kurang mendekati 'taman', karena di banyak bagian dunia, hukum yang berdasar pada pihak terkuat tengah menggerogoti aturan internasional," kata Borrell setelah meminta maaf.

Ketika memakai analogi soal hutan dan hukum yang mengikuti si kuat, dia mengaku merujuk pada Rusia yang menyerang Ukraina—dengan dalih membebaskan warga keturunan Rusia di Donbass yang dipersekusi selama 8 tahun oleh rezim Kiev.

Namun, dia juga mengakui bahwa aksi sepihak sering dilakukan Kubu Barat. Dia tentu saja tidak menyebutkan contohnya : koalisi Eropa untuk mengebom Libya, koalisi Barat untuk meluluhlantakkan Afghanistan dan Irak, operasi militer di Somalia, Suriah, Yaman, dan lain sebagainya.

Indonesia Ciptakan Kutub Baru

Tiga hari sebelum Borrell membuat pernyataan yang kontroversial tersebut, sebenarnya ada pernyataannya lain yang menarik karena menunjukkan bagaimana sebenarnya kaum Barat tersebut memandang Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam sambutan Pertemuan Tahunan Duta Besar Uni Eropa 2022, Borrell menyebutkan bahwa pendulum kekuatan politik global sedang berayun liar, dengan kemunculan negara-negara yang sikapnya kini tidak terprediksi. Indonesia termasuk di dalamnya.

Dia mengakui bahwa dunia tidak lagi sepenuhnya bipolar (dua kutub) karena ada banyak pemain dan kutub. Masing-masing mendukung satu pihak atau pihak lain berdasarkan kepentingan mereka dan tak lagi patuh pada hitung-hitungan “teoritis” dalam peta politik global.

“Mereka adalah kekuatan menengah... Tapi orang-orang ini—saya sebutkan sekali lagi: Turki, India, Brasil, Afrika Selatan, Meksiko, Indonesia—adalah pemain dan kutub. Hal ini menciptakan multipolar yang tak beraturan,” kata Borrell.

Lagi-lagi, Borrell sedang bicara soal perubahan dunia yang saat ini—dalam dunia imajinasinya—sedang menjadi kancah pertarungan antara pemerintahan demokratis versus pemerintahan otoriter.

Di tengah dunia multipolar yang lagi berperang itu, dia mengklaim semuanya kini menjadi senjata: energi, investasi, informasi, data, dll. Secara bersamaan sentimen nasionalisme, revisionisme, dan politik identitas terus menguat yang membakar “perang” tersebut.

Apapun konteks dan motif Borrell ketika membuat pernyataan tersebut, bagi Indonesia dan pemerintahan Jokowi saat ini, ada pesan kuat yang dan subtil bahwa Indonesia saat ini diakui posisinya sebagai salah satu pencipta kutub liyan.

Dunia tak lagi hanya melulu persaingan antara Barat dan pihak yang sedang dicap sebagai musuhnya, melainkan Barat dengan pihak liyan yang sangat beragam. Konflik Ukraina-Rusia tak lagi melulu soal Barat versus Rusia, melainkan banyak kutub kepentingan yang saling berkelindan.

Di tengah situasi demikianlah Indonesia saat ini menjalankan peran krusial sebagai pemegang presidensi G20 di Bali yang akan berlangsung pekan depan dan mencapai puncaknya pada 15 November 2022.

Indonesia yang secara teoritis dinilai tak lagi “membebek” Barat, kini terposisikan sebagai negara yang memiliki otoritas kuat guna memainkan peran krusial menjaga perdamaian dunia, di tengah sikap ugal-ugalan para pemegang kekuatan dunia.

