Menuju konten utama

Formula 1 Tak Lagi Nomor Satu

Bisnis Formula 1 mengalami penurunan dalam beberapa tahun belakangan ini. Beberapa negara mulai berpikir tidak memperpanjang kontrak sebagai penyelenggara balapan jet darat ini. Apa yang menyebabkannya?

Formula 1 Tak Lagi Nomor Satu
Pebalap Red Bull Max Verstappen dan pebalap Mercedes Nico Rosberg terlihat beriringan saat berlangsungnya GP Inggris di Silverstone, Minggu (10/7). Antara foto/reuters/andrew boyers

tirto.id - Formula 1 (F1) saat ini tak lagi menjadi tontonan olahraga motor nomor 1. Balapan jet darat terkencang di dunia ini, yang sempat merajai layar kaca, dan balapannya disesaki ribuan penonton, kini terancam mati angin. Pamor F1 bahkan kini kalah oleh balapan motor MotoGP.

Apa yang menyebabkan F1 kini makin ditinggalkan penggemarnya?

“F1 sekarang membosankan. Sekarang balapannya didominasi sama tim-tim atau pembalap tertentu saja. Jadinya, ya, kurang seru,” tandas Adhyaksa, seorang penggemar F1 kepada tirto.id.

Adhyaksa berpendapat F1 sekarang ini terlalu bergantung kepada keunggulan teknologi. Hasilnya, pemenangnya hanya tim-tim tertentu yang memang memiliki kemampuan teknis, pengalaman, dan kekuatan finansial yang mumpuni. Kemampuan pembalap, imbuhnya, tidak lagi menjadi faktor utama dalam persaingan. Padahal faktor inilah yang biasanya menjadi daya tarik sebuah balapan.

“Misalnya ya tim-tim tradisional kayak Ferrari, Red Bull, dan Mercedes, itu menang terus. Beda sama MotoGP yang persaingannya lebih seru,” tandas pegawai di sebuah bank BUMN ini.

Ia mengakui bahwa penyelenggara F1 telah berupaya semaksimal mungkin untuk membuat F1 kembali menarik. Salah satunya melalui pemberlakuan serangkaian regulasi teknis untuk memangkas kesenjangan antar tim. Namun, hal itu seakan tidak berpengaruh terhadap balapan.

Kurang drama, kurang greget

Adhyaksa menjadi penggemar F1 sejak medio 1998. Saat itu, ia baru berumur 7 tahun. Adhyaksa baru rutin menonton F1 di layar kaca pada 2003 sampai 2009. Pada 2010, ia mulai merasa bosan dengan F1 yang mulai kehilangan gregetnya. Belakangan ini, tim-tim kuat biasanya sudah memastikan gelar juara saat balapan masih menyisakan beberapa seri. Tidak lagi ketat seperti dulu.

“Musim F1 paling seru terakhir itu 2009. Waktu itu, juaranya adalah tim debutan : Brawn GP. Selain juara pabrikan, pembalap mereka juga jadi juara dunia. Waktu itu yang menang Jenson Button,” paparnya.

Brawn GP adalah tim debutan yang baru ikut F1 pada musim 2008. Tim ini terbentuk oleh prakarsa Ross Brawn, mantan direktur teknik di tim Honda, Ferrari, dan Benetton. Brawn berinisiatif untuk membeli aset tim Honda yang bangkrut akibat terpaan krisis ekonomi global 2008.

Ross Brawn bukanlah sosok asing di jagat F1. Ia adalah arsitek di balik kedigdayaan pembalap legendaris F1, Michael Schumacher, saat sukses menyabet gelar juara dunia di tim Benetton dan Ferrari. Saat membesut Brawn GP, ia kembali menunjukkan sentuhan emasnya.

Ross Brawn sukses merancang mobil BGP001 yang begitu digdaya di sepanjang musim 2008/2009. Mobil itu berhasil mengantarkan dua juru mudinya, Jenson Button dan Rubens Barichello, memenangkan delapan dari 17 seri balapan yang digelar.

Hasilnya, Brawn GP sukses menyabet gelar ganda sebagai juara dunia sekaligus juara pabrikan. Brawn GP adalah tim debutan pertama dalam sejarah F1 yang mampu melakukannya. Sayangnya, Brawn GP hanya berumur setahun karena diakuisisi oleh tim Red Bull pada 2009.

Adhyaksa mengungkapkan bahwa drama-drama semacam inilah yang kini lenyap dari arena balapan F1. Alhasil, balapan F1 masa kini seolah sayur tanpa garam.

“Dulu seru karena kekuatan masing-masing tim merata. Tim gurem pun bisa jadi juara, atau minimal, ikut meramaikan persaingan,” ujarnya. “Sekarang ini, tim-tim tradisional macam Mclaren atau Williams levelnya malah sama dengan tim-tim kelas menengah. Ini bikin persaingan di papan atas antara Red Bull, Ferrari, dan Mercedes, jadi kurang gregetnya,” imbuh Adhyaksa.

Strategi menangguk keuntungan yang jadi bumerang

Menurunnya popularitas F1 juga dipengaruhi beralihnya penayangan olahraga ini dari televisi gratis menjadi TV berlangganan. Hal ini menyebabkan masyarakat umum menjadi semakin kesulitan untuk mengakses tayangan F1. Pangsa pasar F1 pun kian menyempit kepada golongan yang mampu membayar langganan saja.

“Saya terakhir nonton F1 pas September lalu di TV. Sebelumnya kan sempat hilang, tuh. Itu juga disiarkan lagi karena faktor Rio Haryanto masuk tim Manor Racing,” papar Adhyaksa.

Menurut pemaparan laman Motorsport, F1 telah kehilangan satu per tiga dari pemirsa globalnya dalam kurun waktu 2008 hingga 2016. Forbes bahkan memiliki data yang lebih konkret: F1 telah kehilangan 25 juta penonton di Inggris saja, sejak ia beralih ke TV berlangganan. Namun, hal ini tidak membuat khawatir para pengelola F1. Mereka memang mengincar keuntungan yang lebih besar alih-alih sekadar penonton yang banyak.

Hal ini diungkapkan oleh Bernie Ecclestone, CEO dari Formula One Management (FOM), pada 2014. “Saya tidak khawatir atas hal ini [penurunan jumlah penonton] karena FOM memang memprioritaskan TV berlangganan di beberapa pasar kami selama tiga musim balapan terakhir,” paparnya kepada Forbes.

Ecclestone tampaknya tidak memperhitungkan satu hal: penurunan jumlah penonton di televisi berakibat kepada penurunan sponsor yang berminat memasang iklan di F1. James Allen dari Forbes telah memperingatkan hal ini dalam sebuah artikelnya.

Allen menyatakan F1 telah kehilangan banyak sponsor dalam jangka waktu yang sangat cepat. Pada 2015, kesepuluh tim di F1 berhasil menangguk dana sponsor sebesar $750 juta. Jumlah ini menurun dari $950 juta pada 2013. Artinya, terjadi penurunan dana sponsor hingga $200 juta hanya dalam waktu tiga tahun.

Dana sponsor adalah salah satu tiang penyangga utama dari kekuatan finansial tim-tim F1 selain uang hadiah balapan dan keuntungan hak siar. Hal ini tentu saja sangat memukul tim-tim F1 khususnya tim papan bawah yang menggantungkan hidupnya dari sponsor. Kurangnya sponsor juga berakibat kepada naiknya harga tiket menonton di sirkuit untuk menambal operasional lomba. Akibatnya, penonton mulai kabur dari pinggir sirkuit.

Infografik Hilangnya Pamor Jet Darat

“Besarnya biaya operasional di F1 buat saya adalah masalah terbesar sekaligus pangkal dari masalah lainnya. Kita berada di tengah-tengah industri yang meledak dari segi biaya, dan di sisi lain, kita tidak punya kuasa untuk mengontrolnya,” papar Zak Brown, CEO dari Chime Sports Media, perusahaan agensi sponsor F1.

Para pengelola F1, khususnya Bernie Ecclestone, bukannya tidak menyadari permasalahan biaya ini. Namun, alih-alih memikirkan cara untuk menekannya, FOM justru mencari tambahan dana untuk menambal pembengkakan biaya ini.

Hal ini tampak dari penunjukan Baku—ibu kota Azerbaijan--sebagai tuan rumah F1 baru tahun ini. The Guardian melaporkan masuknya Baku melibatkan mahar sebesar 40 juta poundsterling yang dibayar presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev. Hal ini menyebabkan 2016 menjadi musim balapan terpadat dengan 21 race. Angka ini melonjak nyaris empat kali lipat dari jumlah balapan saat F1 pertama kali digelar yaitu hanya enam balapan.

Langkah bisnis kontroversial lainnya adalah ketika FOM secara mendadak mengumumkan kontrak hak siar eksklusif dengan stasiun TV berbayar Sky TV. Kontrak yang dimulai pada 2019 mendatang ini berarti bahwa Sky TV menjadi satu-satunya stasiun TV yang menyiarkan seluruh balapan F1—dengan pengecualian BBC yang mendapat jatah menyiarkan GP Inggris.

Perkembangan bisnis F1 yang menunjukkan gejala tidak sehat dan mengenyampingkan kualitas balapan ini akan mengancam masa depan F1. Apabila gejala negatif ini tak segera dibenahi, maka F1 akan kehilangan statusnya sebagai balapan nomor satu di dunia.

Baca juga artikel terkait FORMULA 1 atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani