Menuju konten utama
Inception

Flip: Dari Coding Menuju Solusi Finansial yang Adil

Filosofi Flip adalah melakukan transfer uang jadi semudah membalikkan telapak tangan.

Flip: Dari Coding Menuju Solusi Finansial yang Adil
Luqman Sungkar, Co-Founder & CTO Flip. (tirto.id/Tino)

tirto.id - Buat Captain Tsubasa, bola adalah teman. Namun buat saya, komputer adalah teman. Buat saya, komputer adalah alat yang tepat untuk menyalurkan hobi, passion, dan pada akhirnya menghadirkan banyak manfaat untuk orang-orang di sekitar saya; saat ini, sih, melalui aplikasi Flip.

Tapi jangan ke Flip dulu. Saya mau cerita sedikit soal latar belakang saya. Sejak kecil, saya hobi mengoprek dan membeli part-part komputer. Saya ingat betul waktu SMP, saya pernah ikut workshop merakit komputer dan saya jadi satu-satunya peserta bocah di workshop tersebut.

Ketertarikan saya kepada komputer ditularkan dari ayah saya. Dengan latar belakang elektronika, ayah saya sudah mengekspos hal-hal berbau elektronik sejak kecil kepada saya. Saya dibelikan alat-alat elektronika oleh beliau, saya pun mencoba bermain. Namun, saya baru benar-benar tertarik ketika ayah saya membawa komputer dari kantor.

Dari situ, saya sadar bahwa komputer adalah jalan ninja saya.

Peran Penting Ayah

Ayah saya punya peran penting dalam membentuk passion saya terhadap komputer. Bukan hanya membelikan komputer pertama saya pada tahun 2004—meski waktu itu belinya second—melainkan juga terus mendorong dan mengarahkan saya untuk belajar.

Saya tidak pernah lupa pengalaman pertama saya merusak komputer beliau. Secara tak sengaja, saya menghapus data kerjaan beliau dan itu unrecoverable. Saya sampai menangis. Tapi beliau malah bilang, “Gak apa-apa, anggap aja ini jadi ongkos belajar.”

Momen merusak komputer itu yang memicu saya untuk belajar lagi. Saat itu, saya disuruh stay di tempat service komputer. “Kamu stay di sini, tontonin bagaimana cara teknisi memperbaiki komputernya,” kata ayah saya. Dari situ, lama kelamaan, akhirnya saya bisa sendiri memperbaiki komputer, meski sejujurnya waktu itu kebanyakan hanya instal ulang Windows.

Sejak itu, teman-teman saya dan guru-guru SMP dan SMA saya, kalau punya masalah komputer, mereka bertanya kepada saya. Komputer jadi kunci yang membuka banyak pintu di masa depan buat saya.

Bertemu Masa Depan Bernama Coding

Mengulik komputer dan coding (pengodean) adalah dua hal berbeda meski sama-sama berangkat dari komputer. Sebelum SMA, teman-teman dan guru-guru saya tahunya saya adalah orang yang bisa memperbaiki dan menginstal ulang komputer.

Itu membuat saya disuruh ikut olimpiade komputer. Di situ saya baru sadar sebenarnya olimpiade komputer itu tidak ada hubungannya sama ngulik-ngulik komputer. Itu titik awal pertama kalinya saya mengenal coding.

Belajar coding ini sebenarnya mengajarkan logika dan pola berpikir, cara berpikir runtut, cara berpikir yang satu per satu, dan terstruktur. Tak heran di Amerika Serikat, anak TK saja sudah mulai diajari coding.

Sejak belajar coding, perspektif saya mulai berubah dari user ke programmer: “Dulu saya adalah orang yang hanya bisa memakai apa yang dibikin orang lain, tapi mulai sekarang, saya akan jadi orang yang juga bisa bikin sesuatu untuk dipakai orang lain.” Itu menjadi niat awal saya pada saat itu.

Lagi-lagi, di hidup saya, saya menemukan kunci pembuka banyak pintu di masa depan. Kunci tersebut kali ini bernama coding.

Pengalaman dan perspektif saya pun berubah drastis. Terutama makin ke sini makin dewasa, apalagi begitu kuliah sudah makin banyak ngoding. Saya sadar ada usaha yang tidak mudah untuk membuat aplikasi dan pada akhirnya menjadi produk yang dipakai oleh banyak orang. Itu yang mengawali semangat saya dalam menghasilkan sesuatu.

Inforgafik Luqman Sungkar

Inforgafik Luqman Sungkar. tirto.id/Mojo

Kunci Membuat Produk: Customer

Perubahan paradigma dari user ke programmer membuat saya sadar bahwa dalam menghasilkan aplikasi atau produk, customer itu penting, sehingga harus didengarkan. Coding-an atau teknis hanya sebagian saja. Sisanya lebih ke delivery produk dari sisi experience user, kegunaannya, dan bisnis.

Flip adalah aplikasi pertama saya yang dipakai banyak orang, sehingga banyak tantangannya, terutama dalam memahami user. Secara umum, produk dan desain Flip itu dipegang sama Rafi Putra Arriyan, co-founder dan CEO Flip. Sementara itu, di Flip, saya memegang engineering bersama Ginanjar Ibnu Solikhin yang juga sebagai co-founder. Kami bertiga merupakan sahabat sejak kuliah di Universitas Indonesia.

Selama 4-5 tahun pertama Flip, itu infrastrukturnya hampir 100 persen saya yang urus yang seluruhnya hasil belajar sendiri, otodidak, tidak dari kuliah. Menariknya, sebagai engineer, saya juga turut andil melakukan berbagai perubahan dan perkembangan seiring dengan feedback dari para pengguna Flip. Jadi, semua tumbuh berkembang secara incremental.

Dalam menjunjung tinggi customer focus, kami selalu menempatkan diri kami di sisi customer. Kalau kami adalah customer, apa yang ingin customer lihat, apa yang ingin customer dapatkan, apa yang customer tak mau lihat, rasanya bagaimana, sih, ketika memakai aplikasi Flip? Semua fitur yang kami hasilkan adalah hasil dari Flip yang bersikap customer-centric. Flip for Business adalah salah satu contohnya.

Di Flip juga kami memiliki blameless culture. Kurang lebihnya, setiap ada suatu kejadian, kami selalu membuat post mortem. Jadi, seperti rekapan asal suatu masalah. Kami tidak fokus pada siapa yang melakukan kesalahan, melainkan fokus kepada pembelajaran, sesuai dengan apa yang diajarkan ayah saya kepada saya.

Ingat waktu saya merusak komputer beliau seperti yang saya sampaikan di awal? Ya, saya selalu me-refer kepada kejadian itu setiap melihat ada yang berbuat kesalahan.

Coding (Tidak) Pernah Membuat Saya Stres

Kalau dipikir-pikir, memiliki Flip sebagai aplikasi yang dipakai sama banyak orang dengan coding-an—yang merupakan passion saya—menjadi ujung tombaknya, itu seharusnya membuat saya pusing. Namun, bagi saya, coding—serumit apapun itu—tak pernah membikin saya stres. Justru sebaliknya, ketika saya tak bisa coding yang lantas bikin saya stres.

Saya ingat di awal-awal sebelum 2019, sebelum ada investasi masuk ke Flip, kebanyakan krisis yang saya alami adalah soal masalah teknis, misalnya Flip lambat banget. Tapi kalau sekarang, challenge-nya lebih karena secara posisi. Ketika saya pindah ke posisi CTO yang manajerial, saya sudah gak ngoding secara reguler lagi, padahal passion utama saya adalah coding.

Sulit bagi saya untuk sadar, “Luqman, kamu sudah bukan waktunya lagi me-ngoding. Tugas ngoding kamu sudah diserahkan ke orang lain”. Itu berat banget. Bagi saya, itu tak bisa saya selesaikan secara teknis karena lebih melibatkan ke perasaan, seperti kehilangan jati diri, mengalami krisis identitas dan krisis kepercayaan diri. Namun pada akhirnya saya sadar, tanggung jawab saya sudah bukan lagi hanya sekadar hal teknis.

Masalah dua tahun belakangan ini di Flip adalah masalah-masalah yang lebih ke leadership. Alhamdulillah saya bisa mengatasinya dengan berkonsultasi dengan beberapa mentor saya.

Sekarang, setiap saya stres atau jenuh, pelarian saya adalah curhat ke mentor saya, terutama untuk masalah-masalah yang serius. Tapi kalau sekadar stres atau jenuh biasa, saya bermain sama keluarga atau justru iseng balik ke passion saya: coding.

Memberikan Manfaat Finansial yang Adil

Di masa depan, dalam hal pengembangan produk, Flip ingin sekali menjadi top of mind-nya orang-orang yang ketika mereka mau transaksi finansial, mereka mau kirim atau terima uang, itu cukup pakai Flip.

Kami pengin terus improve itu ke depannya, sehingga, harapannya, Flip akan melekat pada orang-orang: jika terpikir mau kirim atau terima uang, di-Flip saja. Jadi, itu bisa seperti menggantikan kata kerja “transfer”.

Menariknya, pemilihan nama Flip juga awalnya dengan filosofi bahwa melakukan transfer uang itu semudah membalikkan telapak tangan. As easy as flipping your hand. Saya ingat, itu sering disebutkan dulu di awal-awal presentasi.

Sementara itu, buat masa depan yang lebih jauh lagi, saya punya rencana jangka panjang ingin bikin sekolah coding. Saya ingin menghasilkan orang-orang yang secara teknis bagus, kuat fondasi logikanya, sehingga bisa bersaing dengan level internasional. Dengan sekolah coding ini juga saya harap bisa meratakan distribusi talent orang IT di Indonesia, tidak cuma Jawa-Bali-sentris yang selama ini saya alami.

Namun, itu memang masih jauh. Jadi, coba kita bicara yang dekat-dekat dulu saja. Pada dasarnya, saya ingin terus memberikan manfaat kepada banyak orang. Di masa sekarang, saya, Luqman Sungkar, mencoba terus melakukan yang terbaik bersama Flip. Bagi saya, Flip adalah salah satu cara untuk memberikan manfaat ke banyak orang dengan memberikan layanan finansial yang lebih fair. []

Artikel ini adalah hasil kerjasama dengan Flip.

Baca juga artikel terkait FLIP atau tulisan lainnya dari Advertorial

tirto.id - Inception
Penulis: Advertorial
Editor: Advertorial