Kepentingan Kelompok ‘Selatan Global’

Jika pilihannya adalah kutub kekuatan multipolar, di mana setiap negara menengah memegang penuh kendali sikap politik dan dukungannya (baik politik, ekonomi, maupun militernya) kepada yang dikehendaki, maka kepada siapa Indonesia mesti berpihak di ajang G20?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu membedah anatomi G20 sebagai forum 20 kawasan ekonomi dan negara dunia, yang menguasai 80% lebih Produk Domestik Bruto (PDB) global. Artinya, negara di dalamnya adalah kelompok elit.

Mereka mengendalikan 75% perdagangan global. Meski menjadi tuan rumah hanya bagi sepertiga populasi dunia, wilayahnya mencapai separuh permukaan bumi. Secara bersamaan, mereka menjadi penyumbang utama emisi global dengan kontribusi sebesar 75%.

Awalnya, ia didirikan pada 26 September 1999 sebagai respons atas krisis finansial 1997-1998, melalui inisiasi negara-negara anggota G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS) yang ingin membuat forum tersebut menjadi lebih inklusif.

Maka masuklah negara-negara baru untuk mereka libatkan dalam forum diskusi tingkat tinggi tersebut, di antaranya: Indonesia, Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Prancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.

Selama ini, forum tersebut dinilai hanya menyelesaikan persoalan antara mereka sendiri dan tidak cukup efektif untuk mengatasi problem dunia secara umum. Perlu sembilan tahun bagi mereka untuk menggelar rapat rutin perdananya, yakni pada tahun 2008.

Bukti bahwa forum tersebut tak bertaji mengendalikan kepentingan politik negara elit terlihat jelas dengan kehadiran George W. Bush—selaku presiden AS yang tangannya berlumuran darah lewat perang Irak—di rapat perdana tahun tersebut.

Meski dia telah mengobarkan perang di Irak selama 5 tahun (sejak 2003), tak ada satupun resolusi atau rekomendasi forum G20 pada 2008 guna mengutuk atau menghentikan perang yang dilegitimasi oleh kebohongan tersebut.

Saat itu, Indonesia di bawah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikenal “bermain aman.” Kini ketika politik dunia kian irasional, Indonesia perlu memainkan peran lebih menonjol ketimbang sekadar “menjaga hubungan” dengan para raksasa dunia di forum G20.

Posisi Indonesia yang telah dicap sebagai poros liyan oleh Borrell perlu dioptimalkan untuk membela kepentingan dunia. Nasib dunia saat ini dipertaruhkan akibat konflik antar elit G20 yang bermula dari ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara North Atlantic Treaty Organization/NATO) di Eropa hingga memicu perang Russo-Ukraina.

Siapa yang mewakili kepentingan dunia untuk dibela?

Borrell telah memberikan jawaban di pidato yang sama soal posisi Indonesia. Mereka ada di poros Selatan Dunia, yang tak ingin dipaksa berpihak dalam persaingan negara besar. Mereka adalah pihak yang merasa: sistem global tidak bekerja, tak mendapat peran, dan tak diakui.

“Mereka tak punya peran yang seharusnya dijalankan sesuai bobot ekonomi dan populasinya. Dan ketika menghadapi berbagai krisis multipolar—yakni finansial, pangan dan energi–jelas bahwa mereka tak akan mengikuti kita karena mereka menyalahkan kita,” kata Borrell.

Di tengah jumudnya pola pikir Uni Eropa, yang diwakili Borrell, ada kebutuhan mendesak yang mesti dijalankan di G20. Indonesia sebagai kutub baru harus menjalankan peran bebas-aktifnya untuk membawa G20 lebih dari sekadar forum salam-salaman dan foto bersama.

G20 harus mampu mencapai kesepakatan yang memastikan bahwa negara elit kembali patuh pada tatanan dunia dan logika diplomasi yang wajar. Bukan demi kepentingan G20 saja, melainkan kepentingan dunia non-G20 (di mana dua pertiga populasi mengada).

Baca juga artikel terkait G20 atau tulisan lainnya dari Arif Gunawan Sulistiyono

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Arif Gunawan Sulistiyono
Editor: Agung DH