Menuju konten utama

First Media, Satu Lagi Bisnis Lippo Group yang Berdarah-darah

Sejak First Media menjual sebagian besar kepemilikan saham di Link Net pada 2014, kondisi keuangan First Media terus memburuk.

First Media, Satu Lagi Bisnis Lippo Group yang Berdarah-darah
First Media menjelaskan tidak ada keharusan perusahaan membayar ganti rugi terhadap Astro berdasarkan putusan pengadilan banding Singapura. FOTO/Antaranews

tirto.id - Tahun Anjing Tanah 2018 menjadi tahun yang tak ramah bagi bisnis grup konglomerasi Lippo Group. Sudah berkali-kali, entitas bisnis Lippo Group bersinggungan dengan hukum, mencakup penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) hingga terlilit pada kasus hukum di KPK.

Belum lama ini, salah satu entitas bisnis Lippo Grup kembali berhadapan lagi dengan persoalan hukum. Perusahaan milik Lippo Group, PT First Media Tbk. menggugat Kemkominfo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

First Media menggugat karena Kemkominfo mengancam akan mencabut izin penggunaan frekuensi radio 2.3 Ghz jika First Media tidak membayar tunggakan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi radio kepada negara paling lambat 17 November 2018. Rencananya pada Senin (19/11), langkah prosedur akan dilakukan oleh Kemkominfo soal pencabutan frekuensi.

Berdasarkan catatan Kemkominfo dari laman resminya, First Media memiliki nilai tunggakan BHP frekuensi radio sebesar Rp364,84 miliar, dan anak usahanya PT Internux (Bolt) sebesar Rp343,57 miliar.

Sikap Kemkominfo tersebut jelas menjadi kabar buruk bagi First Media. Apabila hak penggunaan frekuensi radio dicabut, layanan terhadap para pelanggan First Media, termasuk anak usahanya bisa terganggu, dan akan berdampak pada para konsumennya.

Namun, bukannya melunasi tunggakannya, First Media justru mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta, di mana sidang pertamanya digelar Selasa (13/11/2018). Ancaman Kemkominfo sempat diumumkan pada 9 November 2018.

Isi gugatan tersebut di antaranya memohon adanya penundaan pelaksanaan pembayaran BHP frekuensi radio, dan menunda segala tindakan atau paksaan yang dapat dilakukan Kemkominfo dalam melakukan penagihan, beserta dengan segala akibat hukumnya.

First Media juga meminta penundaan pengenaan sanksi dalam bentuk apapun kepada penggugat sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan/atau kesepakatan bersama antara penggugat dan tergugat.

Keuangan yang Merugi

Tunggakan biaya First Media dan anak usahanya menimbulkan pertanyaan terhadap kondisi bisnisnya. Apalagi, tunggakan sudah berlangsung sejak 2016. Menurut Koneksi Kapital Sekuritas, adanya tunggakan pembayaran First Media disebabkan kondisi bisnis yang tengah terpuruk. Per September 2018, First Media meraup rugi bersih Rp2,9 triliun, melonjak 152 persen dari rugi bersih periode yang sama tahun lalu.

“Saya kira core atau model bisnis First Media bermasalah. Dari laba kotor atau EBITDA saja sudah negatif. Ini artinya core bisnisnya tidak mampu menutupi biaya produksi,” kata Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas kepada Tirto.

Penilaian Alfred yang menyebutkan model bisnis First Media bermasalah bukan tanpa alasan. Pasalnya, First Media mencatatkan EBITDA yang negatif sejak 2015 (PDF) hingga saat ini secara berturut-turut.

Pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization/EBITDA) merupakan salah satu komponen yang penting untuk diperhatikan investor. Dari EBITDA, dapat terbaca kemampuan perusahaan dalam menghasilkan uang, sebelum membayar utangnya. Dengan kata lain, EBITDA lebih mencerminkan kemampuan emiten dalam menghasilkan uang dari operasional bisnis.

Analis pasar saham J.B Maverick dalam artikelnya di Investopedia, menjelaskan EBITDA merupakan komponen yang sering digunakan untuk menganalisa perusahaan, terutama di sektor telekomunikasi.

Kenapa? karakteristik perusahaan telekomunikasi adalah padat modal dengan biaya tetap yang tinggi, tingkat pembiayaan utang yang relatif tinggi. Sehingga banyak perusahaan memiliki basis aset tetap yang besar, sehingga menyebabkan tingginya biaya depresiasi.

Selain itu, perusahaan telekomunikasi terkadang menerima insentif pajak dari pemerintah, sehingga memengaruhi arus kas. EBITDA dinilai memberikan evaluasi yang lebih akurat terhadap pendapatan karena tidak memasukan biaya depresiasi, pembiayaan dan pajak.

Kinerja EBITDA First Media yang negatif dianggap parah jika dibandingkan dengan emiten-emiten lainnya yang memiliki lini bisnis yang serupa dengan First Media, di antaranya seperti PT MNC Sky Aviation Tbk. Dalam empat tahun terakhir ini, kinerja MNC Sky Aviation memang mengalami rugi bersih. Namun dari sisi EBITDA (PDF), emiten milik Hary Tanoesoedibjo ini mencatatkan hasil yang positif secara berturut-turut.

Infografik Laba rugi First Media

Berawal dari Lepas Link Net

Selain karena model bisnis yang gagal mengangkat kinerja keuangan First Media. Ada faktor lainnya yang membuat bisnis First Media terpuruk, yakni dijualnya kepemilikan saham First Media di PT Link Net Tbk. pada 2014.

PT Link Net lepas dari First Media karena Link Net mulai mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun yang sama. Efek dari divestasi anak usaha, First Media pada 2014 meraup Rp7,87 triliun (PDF).

Penjualan itu membuat laba bersih perseroan terbang tinggi menjadi Rp7,94 triliun atau naik berkali-kali lipat dari laba bersih 2013 yang hanya sebesar Rp19,93 miliar. Sayang, setelah penjualan itu, 2014 menjadi tahun terakhir First Media merasakan laba bersih. EBITDA juga mulai negatif.

Gara-gara Link Net lepas, First Media tidak lagi meraup pendapatan dari jasa langganan televisi kabel. Padahal, sumbangan pendapatan dari jasa langganan televisi kabel tergolong besar, mencapai 32 persen dari total pendapatan kala itu. Per September 2018, kepemilikan saham First Media di Link Net sebesar 27,42 persen.

Pendapatan First Media pada 2015 pun anjlok, menjadi Rp1,06 triliun dari tahun sebelumnya Rp2,02 triliun. Pada saat bersamaan, perusahaan membukukan rugi bersih sebesar Rp1,51 triliun, dari sebelumnya laba bersih Rp7,8 triliun.

“Penurunan [pendapatan] ini disebabkan perseroan sudah tidak lagi mengkonsolidasi Link Net. Akan tetapi aset perseroan meningkat 5,9 persen dibandingkan 2014,” kata Ali Chendra, Presdir First Media dikutip dari laporan tahunan First Media (PDF) kala itu.

Pendapatan First Media hanya bergantung pada jasa langganan internet dan layanan komunikasi data; bioskop; perangkat komunikasi; dan lain-lain, seperti penjualan perangkat komunikasi, peralatan, biaya pemasangan dan jasa terkait lainnya.

Selang tiga tahun, lini-lini pendapatan First Media tersebut rupanya masih tidak cukup kuat untuk menutupi biaya operasi. Tekanan keuangan semakin kuat setelah perseroan tidak lagi memperoleh pendapatan bioskop sejak 2017. Lini pendapatan First Media pun tinggal dari jasa langganan internet dan layanan komunikasi data; perangkat komunikasi; dan lain-lain. Celakanya, ketiga lini pendapatan tersebut juga turun performanya.

Berdasarkan laporan keuangan First Media per September 2018, penjualan jasa langganan internet dan layanan komunikasi data menjadi satu-satunya yang masih tumbuh. Sedangkan sisanya turun.

Penjualan jasa langganan internet dan layanan komunikasi data tercatat Rp571,77 miliar, naik 3,6 persen dari Rp551,87 miliar. Hasil ini sejalan dengan jumlah pelanggan Bolt yang naik menjadi 3,9 juta pelanggan per Mei 2018, dari sebelumnya 3 juta pelanggan pada 2017.

Sebaliknya, penjualan perangkat komunikasi melempem dengan hanya menyumbang senilai Rp38,51 miliar atau turun 47 persen dari Rp72,03 miliar. Hal ini juga dikarenakan pelanggan korporasi yang memakai telepon kian berkurang. Per 2017, pelanggan korporasi tercatat sebanyak 1.240 pelanggan dari sebelumnya sebanyak 1.300 pelanggan pada 2015.

Melihat kinerja keuangannya yang negatif selama empat tahun terakhir ini, tidak heran jika First Media memiliki sejumlah tunggakan. “Perlu ada model bisnis yang baru dari emiten, jika kondisi ini tidak ingin terus berlanjut,” tutur Alfred.

Baca juga artikel terkait LIPPO GROUP atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra