Menuju konten utama

Finlandisasi: Menjadi Netral ala Finlandia

Salah satu solusi yang muncul dalam konflik Ukraina-Rusia adalah "Finlandisasi". Apa itu?

Finlandisasi: Menjadi Netral ala Finlandia
Pemandangan udara dari bendera Finlandia di menara Balai Kota di Joensuu. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tawaran solusi untuk menghindari konfrontasi lebih jauh antara Rusia dengan Ukraina muncul tak lama setelah Krimea dianeksasi pada 2014. Salah satunya datang dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat era 1970-an, Henry A. Kissinger.

Dalam artikel di Washington Post, diplomat senior ini menilai Kiev tidak perlu melakukan manuver yang dibenci Kremlin, yaitu bergabung dengan NATO, organisasi yang mencerminkan dominasi kekuatan militer kubu Barat. Pada saat yang sama menurutnya Ukraina juga berhak menentukan kerja sama ekonomi dan politik dengan siapa pun, tak terkecuali klub negara kapitalis-demokratis mapan di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Dalam hal ini Ukraina perlu meniru Finlandia, katanya. Negara Skandinavia yang berpenduduk sekitar lima juta jiwa dan berbagi perbatasan sepanjang 1.300 km dengan Rusia tersebut perlu dicontoh karena memiliki “kemandirian yang garang” serta “menjalin kerja sama di banyak bidang dengan negara-negara Barat namun tetap berhati-hati menghindari permusuhan institusional terhadap Rusia.”

Usulan Kissinger ini kerap disebut “Finlandisasi”. Istilah yang muncul sejak dekade 1960-an ini merujuk pada strategi negeri kecil mempertahankan otonomi atau kedaulatannya dengan cara mengakomodasi kepentingan negara lebih kuat.

Berkat strategi tersebut, selama Perang Dingin, arah kebijakan luar negeri dan pertahanan Finlandia, termasuk politik domestik dan media massa, cukup dipengaruhi Uni Soviet. Namun, di sisi lain, Finlandia dibiarkan mempertahankan institusi-institusi negaranya tetap demokratis dan sukses melahirkan tatanan masyarakat kapitalis serta ekonomi mapan khas negara-negara Barat.

Finlandisasi Tidak Disukai

Usul tersebut kemudian direspons negatif pakar ekonomi Rusia, Clifford Gaddy. Menurut Gaddy, “Finlandisasi” tak lebih dari cita-cita utopis bagi Ukraina. Ia menyatakan, “Ukraina bukan dan tidak bisa jadi Finlandia” karena berbagai hal. Salah satunya adalah karena Ukraina “terlalu lemah, tidak stabil, dan korup,” tulis Gaddy di situs think tank Brookings.

Netralitas sekaligus kemandirian Finlandia selama Perang Dingin perlu dipahami bukan pemberian cuma-cuma dari Soviet, melainkan upaya yang disokong oleh banyak uang. Masalahnya, saat ini Produk Domestik Bruto per kapita Ukraina hanya di bawah empat ribu dolar (sekitar Rp50 juta) alias tak sampai sepuluh persen dari Finlandia (47 ribu dolar atau nyaris Rp700 juta).

Dalam aspek tata kelola keuangan, Finlandia adalah negara paling tidak korup sedunia, sedangkan Ukraina terseok di peringkat ratusan.

Selain itu, “Finlandisasi” juga merupakan upaya yang dibarengi dengan kemauan, kesabaran, dan yang paling penting konsesi-konsesi seperti menyerahkan wilayah (Finlandia merelakan sebagian provinsinya untuk Soviet saat Perang Dunia II). Maka untuk menjadi seperti Finlandia Ukraina perlu menjalani “proses berlarut-larut nan menyakitkan” karena Rusia bakal terus-menerus menekan mereka, catat Gaddy.

Ketika Rusia menginvasi Ukraina awal tahun ini, “Finlandisasi” kembali disinggung sebagai alternatif yang bisa diambil untuk meredam konflik. Presiden Prancis Emmanuel Macron sempat mengungkapkan ide tersebut sebelum bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, menurut laporan Le Figaro awal Februari silam.

Namun, sebagaimana usul terdahulu, sikap Macron pun menuai kritik. Usul agar Ukraina tidak bergabung ke NATO dipandang sudah menyepelekan open-door policy atau kebijakan pintu terbuka yang dijunjung NATO. Kebijakan ini menyatakan setiap negara berhak memilih aliansi politik dan militer yang diinginkannya. Menurut pakar kebijakan luar negeri dari Välispoliitika Instituut di Estonia Kristi Raik, menyuruh meniru netralitas Finlandia sama artinya dengan menyepelekan kedaulatan Ukraina.

Di samping itu, berbagai survei yang dilakukan menjelang invasi Rusia menunjukkan mayoritas warga Ukraina ingin merapat ke kubu Barat. Sebanyak 68 persen responden mendukung Ukraina menjadi bagian dari Uni Eropa dan 62 persen setuju bergabung ke NATO. Gagasan pro-Eropa memang semakin populer di kalangan massa Ukraina sejak serangkaian protes mendesak presiden pro-Rusia Viktor Yanukovych merebak pada awal 2014.

Tidak heran jika kemudian menurut Oleksiy Melnyk dari think tank Razumkov Center di Kiev masyarakat Ukraina pun tidak bisa menerima gagasan “Finlandisasi”. “Jika kalian menerima sesuatu yang dipaksakan untuk kalian, semacam netralitas permanen, secara logika tentu kalian mendapatkan sesuatu sebagai gantinya. Kalau begitu, apa yang harus Ukraina terima?” ujar Melnyk, dikutip dari RFE/RL.

Bahkan “Finlandisasi” tidak disukai warga Finlandia sendiri. Masih melansir sumber yang sama, “Finlandisasi” mengingatkan mereka akan rasa malu di masa lalu. Sementara menurut Matti Pesu, peneliti dari Finnish Institute of International Affairs di Helsinki, “Finlandisasi” adalah peyorasi atau istilah merendahkan.

Kemunculan Finlandisasi

Hubungan Finlandia dan Rusia pada mulanya menyerupai bawahan-atasan dan sarat unsur permusuhan. Finlandia merdeka dari Kekaisaran Rusia pada 1917, tak lama setelah Revolusi Bolshevik meletus. Mereka sempat jatuh dalam Perang Sipil sampai akhirnya pada 1919 resmi menjadi republik di bawah pimpinan tokoh-tokoh partai yang berhaluan konservatif liberal.

Memasuki Perang Dunia II, berkali-kali Soviet meminta beberapa wilayah Finlandia ditukar dengan daerah lain yang tidak terlalu strategis di mata Helsinki. Tujuannya agar daerah tersebut dijadikan area pelindung untuk Leningrad (St. Petersburg) dari serangan Jerman.

Permintaan tersebut tentu ditolak. Akibatnya, pada musim dingin 1939, pasukan Soviet dikirim untuk menginvasi Finlandia. Lebih dari lima ribu orang Finlandia meninggal, sedangkan Soviet kehilangan sampai 126 ribu tentara.

Ketika akhirnya kedua pihak berdamai pada awal musim semi 1940, kesepakatan yang dihasilkan pun tidak memuaskan Finlandia. Mereka harus menyerahkan 11 persen wilayah untuk Soviet, termasuk sebagian Provinsi Keralia dan kota tua Vyborg yang lokasinya sangat dekat dengan St. Petersburg.

Setahun kemudian, Finlandia memutuskan berpihak di sisi Nazi Jerman untuk memerangi Soviet. Tujuannya tak lain merebut kembali wilayah yang telah diambil Soviet. Karena dalam perang tersebut Nazi kalah telak, Finlandia harus puas mengakui wilayahnya yang hilang tidak bisa kembali lagi.

Finlandia kian merugi karena berdasarkan Perjanjian Paris 1947 yang didikte oleh Sekutu masih harus menyerahkan wilayah lain kepada Soviet, mengizinkan pelabuhannya disewa oleh tentara Soviet, sampai membayar biaya reparasi perang.

Ketika Perang Dingin dimulai, persisnya pada 1948, pemimpin Soviet Joseph Stalin mengajak Finlandia berdamai lewat Treaty of Friendship, Cooperation, and Mutual Assistance. Perjanjian inilah yang kelak melandasi hubungan Finlandia-Rusia selama empat dekade. Melalui kesepakatan tersebut, Finlandia dijamin tidak akan diserang, diduduki, atau dianeksasi Soviet. Soviet juga membiarkan Finlandia berkembang jadi negara merdeka nan berdaulat.

Sebagai gantinya, Finlandia harus bersedia mengangkat senjata untuk membela dirinya sendiri—sekaligus membela pihak Soviet—apabila mereka semua diserang oleh blok Barat. Finlandia juga menjauh dari berbagai organisasi yang berafiliasi dengan blok Barat, termasuk NATO, dan merelakan tangan Soviet mencampuri politik domestik dan kebijakan luar negeri.

Perjanjian di atas diratifikasi oleh Presiden Juho Kusti Paasikivi (berkuasa 1946-1956), politikus dari Partai Koalisi Nasional yang berhaluan konservatif. Paasikivi paham bahwa negeri sekecil Finlandia tidak akan mampu melawan dominasi negara sekuat Soviet. Maka dari itu ia menyerukan pentingnya berhubungan baik dengan negara tersebut demi keselamatan dan kemerdekaan sendiri.

Pandangan tersebut kelak dikenal sebagai “Doktrin Paasikivi”— yang berangkat dari asumsi bahwa kepentingan Soviet di Finlandia pada dasarnya adalah urusan keamanan. Dengan bersikap kooperatif, Finlandia ingin meyakinkan Soviet bahwa permusuhan dapat dihindari. Akhirnya, mereka dibiarkan mengelola pemerintahan sesuai yang diinginkan sepanjang tidak mengusik kepentingan strategis Soviet.

Doktrin Paasikivi lantas diteruskan oleh politikus dari partai berhaluan tengah, Urho Kekkonen, yang berkuasa selama seperempat abad (1956-1982). Di bawah Kekkonen, Finlandia dipandang semakin mengakomodasi Moskow. Kekkonen juga dikenal berkawan baik dengan Sekjen Soviet, Nikita Khrushchev.

Elemen-elemen dalam perjanjian 1948 dan keakraban dengan Soviet yang dipertahankan Kekkonen ini lantas dimaknai secara sempit sebagai netralitas ala Finlandia atau “Finlandisasi”.

Seiring itu semua berlangsung, Finlandia sukses memajukan ekonominya seperti negara kapitalis Barat.

Di sisi lain, ada harga mahal lain yang harus dibayar. Dilansir dari artikel yang ditulis oleh Mantan Duta Besar Inggris untuk Jerman Paul Lever, otoritas Soviet sebenarnya ikut mengontrol buku-buku atau film yang bisa beredar di Finlandia, termasuk mengawasi publikasi koran. Bahkan politikus Helsinki yang tidak disukai Moskow bisa dilarang menjabat.

“Netralitas memang menjadi landasan kebijakan luar negeri Finlandia, namun netralitas tersebut tidak memberikan ruang kritisme terhadap Uni Soviet,” tulis Lever.

Netralitas Finlandia sebenarnya tak lebih dari kepentingan sekunder, yakni “instrumen pragmatis untuk menjaga Finlandia tetap berada pada sisi kubu Barat di balik Tirai Besi,” kata Juhana Aunesluoma dan Johanna Rainio-Niemi dalam studi yang dipublikasikan di Journal of Cold War Studies (2016). Menurut mereka fokus utama Finlandia adalah mencari cara agar dapat berintegrasi dengan Eropa Barat.

Netralitas bukanlah hal yang diinginkan, melainkan sikap yang terpaksa diadopsi karena situasi geopolitik sekaligus pilihan terbaik yang tersedia kala itu.

Infografik Menjadi Finlandia

Infografik Menjadi Finlandia. tirto.id/Sabit

Merapat ke Barat

“Finlandisasi” adalah konsep yang muncul dalam situasi atau kondisi spesifik. Karena itulah ia tidak bisa diuji coba paksa ke negara lain, apalagi pada zaman dan kondisi geopolitik yang berbeda. Wajar pula jika kemudian pihak-pihak yang mengusulkan agar Ukraina “di-Finlandia-kan” dikritik.

Bahkan ketika kesempatan tiba, negara yang melalui “Finlandisasi” itu sendiri memilih untuk merapat ke aliansi politik dan militer Eropa Barat dan Amerika Utara. Kesempatan itu muncul setelah Tembok Berlin runtuh.

Pada 1992, Finlandia dan rezim baru Rusia mengganti perjanjian era 1948 dengan kesepakatan baru. Isinya termasuk menghormati kedaulatan dan hak masing-masing negara. Rusia juga mengaku tidak keberatan apabila Finlandia mau bergabung dengan Uni Eropa.

Finlandia pun resmi jadi bagian dari Uni Eropa dan aktif bekerja sama dengan NATO melalui program Partnership for Peace sejak pertengahan dekade 1990-an.

Perlu diingat bahwa bekerja sama dengan NATO bukan berarti menjadi bagian dari mereka. Status Finlandia tetaplah bukan anggota NATO. Januari silam, beberapa minggu sebelum tank-tank Rusia menyerbu Ukraina, Perdana Menteri Sanna Marin masih bersikeras bahwa kemungkinannya kecil bagi Finlandia untuk bergabung NATO selama ia berkuasa.

Kendati demikian, tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina, survei mengungkap 62 persen responden di Finlandia setuju negaranya menjadi bagian dari NATO (angkanya meroket jauh dari 21 persen pada 2017). Awal April kemarin PM Marin pun mengubah pikirannya. “Rusia bukan tetangga seperti yang selama ini kami kira,” katanya.

Finlandia mungkin akan kembali membuat sejarah. Mereka akan memutuskan untuk bergabung NATO atau tidak paling cepat musim semi nanti.

Baca juga artikel terkait POLITIK LUAR NEGERI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino