Menuju konten utama

Film Hoax: Hoaks Itu Bernama Keluarga

Hoaks bukan fenomena politik semata; ia adalah kenyataan sosiologis.

Film Hoax: Hoaks Itu Bernama Keluarga
Hoax. FOTO/Istimewa

tirto.id - Tak mudah mencari kesatuan karakter estetik dari film-film Ifa Isfansyah. Karya-karyanya bervariasi dari genre, tema, dan gaya, sejak masih memproduksi film pendek (Mayar, Air Mata Surga, Harap Tenang, Ada Ujian!) hingga akhirnya menyutradarai film-film panjang sejak 2009 (Catatan Dodol Calon Dokter, Pesantren Impian, 9 Summers 10 Autumn, Pendekar Tongkat Emas, hingga Sang Penari yang melambungkan namanya di jagat perfilman tanah air).

Keleluasaan jelajah penyutradaraan Ifa kembali muncul dalam film Hoax yang dirilis pada 1 Februari 2018 lalu. Sebetulnya Hoax merupakan film lama Ifa dengan judul asli Rumah dan Musim Hujan (One Day When the Rain Falls). Film ini pertama dirilis pada Desember 2012 dalam ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival sebelum mampir ke festival-festival film internasional.

Mengenai penggantian judul tersebut, produser eksekutif HB Haveen menyatakan kepada Antara: “Saat proses editing, saya melihat film ini lebih pas dengan judul Hoax.”

Mulanya, saya mengira Ifa bakal mengikuti jejak Nayato Fio Nuala hanya karena tampilan poster Hoax yang mirip film-film horor-mistis. Untungnya saya keliru sebab Ifa memang tidak jadi layaknya Nayato. Poster terbaru Hoax adalah gimmick semata yang nampaknya dibuat untuk menegaskan sikap bahwa hoaks merupakan ancaman yang lebih mengerikan daripada setan-setan penguasa kuburan.

Film Hoax menuturkan kisah tentang tiga orang anak dari sebuah keluarga di Yogyakarta: Raga (Tora Sudiro), Ragil (Vino G. Bastian), dan Adek (Tara Basro). Kedua orangtua mereka (Landung Simatupang & Jajang C. Noer) sudah berpisah dan memutuskan tidak tinggal serumah.

Pada suatu malam di bulan Ramadhan, ketiganya berkumpul di rumah sang ayah untuk buka puasa bersama. Setelah jamuan yang hangat sekaligus canggung, masing-masing berpamitan—kecuali Ragil yang memang tinggal bersama sang ayah. Di sinilah, kisah yang sesungguhnya mulai bergulir.

Konflik babak pertama menyoroti Adek yang di tengah perjalanan pulang diperkosa orang tak dikenal. Sesampainya di rumah, Adek kembali mendapati teror yang berbau mistis. Berkali-kali Adek dibingungkan oleh kehadiran sang bunda, yang ia tidak tahu apakah itu ibunya betulan atau tidak.

Masalah selanjutnya menimpa Ragil. Sang ayah selalu menyinggung kapan Ragil punya pasangan. Sebetulnya, Ragil ingin mengatakan bahwa ia sudah punya pasangan. Namun, Ragil tak yakin mengingat pasangannya adalah seorang laki-laki.

Kemudian Raga. Boleh dibilang malam itu berjalan lancar untuknya. Namun, semua perlahan hancur saat Raga ejakulasi tanpa pengaman ketika berhubungan badan bersama pacarnya, Sukma. Setelah diserang ketakutan akan kehamilan yang tak dikehendaki, mantan kekasih Raga tiba-tiba datang mengetuk pintu rumahnya.

Lingkungan Terdekat Memaksa Kita Jadi Hoaks

Hoax, atau hoaks—kata ini begitu populer sebagai kosakata politik beberapa tahun belakangan, seiring munculnya berita-berita bohong yang mempengaruhi hasil Pemilu di berbagai belahan dunia. Kita diajak percaya bahwa hoaks (yang bahan dasarnya adalah kebohongan dan misrepresentasi atas fakta) merupakan fenomena jahat yang sebaiknya disingkirkan dari kehidupan sosial dan proses-proses politik. Namun, adakah politik yang penuh keterusterangan? Lebih jauh lagi, adakah kehidupan sosial yang serba transparan?

Di titik inilah, melalui segala kontras dan ironi dalam Hoax, Ifa Isfansyah memperlebar bahasan hoaks, dari sekadar fenomena politik menjadi kenyataan sosiologis, yang tanpanya keluarga (dan masyarakat) akan sulit bertahan.

infografik film hoax

Di awal cerita, Hoax memperlihatkan suasana hangat-hangat canggung di rumah. Ragil, Adek, Raga, dan ayah saling bertukar cerita dan membayar rindu, seolah dunia di luar sana baik-baik saja. Padahal, masing-masing dari mereka menyimpan masalah dan rahasia.

Begitu narasi bergulir, Hoax memperlihatkan ironi antara pengalaman-pengalaman personal Raga, Ragil, dan Adek di luar rumah dengan situasi percakapan ideal dalam sebuah keluarga—yang bagaimanapun, dalam imajinasi keluarga batin di masyarakat kita, tidak nampak ideal karena perceraian orangtua.

Pemerkosaan yang terjadi pada Adek, mantan pacar Raga yang sering dipukuli suami dan diusir lantaran menolak memakai jilbab, hubungan beda agama antara Raga dan pacarnya, serta percintaan sesama jenis Ragil adalah pengalaman riil yang kerap sulit dibicarakan di meja makan bersama anggota keluarga lainnya, entah karena (asumsi) perbedaan nilai, rasa enggan menyinggung hal-hal sensitif, keinginan menjaga perasaan orangtua, atau takut melanggar sopan santun.

Walhasil, ruang lingkup keluarga (yang dihadirkan Ifa dengan jamuan makan malam) bisa jadi merupakan panggung sandiwara di mana tiap orang berpura-pura menjalani kehidupan yang normal dan aman, karir yang lancar, dan relasi heteroseksual. Dus, keluarga adalah hoaks dan produsen kepalsuan itu sendiri.

Kita sebagai penonton mendapat privilese untuk mengintip kisah masing-masing karakter, tapi tiap karakter (yang dihubungkan oleh pertalian darah) tak tahu apa yang terjadi pada satu sama lain. Rasanya seperti menonton film-film detektif lawas. Kita tahu pembunuhan telah terjadi dan sebuah penyelidikan tengah berlangsung. Namun, pengetahuan yang sempurna tentang pelaku tak dimiliki detektif. Begitu pula si pembunuh, yang belum tentu paham bagaimana proses penyelidikan akan berlangsung dan mengarahkan bukti-bukti kepada dirinya.

Hoaks bernama keluarga itu makin sempurna ketika semua kembali berkumpul untuk sahur dengan air muka yang tenang, bahkan cengar-cengir, kendati teror, perkosaan, dan realitas pahit masyarakat lainnya baru saja dialami masing-masing anak. Penonton dihadapkan pada sebuah kontras antara perilaku anggota keluarga di dalam rumah dan di luar rumah.

Namun, tak seperti film detektif: tak ada masalah yang terpecahkan dalam Hoax, karena memang dasarnya masalah itu tak dibicarakan.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf