Menuju konten utama

Fredrich Yunadi yang Kontroversial & Pengacara ala Pokrol Bambu

Menurut pakar hukum pidana Abdul Fickar Hajar, pengacara pokrol bambu akan memahami hukum dari teks tertulis tanpa memahami asasnya.

Fredrich Yunadi yang Kontroversial & Pengacara ala Pokrol Bambu
Tersangka dugaan menghalangi proses penyidikan atau Obstruction of Justice (OJ), Fredrich Yunadi menjawab pertanyaan wartawan seusai penggeledahan penyidik KPK di kantornya di Jakarta, Kamis (11/1/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB saat Fredrich Yunadi tiba di Kantor Komisi Pemberantasan (KPK) Korupsi Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu (13/1) dini hari. Mengenakan kaos berwarna hitam, ia turun dari mobil dengan pengawalan penyidik KPK. Salah satunya ialah penyidik senior Ambarita Damanik. Tak seperti saat ia masih menjadi pengacara Setya Novanto, malam itu ia irit bicara.

“Tidak ada komentar,” katanya kepada para wartawan, sembari berjalan masuk ke dalam kantor KPK.

Saat masih menjadi pengacara Setya Novanto, Fredrich merupakan sumber informasi awak media saat hendak merancang narasi berita. Ia gampang dihubungi. Namun, caranya membela Novanto tak jarang memicu kontroversi. Contohnya adalah saat ia menyatakan KPK tidak berwenang memeriksa Novanto sebagai tersangka sebelum ada izin tertulis dari presiden.

Fredrich mendasarkan argumentasinya pada dalil dalam Undang-Undang No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 245 ayat (1).

Pasal itu berbunyi: “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”. Ia juga mengacu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang berisi pengubahan frasa “persetujuan tertulis MKD” dalam pasal tersebut menjadi “persetujuan tertulis dari presiden”.

Padahal, jika Fredrich mencermati Pasal 245 ayat (3) butir C, ia tentu tahu bahwa KPK tidak perlu meminta izin presiden. Menurut pasal tersebut, ketentuan ayat (1) Pasal 245 tidak berlaku apabila anggota DPR disangka melakukan tindak pidana khusus.

Kasus korupsi yang menjerat Novanto adalah tindak pidana khusus, diatur dalam undang-undang tersendiri di luar Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP). Maka, KPK, tanpa izin tertulis presiden, bisa menahan Novanto. Prosedur penetapan tersangka dan penahanan terhadap Novanto itu juga diafirmasi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat mengugurkan praperadilan mantan ketua DPR itu.

Menurut ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar, kekeliruan Fredrich saat membela Novanto tersebut seperti gaya pokrol bambu. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan "pokrol bambu" sebagai "pembela perkara (dalam pengadilan) yang bukan tamatan sekolah tinggi; pokrol yang tidak terdaftar secara resmi."

Menurut Fickar, istilah pokrol bambu muncul pada zaman kolonial Hindia Belanda. Istilah ini merujuk pengacara yang tidak memiliki dasar pendidikan ilmu hukum saat membela kliennya di pengadilan. “Kelakuannya [pokrol bambu] seperti Yunadi. Baca hukumnya secara apa yang tersurat saja, tidak mau baca aturan lain,” kata Hadjar.

Meski saat ini pendidikan ilmu hukum sudah ada di berbagai universitas Tanah Air, tak berarti pengacara pokrol bambu lenyap. Fickar mengatakan pokrol bambu tetap ada sebagai bagian dari fenomena hukum di Indonesia. Biasanya, kata Fickar, para pokrol bambu ini adalah bekas pensiunan panitera pengadilan atau makelar kasus. Mereka membuka kantor praktik pengacara dengan merekrut sarjana-sarjana ilmu hukum.

INFOGRAFIK SETYA NOVANTO SAKIT

Pendidikan akademik merupakan modal penting bagi orang yang ingin menjadi pengacara. Menurut Fickar, tanpa pendidikan akademik yang memadai, seseorang hanya akan memahami hukum dari teks tertulis tanpa mengetahui memahami asas aturan maupun norma hukum yang berlaku. Hal semacam ini yang menurutnya kerap terjadi pada pengacara pokrol bambu.

"[Mereka] berdebat tanpa dasar hukum. Dia tidak tahu asas," ujarnya.

Kontroversi pernyataan publik yang paling diingat publik barangkali adalah saat ia menyampaikan kabar tentang kecelakaan yang menimpa Novanto. Pada Kamis 16 November 2017 malam, saat publik dan penyidik KPK bertanya-tanya di mana Novanto berada, tiba-tiba Fredrich mengabarkan kliennya itu mengalami kecelakaan.

Di Rumah Sakit Permata Hijau Jakarta Selatan, Fredrich menjelaskan kepada wartawan perihal kondisi mobil Fortuner bernomor B 1731 ZLO yang ditumpangi Novanto. “Mobilnya itu hancur, kacanya itu copot. Kacanya pecah, kanan kiri pecah,” katanya.

Pernyataan Fredrich lain yang mengundang olok-olok publik adalah saat ia menggambarkan bagaimana kondisi Novanto usai kecelakaan. Ia menggambarkan betapa nahasnya kondisi Novanto usai kecelakaan.

“Bengkak, bendol di sini [merujuk ke jidat sebelah kanan]. Lengannya luka semua, berdarah. Saya lihat, beliau pingsan. Sininya [merujuk ke jidat sebelah kiri] luka, sininya bendol [merujuk ke jidat sebelah kanan] seperti bakpao, terus ininya baret [merujuk ke pipi] kena kaca,” kata Fredrich.

Dua pernyataan Fredrich itu tidak didukung fakta lapangan. Dari video kecelakaan yang beredar di media sosial, kondisi mobil yang ditumpangi Novanto tak separah apa yang disampaikan Fredrich. Mobil itu hanya mengalami kerusakan di bagian bumper depan dan salah satu bagian roda depan. Selain itu, airbag yang ada di bagian depan mobil tidak keluar. Padahal, mestinya airbag keluar otomatis jika mobil mengalami tubrukan saat dijalankan dengan kecepatan tinggi.

Tentang kondisi Novanto usai kecelakaan, publik juga tak gampang percaya. Foto-foto kondisi Novanto yang beredar di media sosial menunjukkan betapa kondisi mantan ketua umum Partai Golkar itu tidak semengerikan yang digambarkan Fredrich. Selain itu, penyidikan Polda Metro Jaya di tempat kejadian perkara dan terhadap mobil Fortuner tersebut tidak mendukung pernyataan Fredrich. Tak ada bekas jejak darah dan rambut Novanto di dalam mobil itu.

Ketika menjadi tersangka dengan dugaan menghalangi proses penyidikan e-KTP, Fredrich berdalih segala ucapan dan tindakannya sebagai pengacara Novanto tidak dapat dijerat hukum. Ia mendasarkan ucapannya itu pada Undang-Undang Advokat No.18/2000 tentang Advokat Pasal 16, yang menurutnya memberikan hak imunitas kepada pengacara dalam membela klien.

"Saya difitnah, katanya melakukan pelanggaran, sedangkan pasal 16 Undang-undang 18 tahun 2003 tentang advokat, sangat jelas menyatakan advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana," kata Fredrich seusai menjalani pemeriksaan KPK.

Pernyataan Fredrich disanggah Fickar. Ia mengatakan imunitas hanya diberikan kepada pengacara yang membela klien dengan iktikad baik, bukan menghalang-halangi proses hukum. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: "Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang."

Pengertian luar sidang dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu menurut Fickar adalah pembelaan advokat sejak kliennya diperiksa dan ditersangkakan di luar persidangan. Menurut Fickar, jika benar Fredrich terlibat dalam skenario kecelakaan dan rekayasa perawatan Novanto di rumah sakit Permata Hijau, ia tetap bisa dijerat hukum pidana dengan tuduhan menghalang-halangi proses hukum.

"Obstruction of justice itu bukan termasuk pembelaan terhadap klien," kata Fickar.

Sementara itu, Kabiro Humas KPK Febri Diansyah memastikan penetapan tersangka dan penahanan terhadap Fredrich bukanlah bentuk kriminalisasi terhadap profesi advokat. "Sehubungan dengan pernyataan FY [Fredrich Yunadi] tadi yang mengesankan seolah proses hukum ini menyerang advokat, maka kami mengajak semua pihak untuk tidak menggeneralisasi profesi advokat," kata Febri.

Febri percaya advokat memahami ketentuan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi yang dijeratkan kepada Fredrich.

Isi dari pasal itu adalah: "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta."

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Hukum
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani