Menuju konten utama

Fredrich Yunadi Divonis 7 Tahun Penjara Lebih Rendah dari Tuntutan

Fredrich dinilai terbukti merintangi proses penyidikan perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto.

Fredrich Yunadi Divonis 7 Tahun Penjara Lebih Rendah dari Tuntutan
Advokat Fredrich Yunadi jelang persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (28/6/2018). tirto.id/Andrian Pratama Taher

tirto.id - Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis advokat Fredrich Yunadi 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 5 bulan kurungan pada Kamis (28/6/2018). Fredrich dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan merintangi proses penyidikan tersangka perkara korupsi.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebesar Rp500 juta rupiah dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 5 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (28/6/2018).

Vonis hakim lebih rendah dibanding tuntutan jaksa. Fredrich dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan pada Kamis (31/5/2018).

Fredrich dinilai terbukti merintangi proses penyidikan perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto. Ia menghalangi KPK memeriksa Setya Novanto pada 15 November 2017 dengan alasan menunggu hasil uji materi UU MD3. Selain alasan uji materi, Fredrich menyarankan Novanto diperiksa setelah KPK mendapat izin presiden.

Selain itu, Fredrich juga terbukti berusaha mengkondisikan Novanto dirawat di RS Medika Permata Hijau. Advokat dari Yunadi and Associates itu pun mengkondisikan perawatan di rumah sakit dengan meminta perawatan khusus serta meminta surat diagnosa.

Untuk memuluskan aksi tersebut, Fredrich menyerahkan data kesehatan yang diperoleh dari keluarga kepada Bimanesh Sutardjo. Ia juga juga meminta dokter untuk menyiapkan ruangan serta diagnosa saat di rumah sakit.

Hakim pun mengabaikan pleidoi Fredrich. Hakim menolak dalih bahwa kecelakaan tidak bisa dipidana. Hakim memahami bahwa kecelakaan sebagai perkara lain, tetapi hakim menyoroti proses Fredrich mengkondisikan perawatan Novanto untuk menghalangi penyidikan.

Hakim pun menolak pandangan bahwa CCTV tidak bisa digunakan sebagai bukti perkara. Hakim juga menilai dalih Fredrich bahwa tidak semua saksi gugur. Mereka mengacu kepada Pasal 160 KUHAP yakni pemanggilan berada di tangan jaksa.

Selain itu, hakim juga menolak dalih Fredrich mengenai pemeriksaan etik harus dilakukan terlebih dahulu dibandingkan pemeriksaan pidana sesuai UU Advokat. Hakim berpendapat pemeriksaan etik bisa dilakukan bersamaan dengan persidangan perkara pidana.

"Majelis mempertimbangkan masukan pelanggaran hukum tidak perlu nunggu majelis kehormatan namun bisa dibarengi," kata hakim.

Dalam pertimbangan putusan, hakim menilai sikap Fredrich yang tidak mengakui perbuatan, tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bertutur kata dan bersikap tidak sopan yang cenderung mencari kesalahan orang lain. Sementara itu, dalam hal meringankan, Fredrich belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga.

Hakim pun menilai Fredrich Yunadi terbukti melanggar pasal 21 UU 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Usai mendengarkan putusan hakim, Fredrich langsung menyatakan banding atas putusannya. "Kami nyatakan banding. Hari ini kami bikin akte banding," tegas Fredrich usai mendengar putusan.

Sementara itu, pihak jaksa KPK tidak langsung banding. Mereka memutuskan untuk pikir-pikir. "Terhadap putusannya, kami penuntut umum memutuskan akan pikir-pikir terlebih dahulu," ujar Jaksa KPK Roy Riady.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dipna Videlia Putsanra