Menuju konten utama

Filosofi Pochettino: Mampukah Berikan Gelar Liga Champions?

Tottenham Hotspur lolos ke final Liga Champions 2019 bukan karena keburuntungan, melainkan karena filolsofi Mauricio Pochettino

Filosofi Pochettino: Mampukah Berikan Gelar Liga Champions?
Putra Tottenham Hotspur, Heung-min, kanan, merayakan dengan rekan-rekan setimnya setelah mencetak gol ketiga timnya selama pertandingan sepak bola Liga Primer Inggris antara Tottenham Hotspur dan Leicester City di stadion Wembley di London, Minggu, 10 Februari 2019. Matt Dunham / AP

tirto.id - Mauricio Pochettino mulai menjadi pelatih pada 20 Januari 2009, saat didaulat menggantikan posisi Jose Manuel Esnal di Espanyol. Sekitar satu dekade berselang, ia sudah menangani Tottenham Hotspur, meski belum meraih "apa-apa".

Ahad (2/9/2019) dini hari nanti, anak asuh Pochettino akan bersua dengan Liverpool di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid. Pochettino pun punya kesempatan besar untuk meraih sesuatu yang didambakan semua pelatih top di Eropa: gelar Liga Champions.

Untuk semua orang yang meragukan kapasitas Tottenham Hotspur untuk meraih gelar itu, Pochettino berkata, "aku akan menertawakan orang-orang yang mengatakan bahwa Spurs bisa berada di final karena keberuntungan."

Asumsi banyak orang soal keberuntungan itu punya dasar. Pada babak penyisihan grup, Spurs berhasil lolos ke fase gugur setelah sempat hanya meraih satu angka dalam tiga pertandingan. Di babak perempat-final, mereka juga berhasil melangkahi Manchester City karena bantuan VAR. Dan pada babak semifinal, Spurs sempat tertinggal 0-3 dari Ajax Amsterdam sebelum hattrick Lucas Moura menghasilkan malam ajaib di Amsterdam,

Namun, Pochettino tentu juga mempunyai alasan buat menertawakan asumsi tersebut: Spurs tak pernah bermain dengan rasa takut. Apa pun keadaannya, skuat the Lilywhites selalu berjuang seakan tidak mengenal hari esok.

Cara bermain Spurs ini tak dilatih Pochettino dalam waktu semalaman. Sejak menangani Espanyol pada 2009, Pochettino selalu membuat timnya bermain dengan cara seperti itu. Dan Pep Guardiola, punya pengalaman dengan kegigihan skuat Espanyol besutan Pochettino saat ia masih melatih Barcelona.

"Ada tim yang bermain dengan cara menunggumu, tapi ada juga tim yang akan bermain dengan selalu memburumu. Espanyol ialah tim yang akan selalu memburumu," tutur Pep Guardiola.

Tak Pernah Bertele-tele

Dalam sebuah tulisannya di Time on The Ball pada 2015, Thore Haugstad pernah menceritakan kejadian menarik mengenai Pochettino. Suatu waktu, saat Pochettino masih menjadi pelatih Southampton, ia pernah naik pitam--menyalahkan para pemainnya--di depan para jurnalis. Penyebabnya: Southampton kobobolan dengan cara yang tak sesuai dengan prinsip Pochettino.

"Kami adalah tim yang bermain menyerang dan selalu ingin maju ke depan. Dan tidak menjadi masalah apabila kami kebobolan setelah melakukan counter-presssing. Namun ketika kami kebobolan saat ada 10 orang pemain di daerah pertahanan kami, di dalam kotak penalti kami, aku tidak akan pernah memberikan toleransi," kata Pochettino.

Sebagai seorang pelatih, Pochettino memang mengharamkan timnya bertahan secara mendalam. Apa pun akibatnya, para pemainnya harus mampu merebut bola sesegera mungkin setelah kehilangan. Dan untuk menyempurnakan pendekatannya itu, Pochettino mempunyai cara jitu: ia gemar "menyiksa" para pemainnya saat sedang latihan.

Setiap harinya, Pochettino mempunyai tiga sesi latihan, dari jam 10 pagi hingga makan siang, dilanjut dari jam 2 siang hingga jam 4 sore, dan ditutup sesi terakhir yang berlangsung dari jam 6 petang hingga jam 8 malam. Dalam setiap sesi itu, agar para pemainnya mempunyai paru-paru ganda, latihan fisik selalu ikut ambil bagian.

Pada masa awal-awal menjadi pelatih Spurs, metode latihan Pochettino sempat bikin para pemain Spurs menggerutu. Mousa Dembele, mantan gelandang Spurs, mengaku metode latihan Pochettino membuatnya lelah setiap hari. Sementara Danny Rose tak sadar bahwa berat badannya menyusut, adapun Christian Eriksen mengaku sering “tidur cepat” karena merasa kelelahan.

Namun, dampak latihan tersebut ternyata luar biasa. Kata Rose, "Ini adalah jenis penderitaan yang menyenangkan karena aku bisa mendapatkan banyak manfaat."

Selain membuat para pemain Spurs tak pernah lelah dalam memburu bola, metode latihan ini juga berguna dalam setiap bangunan serangan Spurs: apa pun formasi yang digunakan, siapa pun pemain yang dipilih oleh Pochettino, entah melalui serangan balik maupun melalui serangan biasa, Spurs tak pernah melakukan serangan secara bertele-tele. Setidaknya, hitung-hitungan Michael Caley dari Five Thirty Eight bisa menjadi bukti.

Menurut analisis Caley, di Premier League musim ini, Spurs memang hanya mampu menciptakan 50 expected goal dari permainan terbuka, di bawah Arsenal, Chelsea, dan Liverpool. Namun dibandingkan tiga tim tersebut, Spurs merupakan tim yang paling sedikit melakukan umpan-umpan yang mengarah atau dilakukan di dalam kotak penalti lawan. Arsenal--yang tingkat expected goal-nya hanya sedikit di atas Spurs--rata-rata melakukan 495 umpan, sementara Spurs hanya 310 kali umpan.

Caley lantas menjelaskan cara Spurs menyerang. "Mereka mampu bermain direct, memberikan umpan ke depan dengan cepat, yang bisa membuat para pemain depannya langsung berhadapan satu lawan satu dengan bek lawan," tutur Caley.

Dengan pendekatan seperti itu, serangan Spurs lantas sulit diduga lawan. Gol-gol Spurs di liga Champions Eropa, termasuk saat menghadapi Manchester City maupun Ajax, sering lahir dengan cara seperti itu. Dan, masih menurut Caley, pendekatan tersebut ternyata juga bisa menjadi keuntungan buat Spurs saat meladeni Liverpool nanti.

"Juergen Klopp harus waspada dengan gaya menyerang Spurs. Jika ia nekat mengambil risiko dengan berusaha memenangi penguasaan bola, anak asuh Pochettino bisa menghukum mereka dengan serangan balasan mematikan," tutur Caley

Peluang Saat Menghadapi Liverpool

Pochettino setidaknya sudah memainkan 10 formasi berbeda pada musim ini. Meski begitu, ia hanya punya dua formasi andalan: 4-4-2 berlian dan 4-2-3-1. Formasi 4-4-2 berlian ia terapkan 11 kali, sedangkan formasi 4-2-3-1 diterapkan sebanyak 13 kali.

Dalam dua formasi andalan tersebut, duet full-back Spurs yang biasanya ditempati Kieran Tripper dan Danny Rose, selalu punya garansi untuk merangsek ke depan. Namun, pendekatan tersebut bakal sangar berisiko jika diterapkan saat melawan Liverpool. Alasannya: Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson, duet full-back Liverpool, adalah senjata utama dalam setiap serangan yang dibangun Liverpool di sepanjang musim ini.

Di Premier League musim ini, Alexander-Arnold dan Andrew Robertson setidaknya sudah terlibat langsung dalam proses 24 gol yang dicetak Liverpool. Rinciannya, Arnold mencetak 1 gol dan mencatatkan 12 assist, sedangkan Roberton mampu mencatatkan 11 assist.

Untuk mendukung kinerja duet full-back Spurs sekaligus untuk membatasi kinerja duet full-back Liverpool, formasi andalan yang mana yang sebaiknya diterapkan Pochettino?

Saat kalah 2-1 dari Liverpool pada September 2018, Spurs bermain dengan formasi 4-4-2 berlian. Karena Spurs hanya mengandalkan Trippier serta Rose untuk bermain melebar, Liverpool lantas mengincar sisi lapangan Spurs untuk melakukan serangan dengan bantuan Alexander-Arnlod atau Robertson maju ke depan. Alhasil, koordinasi lini belakang Spurs berantakan: Toby Alderweireld serta Jan Vertoghen, duet bek tengah Spurs, sering berhadapan dengan 3-4 orang pemain Liverpool sekaligus.

Dari sana, Spurs sebaiknya memilih bermain dengan formasi 4-2-3-1 dalam pertandingan nanti. Pendekatannya: Trippier dan Rose tidak boleh menyerang secara bersamaan. Saat Trippier melonjak ke depan, Rose harus mampu menjadi bek ketiga Spurs yang berdiri sejajar dengan duet bek tengah Spurs.

Cara itu memang akan mengurangi kemampuan Spurs dalam bermain melebar, tetapi Pochettino bisa mengakalinya. Karena full-back Spurs bisa mendapatkan bantuan dari double pivot Spurs--yang kemungkinan akan ditempati Harry Winks serta Moussa Sissoko--. Saat bertahan, Pochettino bisa menginstruksikan penyerang sayapnya untuk tetap berada di depan. Dari situ, saat Alexander-Arnlod atau Robertson maju ke depan, Spurs bisa langsung melakukan serangan direct dari posisi yang ditinggalkan duet full-back Liverpool tersebut.

Itu artinya, Son dan Christian Eriksen, yang kemungkinan besar bermain di sisi kiri dan sisi kanan saat Pochettino menerapkan formasi 4-2-3-1, akan berperan penting dalam setiap transisi serangan cepat yang dilakukan Spurs.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih