Menuju konten utama

Forum Lingkar Pena: Kisah Dua Dekade Pabrik Penulis Cerita

Forum Lingkar Pena (FLP) berkembang dengan cepat ke berbagai penjuru Indonesia dan ada perwakilan di beberapa negara. FLP dianggap sebagai pabrik penulis cerita.

Forum Lingkar Pena: Kisah Dua Dekade Pabrik Penulis Cerita
Ilustrasi Forum Lingkar Pena. FOTO/dok FLP

tirto.id - Gita kecewa. Kakak laki-lakinya—ganteng, humoris, dan banyak ditaksir perempuan, yang semula mau diajak nonton film, nonton konser, dan jalan-jalan dengan teman-teman sekolahnya tiba-tiba berubah.

Kakaknya jadi lebih sering diam di kamar, membaca buku-buku Islam dan memutar lagu-lagu berbahasa Arab. Pakaiannya sudah tidak modis lagi, hanya kemeja lengan panjang dan celana baggy. Pandangannya menjadi lebih sering menunduk, dan dagunya mulai dihiasi jenggot tipis.

Gagah namanya. Mahasiswa FTUI itu memang berubah. Ia ikut pengajian di kampusnya. Sejak itu Gagah jadi rajin membaca buku-buku tentang Islam. Pembawaannya menjadi lebih dewasa. Pelan-pelan ia berdakwah kepada kedua orangtuanya. Juga kepada Gita, adiknya yang tomboy.

Gita tentu saja tidak senang dengan perubahan itu. Ia uring-uringan, ngomel, dan kecewa. Namun perlahan, kesabaran Gagah mulai membuahkan hasil. Diam-diam Gita mulai mau belajar memakai jilbab kepada temannya.

Suatu waktu, jelang ulang tahun dirinya, Gita mau memberi kejutan kepada kakaknya. Ia akan mendatangi kamar Gagah dengan memakai jilbab. Hari yang ditunggu pun tiba. Gita mendatangi kamar kakaknya dengan mengenakan jilbab mencong dan mengucap salam. Namun yang dipanggil tak kunjung muncul di balik pintu. Rupanya Gagah tengah pergi ke Bogor untuk suatu acara.

Magrib berlalu. Malam mulai merayap. Sekitar jam sepuluh malam telpon rumahnya berdering. Kabar buruk, Gagah kecelakan lalu lintas, terluka parah. Ia tak dapat ditolong. Tangis Gita pecah.

“Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. ‘Selamat jalan Mas Ihkwan! Selamat jalan Mas Gagah!’” gumam Gita perlahan mengenang kakaknya yang telah pergi.

Ketika Mas Gagah Pergi terbit pertama kali di majalah Annida tahun 1993. Cerpen karangan Helvy Tiana Rosa itu berhasil membangkitkan semangat belajar Islam di kalangan para remaja Indonesia. Waktu itu, situasi kampus-kampus sekuler di Indonesia memang tengah ramai oleh gairah baru keislaman. Kajian-kajian Islam menjamur. Anak-anak muda memakmurkan masjid dan musala kampus.

Wadah Para Calon Penulis

Sekali waktu Helvy Tiana Rosa mengajak Asma Nadia dan Muthmainnah, serta beberapa teman lain dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia untuk bertemu di Masjid Ukhuwah Islamiyah UI. Mereka berdiskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan remaja. Kesimpulan dari diskusi tersebut adalah tentang mendesaknya bacaan bermutu yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, mereka juga melihat potensi para penulis muda yang belum tersalurkan secara optimal.

Kumpulan itu akhirnya sepakat untuk membentuk wadah kepenulisan. Tanggal 22 Februari 1997, mereka membentuk Forum Lingkar Pena (FLP). Helvy diangkat sebagai ketua. Mula-mula anggota FLP hanya 30 orang, dan mulai mengadakan kegiatan rutin pekanan serta bulanan tentang penulisan.

Setahun kemudian, Muthi Masfufah—penulis muda asal Kalimantan Timur, mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang, dengan cabang di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan Sangata. Lalu pada tahun 1999 mulai banyak permintaan dari daerah lain untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap daerah.

Majalah Annida yang waktu itu dipimpin oleh Helvy dengan tiras sekitar seratus ribu eksemplar per bulan, menjadi media yang mendorong para anggota FLP untuk berkarya. Selain itu, sekitar 2.000 anggota baru FLP mendaftar melalui Annida. Memasuki tahun 2003, ada lagi anggota baru yang mendaftar sejumlah 3.000 orang lewat berbagai acara yang digelar oleh perwakilan-perwakilan FLP di seluruh Indonesia.

Namun, saat dikonfirmasi kepada Afifah Afra, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat FLP 2017-2021, jumlah anggota yang terdaftar hanya 2.348 orang dari total 29 wilayah dan 73 cabang. Hal itu menurut Afifah karena sistem pangkalan data keanggotaan baru dibuat tahun 2014.

“Perkiraan kami mencapai 3-4 kali lipat dari jumlah tersebut. Memang ada beberapa kendala di daerah-daerah, termasuk kendala sosialisasi,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (22/3/18)

Afifah menambahkan bahwa setelah Annida berhenti terbit, para penulis FLP fokus membenahi blognya masing-masing sebegai media untuk memublikasikan karya mereka. Selain itu FLP juga bekerja sama dengan UC News dan Kaskus terkait publikasi karya.

“Ke depan akan semakin banyak ke media online lainnya, karena memang zaman sudah berubah. Konsekuensinya, anggota FLP bergeser dari kebiasaan fiksi ke non fiksi,” tambahnya.

Menghindari Patron dan Mendorong Perubahan

Sejak berdiri, FLP sudah lekat dengan nama para pendirinya, terutama Helvy Tiana Rosa yang telah menghasilkan beberapa tulisan sebelum organisasi kepenulisan itu berdiri. Selain Helvy, nama-nama lain seperti Asma Nadia, Izzatul Jannah, Muthmainnah, dll, juga diidentikkan dengan FLP dan dianggap patron. Mereka pun menyadari bahwa hal tersebut tidak sehat bagi perkembangan FLP.

Hal ini dijelaskan Topik Mulyana (pegiat FLP Bandung) saat Munas FLP pertama yang diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta, pada Februari 2005. Posisi ketua umum yang akhirnya digantikan oleh Irfan Hidayatullah dari FLP Jabar, menurut Topik merubah brand image FLP yang kadung lekat dengan Helvy Tiana Rosa dan para pendiri lainnya.

Pemilihan ketua umum, menurut Topik, bukan tanpa setting. Meski sebagian besar peserta Munas masih menghendaki Helvy sebagai ketua umum, tapi ia berkeras menolaknya. Helvy lalu mengondisikan Irfan sebagai penggantinya, bukan Asma Nadia (FLP Pusat), bukan pula Izzatul Jannah (FLP Jateng) yang dianggap masih serupa dengan Helvy.

Kepengurusan Irfan Hidayatullah kemudian membuat beberapa terobosan baru di antaranya membentuk Divisi Kritik dan Litbang. Sebagai akademisi sastra (dosen UNPAD), Irfan menyadari pentingnya kritik sastra agar gerakan literasi menjadi lebih sehat. Maka ia pun mulai menjalin kerjasama dengan beberapa media Islam berupa penyediaan kolom kritik sastra. Jika ditingkat pusat FLP bekerja sama dengan Annida dan Sabili, maka di daerah mereka bekerja sama dengan media-media lokal seperti Aceh Magazine, Batam Pos, Radar Bandung, dll.

Secara internal, FLP Jabar berinisiatif mengadakan kegiatan yang agendanya menggeledah karya para anggota. Kegiatan ini tujuannya jelas yaitu untuk mengontrol dan membantu meningkatkan mutu karya yang dihasikan. Laporan kegiatannya dipublikasikan di rubrik “kritik Sastra” dengan tajuk “Dari Meja Pengadilan Penulis”.

“Itu inovasi FLP Jabar, sangat mungkin diadopsi dalam sistem kaderisasi FLP Pusat. Akan tetapi, saat ini kami sudah memiliki sistem kaderisasi sendiri hasil Munas 2017 kemarin. Secara substansial tidak bertentangan. Sebab di sistem kaderisasi, kami juga memiliki metode pengontrolan terhadap karya-karya anggota,” ujar Afifah.

Infografik FLP

Karya-karya anggota FLP banyak diterbitkan oleh para penerbit Islam. Topik menyebutnya sebagai "pemanjaan", karena minim kompetisi yang menyebabkan munculnya karya-karya reliji picisan ala sinetron. Oleh sebab itu, FLP mendorong para anggotanya untuk berani bersaing di media-media nasional seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Republika, dll., untuk bertarung dengan para penulis lain agar karyanya terpilih oleh redaktur media nasional tersebut.

Anggota FLP yang ribuan menyebabkan media-media tersebut mendapatkan serbuan naskah. Menurut Afifah Afra, dua orang anggota FLP, yakni Mashdar Zainal dan Benny Arnas berhasil menembus Kompas.

Topik Mulyana menambahkan, menurut Beni R. Budiman (alm) FLP adalah para “mualaf sastra” yang masih sangat perlu belajar kepada para penulis senior. Merespons hal tersebut, FLP akhirnya melibatkan sejumlah sastrawan untuk ikut dalam proses belajar para anggota FLP dalam berbagai kegiatan, seperti Taufik Ikram Jamil, Isbedy Setiawan Z.S., Ahmad Tohari, Agus R. Sarjono, Taufiq Ismail, Jamal D. Rahman, Ahamdun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, Joni Ariadinata, dll.

Selain beberapa terobosan yang dilakukan di masa ketua umum Irfan Hidayatullah, FLP pun terus melakukan perubahan di beberapa kepengurusan berikutnya, salah satunya adalah mendorong para anggota untuk menulis karya non fiksi.

Karya-karya anggota FLP yang awalnya kerap hadir di Annida (isinya mayoritas cerpen), membuatnya identik dengan fiksi. Hal ini kata Afifah Afra sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Pusat FLP 2017-2021, amat disadari oleh para anggota FLP.

“Sangat sadar, dan sudah setahap demi setahap berubah. Saat ini, kami belajar lebih banyak menulis opini, esai, dll. Bahkan juga sudah merambah ke jurnal ilmiah. Sekjen kami, Ganjar Widhiyoga, seorang akademisi, PhD dari Durham University, sudah menghasilkan beberapa jurnal,” ujarnya.

Semangat Dakwah sebagai Urat Nadi

“Dakwah pada dasarnya adalah mengajak kepada kebaikan. Tetapi tidak berarti bahwa menulis karya dengan mengangkat nilai-nilai Islami akan terjebak menceramahi atau menggurui,” ujar Asma Nadia, salah satu pendiri FLP.

Seperti kisah Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa yang kental nuansa dakwahnya, semua cerita yang ditulis para anggota FLP juga semangatnya serupa dengan itu. Cerpen-cerpen tersebut menyerbu Annida, mewarnai keriuhan gelombang semangat keislaman di kalangan kampus. Penerbit-penerbit buku Islam kebanjiran naskah.

Meski belakangan Annida dan beberapa majalah Islam berhenti terbit, tapi FLP tak ikut padam. Mereka bertahan dengan cara-cara generasi muda menghadapi perubahan zaman: mengoptimalkan kanal daring, menguatkan komunitas, dan terus berkarya. Media sosial yang mereka kelola pun masih berjalan dengan cukup baik.

Semangat yang dibentuk di FLP, menurut Afifah Afra, adalah semangat kesukarelawanan. Kerja-kerja amal yang mereka lakukan dalam berorganisasi disandarkan pada keislaman. Ia menambahkan bahwa ada 3 pilar dalam kaderisasi FLP, yaitu keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

“Faktor inilah yang membuat kami eksis hingga saat ini, meski dengan anggaran minim, yang bahkan rata-rata bersumber dari kantong pribadi. Sunduquna juyubana, brankas kami adalah kantong kami,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PENULIS atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS