Menuju konten utama
30 Mei 2019

Frank Lucas, Menyelundupkan Heroin Menggunakan Peti Mati

Lucas mendapatkan heroin dari kawasan Asia Tenggara dan distribusinya dibantu oleh tentara AS.

Frank Lucas, Menyelundupkan Heroin Menggunakan Peti Mati
Header mozaik Frank Lucas. tirto/Quita

tirto.id - Seorang lelaki duduk terikat pada kursi di sudut mati kota New York. Wajahnya ditutup dan berteriak meronta-ronta, beberapa orang menyiramnya dengan bensin. Sebelum teriakannya berhenti, ia dibakar hidup-hidup. Keesokan harinya, para pelaku membagikan makanan kepada orang-orang di pinggir jalan sambil menyampaikan salam: happy thanksgiving! Dua adegan selama tiga menit itu membuka film American Gangster yang dirilis tahun 2007.

Para pelaku kriminal itu bukan mafia imigran Italia seperti Don Vito Corleone dalam film The Godfather, melainkan Ellsworth Raymond “Bumpy” Johnson yang terkenal pada dekade 1960-an. Asistennya adalah Frank Lucas yang kelak jadi gembong kriminal kulit hitam paling beken seantero New York.

Di era Bumpy Johnson, Amerika Serikat berada dalam puncak konflik antara ras kulit hitam dan kulit putih. Pada usia 10 tahun, Willie, kakak kandungnya, dituduh membunuh seorang laki-laki kulit putih. Hal ini berperan besar dalam pembentukan karakter Johnson muda yang dikenal temperamental dan sulit mengatur emosi.

Ia kemudian tumbuh dewasa dan menduduki posisi penting dalam bisnis heroin dan bisnis ilegal lainnya. Johnson tidak menjalankan bisnisnya sendirian. Frank Lucas mengklaim dirinya telah menjadi tangan kanan Johnson selama belasan tahun.

Johnson meninggal dunia pada 1968. Kematiannya sontak membuat hidup Lucas berubah. Ia terbiasa berada di sisi sosok yang begitu dihormati oleh komunitas kulit hitam di Harlem. Tanpa Johnson, Lucas bukan siapa-siapa. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengembalikan pendapatan bisnisnya yang besar seperti ketika Johnson masih hidup.

Di tengah upayanya membangun bisnis heroin, Lucas melakukan hal penting. Semua perantara yang berada di tengah alur distribusi heroin dipotong. Bagi Lucas, peran "middleman" inilah yang selama ini merusak kualitas heroin dari bahan mentahnya, sekaligus membuat harga jual semakin tinggi.

Namun memangkas perantara bukan hal sepele. Ia harus repot mengurus sendiri distribusi heroin dari area sumbernya dan menyuap semua pihak yang ada di wilayah imigrasi AS untuk memastikan barangnya tiba dengan selamat. Langkahnya ini perlahan menggeser para kompetitor. Ia bahkan sanggup mendobrak monopoli para mafia Italia di kota New York.

Mulusnya arus distribusi heroin ke AS melahirkan tanda tanya besar. Menyuap para petugas memang sangat mungkin dilakukan, tapi menghindari otoritas yang lebih tinggi seringkali tidak sesederhana uang tutup mulut. Lucas harus punya rencana cadangan. Di sinilah spekulasi muncul. Media dan pihak kepolisian yang melakukan investigasi terhadap jaringan Frank Lucas mencurigainya menggunakan peti mati tentara AS yang gugur dalam perang dan dikirimkan kembali ke AS.

Tapi spekulasi itu dibantah oleh Lucas. Dalam buku Original Gangster: The Real Life Story of One of America’s Most Notorious Drug Lords (2010) ia menegaskan bahwa tuduhan itu sama sekali tidak tepat, “Tak pernah terpikir sedikitpun untuk menyelipkan heroin ke dalam peti jenazah. Saya menghormati jenazah.”

Meski tak memanfaatkan transportasi jenazah, Lucas tak membantah dugaan bahwa ia memang menggunakan peti mati palsu. Ada oknum-oknum tentara AS yang kerap membantunya di Thailand dan bertugas memastikan heroin bisa berangkat menuju New York. Peti mati palsu itulah yang dijadikan kendaraannya.

Di Bangkok, Sersan Leslie Atkinson menjadi rekan kerja Lucas dalam distribusi heroin. Drug Enforcement Administration (DEA), lembaga kepolisian anti-narkoba AS, mencatat nama Atkinson yang mantan tentara AS itu sebagai pelaku utama distribusi heroin dari Asia Tenggara ke AS antara 1968 hingga 1975.

Infografik Mozaik Frank Lucas

Infografik Mozaik Frank Lucas. tirto/Quita

Vonis Penjara 70 Tahun dan Membantu Polisi

Pesatnya perkembangan bisnis heroin Lucas dengan cepat mengundang perhatian DEA. Selain itu, lawan-lawan bisnisnya yang merasa terganggu juga mulai mencari akal untuk menghentikan perdagangan Lucas. Menyadari hal itu, sejak awal Lucas hanya memercayakan saudara-saudaranya untuk menjadi asisten bisnis. Baginya, mempekerjakan orang asing berarti memperbesar risiko kegagalan atau bahkan bisa membuka jalannya ke penjara.

Tapi trik itu tak berhasil menjauhkannya dari jeratan hukum. Pada pagi hari 28 Januari 1975 polisi membekuknya di ruang tamu rumahnya. Rupanya polisi telah lama menyelidiki saudara-saudara Lucas yang bekerja untuknya. Melalui mereka, polisi mengetahui gambaran yang cukup lengkap mengenai pola bisnis yang dijalankan Lucas.

Jutaan dolar disita dari rumahnya. Ia dijerat dengan tuduhan berkonspirasi secara sistematis untuk mendistribusikan narkotika. Hukumannya cukup fantastis: 70 tahun penjara federal. Selain Frank Lucas, sekitar 30 anggota keluarganya yang bekerja dalam perdagangan heroin juga dijebloskan ke dalam bui.

Otoritas federal menyita sekitar 250 juta dolar aset Frank Lucas yang berupa properti dan lain-lain. Dari dalam penjara, Lucas sepakat untuk bekerja membantu kepolisian dalam upaya membongkar jaringan perdagangan narkotika. Polisi tak ingin kehilangan kesempatan itu karena Lucas tahu persis kondisi dan situasi jaringan gelap itu secara detail.

Atas kolaborasinya dengan pihak kepolisian, hukuman 70 tahun penjara Lucas mendapat keringanan. Ia dibebaskan dari penjara pada 1991 setelah menjalani hukuman kurungan 15 tahun. Frank Lucas meninggal di New Jersey pada 30 Mei 2019, tepat hari ini 3 tahun lalu.

Baca juga artikel terkait GEMBONG NARKOBA atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi