Menuju konten utama

Fluktuasi Harga Cabai dan Mengapa Pemerintah Lamban Mengatasinya

Turunnya harga cabai disebabkan produksi yang terkonsentrasi di salah satu masa panen. Akibatnya, stok cabai melimpah dan harga jualnya turun.

Fluktuasi Harga Cabai dan Mengapa Pemerintah Lamban Mengatasinya
Petani memanen cabai merah di Desa Kertagenah Tengah, Kadur, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (6/11/2018). Dalam satu pekan terakhir harga cabai merah di tingkat petani turun drastis dari Rp20.000 menjadi Rp8.000 per kg yang diduga akibat permainan harga di pasaran. ANTARA FOTO/Saiful Bahri/aww.

tirto.id - Produksi cabai di daerah sentra yang sedang melimpah berdampak pada penurunan harga. Sebagai bentuk protes, sejumlah petani di Demak, Jawa Tengah, membuang cabai di jalan. Mereka juga meminta Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Dinas Perdagangan untuk mengintervensi harga.

Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santoso, turunnya harga cabai disebabkan produksi yang terkonsentrasi di salah satu masa panen.

Dwi menambahkan, keadaan tersebut diperburuk dengan sifat produk cabai yang bergantung pada musim. Selain itu, cabai cepat rusak sehingga tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Ia mengatakan, dua faktor itu membuat jumlah produksi melampaui konsumsi sehingga harga turun.

“Cabai sangat tergantung musim dan mudah rusak sehingga produksinya punya fluktuasi yang tinggi dan berpengaruh ke harga," kata Dwi, Senin (14/01/2019).

Pemerintah diminta memastikan cabai dapat dipanen sepanjang musim sehingga tak ada kelebihan atau kekurangan pasokan. Menurut Dwi, pemerintah perlu membantu petani melalui modal dan teknologi, sebab realisasinya tidak mudah dan murah.

“Pemerintah perlu membantu petani. Produksi cabai tidak boleh berkumpul di satu musim sehingga harga tidak turun banyak,” ujarnya.

Dwi menambahkan, pemerintah juga harus membantu penyerapan cabai produksi di industri hilir. Namun, hal itu perlu ditunjang dengan pendidikan masyarakat agar mengurangi kebiasaan mengkonsumsi cabai segar dan beralih ke cabai olahan.

Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional, Anton Muslim Arbi, menilai Kementerian Pertanian (Kementan) belum optimal mensosialisasikan teknologi dan kiat menjaga agar panen cabai berhasil. Di samping itu, baik Bulog maupun Kementan belum banyak berperan dalam menstabilkan harga.

“Sampai saat ini saya belum melihat kinerja Kementan untuk mencegah fenomena dan dampak penumpukan produksi ini,” kata Anton saat dihubungi reporter Tirto.

Karena itu, Anton mendesak pemerintah berperan lebih baik dalam menstabilkan harga cabai. Ia khawatir jika fluktuasi harga tidak diatasi dengan baik maka pengendalian harga melalui impor akan terus terjadi.

"Saya khawatir karena jika harga lagi tinggi, di situlah ada alasan untuk membuka keran impor,” ujar Anton.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Suwandi, mengklaim kerja sama kemitraan dengan perusahaan seperti Indofood telah menyerap cabai masyarakat. Ia memastikan harga cabai yang sempat bikin ramai di Demak pun sudah berangsur normal.

“Harga sudah normal itu. Sudah jadi Rp18 ribu per kilogram,” ucap Suwandi saat dihubungi reporter Tirto.

Suwandi juga mengklaim telah berupaya membina petani. Dimulai dari pengaturan pola waktu dan wilayah tanam, hingga keterampilan menanam serta pengendalian hama penyakit. Realisasinya dilakukan melalui organisasi petani cabai di tingkat nasional hingga daerah.

Namun, kata dia, pemerintah tidak menyediakan bantuan selain benih dan pengenalan teknologi pertanian. “Itu untungnya gede bisa mencapai Rp150 juta rupiah per musim dengan modal Rp70 juta per musim. Kami tidak menyediakan bantuan berupa modal dan teknologi,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait CABAI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan