Menuju konten utama

Fungsi Tari Tradisional & Tarian Daerah yang Beralih Fungsi Acara

Secara garis besar tari tradisional memiliki tiga fungsi utama, yaitu tari sebagai upacara, sebagai hiburan dan sebagai sarana pertunjukan.

Fungsi Tari Tradisional & Tarian Daerah yang Beralih Fungsi Acara
Tari Tor Tor. wikimediacommons/free/Angeline Claudia

tirto.id - Tari tradisional merupakan sebuah tarian yang diwariskan secara turun temurun.Tarian tradisional biasanya sangat rumit, mengandung nilai filosofis, simbolis dan religius yang sangat dalam dan tidak banyak orang yang memahaminya.

Semua aturan ragam gerak tari tradisional, formasi, busana dan tata riasnya memiliki pakem atau aturan tertentu dan tidak banyak berubah.

Fungsi Tari Tradisional

Mengutip modul Uniknya Tarian Daerahku (2018), secara garis besar tari tradisional memiliki tiga fungsi utama, yaitu tari sebagai upacara, sebagai hiburan dan sebagai sarana pertunjukan.

1. Sarana upacara

Tari jenis ini digunakan sebagai sarana upacara, misalnya upacara keagamaan, upaca pelantikan raja, pernikahan, panen dan banyak lagi. Tari sebagai sarana upacara ritual harus diselenggarakan pada saat tertentu disertai berbagai sesaji,serta diiringi tarian dan bunyi-bunyian. Fungsinya untuk menambah kesakralan dan daya magis.

2. Sarana hiburan/pergaulan

Tari jenis ini digunakan untuk menghibur penonton. Bahkan terkadang penari mengajak para penonton untuk ikut menari.

3. Sarana pertunjukan

Tari jenis ini dipentaskan atau dipertunjukan dengan persiapan yang matang dari segi artistik, koreografi, interpretasi, konsepsional, dan tema menarik. Tari pertunjukan juga digunakan untuk meningkatkan industri pariwisata suatu daerah, di antaranya sendratari Ramayana, tari Kecak dan sebagainya.

Daftar Tari Daerah yang Beralih Fungsi

Berikut ini adalah daftar tari-tarian tradisional yang beralih fungsi untuk acara penyambutan tamu dan hiburan:

1. Tari Tortor (Sumatera Utara)

Sejarah tari tortor diperkirakan telah ada sejak zaman batak purba. Di masa itu, tarian ini digunakan sebagai tari persembahan bagi roh leluhur.

Penggunaan tari tortor sebagai sarana ritual keagamaan telah beralih fungsi. Tari tortor saat ini lebih cenderung berfungsi sebagai sarana hiburan sekaligus media komunikasi antar sesama warga.

Saat ini, fungsi tari tortor dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

  1. Tortor Pangurason (pembersihan) adalah tari tortor yang dilaksanakan sebelum pesta besar sebagai sarana pembersihan dan permohonan agar pesta dapat berjalan tanpa aral dan rintangan.
  2. Tortor Sipitu Cawan (Tujuh Cawan) adalah tari tortor yang dipentaskan dalam acara penobatan raja Batak. Jenis tari tortor ini merupakan sendratari yang mengisahkan turunnya 7 putri kayangan ke Gunung Pusuk Buhit untuk mandi.
  3. Tortor Tunggal Panaluan adalah tari tortor yang dipentaskan para dukun dalam upacara ritual yang digelar setelah sebuah desa terkena musibah. Jenis tortor ini merupakan sarana permohonan petunjuk atas musibah yang telah dihadapi.

2. Tari Legong Binoh (Banjar Binoh Kaja)

Sekiranya sudah 100 tahun lebih tari legong di Banjar Binoh Kaja berkembang.

Pada dasarnya, tari legong terdiri dari tiga tahapan/bagian yang meliputi, Pangawit (pembukaan) biasanya terdiri dari melodi pembuka dimainkan penabuh yang kemudian dilanjutkan dengan pepeson, di mana penari mulai keluar ke tengah kalangan.

Setelahnya bagian pengipuk (adegan cumbu rayu) dan atau pesiat (pertempuran). Sesuai kebutuhan lakon, ada dua jenis legong yang mengawali Pesiat dengan angkat-angkatan (persiapan) perjalanan menuju medan perang, atau menyela pesiat dengan tetangisan, adegan isak tangis.

Adegan terakhir adalah pakaad, ini bagian tersingkat dalam struktur tari Legong. Pada bagian ini para penari melakukan tarian penutup dengan suasana yang netral.

Istilah Legong sebagai tarian persembahan bisa dibaca dalam lontar catur muni-muni. Dalam lontar ini disebutkan empat jenis gamelan, yaitu:

  1. Gamelan Semara Aturu, lazim disebut Gamelan Semara Pagulingan. Menurut teks, gamelan ini diturunkan dari alam Batara Indra dengan gending Pegambuhan untuk mengiringi tarian barong singa.
  2. Gamelan Semara Patangian, atau disebut juga Semara Awungu, diturunkan dari alam Batara Yama (Yama Loka) dengan gending pasesendon digunakan untuk mengiringi legong Keraton.
  3. Gamelan Semara Palinggihan, atau Semara Alungguh diturunkan dari alam Batara Kuwera (Kuwera Loka) dengan gending Pakakintungan, dipakai mengiringi Barong Ket.

Keempat jenis gamelan yang diturunkan para dewa ini, wajib mengiringi berbagai jenis upacara, meliputi upacara dewa yadnya, upacara persembahan kepada dewa-dewa dan Tuhan Pencipta Alam Semesta.

Upacara manusa yadnya, upacara untuk keselamatan kodrati manusia serta upacara-upacara besar lainnya di Bali.

Hal tersebut dapat diketahui bahwa tari legong binoh sangat disakralkan dengan selalu diupacarai setiap 6 bulan sekali bertepatan dengan hari saniscara (sabtu) Wuku Wayang (Tumpek Wayang).

Selain itu tari legong binoh sering dipentaskan pada pura-pura di lingkungan Desa Binoh setiap dilaksanakannya upacara piodalan.

3. Tari Baksa Kembang (Banjar)

Tari baksa kembang adalah seni tari klasik yang hidup dan berkembang di lingkungan Keraton Banjar.

Tari baksa kembang hanya digelar di lingkungan istana Kesultanan Banjar yang biasanya ditarikan oleh putri-putri keraton untuk menghibur keluarga dan tamu undangan kerajaan, seperti raja dan pangeran.

Namun dalam perkembangannya, lambat laun tarian ini menyebar ke masyarakat Banjar. Para gadis remaja Banjar, yang dalam istilah lokal disebut galuh-galuh, kini telah memiliki keterampilan untuk menarikannya.

Tari ini merupakan tari tunggal dan dapat dimainkan oleh beberapa penari wanita. Tarian ini bercerita tentang seorang gadis remaja yang sedang merangkai bunga.

Dalam perkembangannya tari ini beralih fungsi sebagai tari penyambutan tamu. Tari baksa kembang termasuk jenis tari klasik, yang hidup dan berkembang di keraton Banjar, yang ditarikan oleh putri-putri keraton.

Baca juga artikel terkait FUNGSI TARI TRADISIONAL atau tulisan lainnya dari Maria Ulfa

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Yantina Debora