Menuju konten utama

Film "22 July": Pembunuhan Massal Melawan Demokrasi di Norwegia

Melalui film "22 July", si sutradara Greengrass ingin menyampaikan bahwa, bukan hanya ada pembunuhan massal, tapi juga usaha untuk membunuh demokrasi.

Film
Poster Film 22 July. FOTO/en.wikipedia.org

tirto.id - Utøya atau "22 July" adalah salah sebuah film bergenre thiller yang diangkat dari kisah nyata, karya sutradara Paul Greengrass, yang tayang pada 10 Oktober 2018 lalu.

Film ini menceritakan tentang peristiwa serangan terorisme yang terjadi di Norwegia pada bulan 22 Juli 2011.

Anders Behring Breivik (Anders Danielsen Lie), seorang fanatik sayap kanan dan anti-Muslim meledakkan sebuah bom di dekat sebuah gedung pemerintah di Oslo.

Breivik menewaskan lebih dari 77 orang. Banyak dari korban adalah remaja yang sedang berkemah di Pulau Kecil Utoya. Ini adalah hari paling berdarah di Norwegia sejak Perang Dunia II.

Dilansir dari The Wrap, sang sutradara, Greengrass tidak berfokus pada saat kejadian berlangsung, namun lebih kepada keadaan menyakitkan yang tersisa setelah kejadian berdarah tersebut.

Greengrass menceritakan proses pembuatan film kepada The Wrap dalam salah satu laporannya. Awalnya, ia membaca kesaksian pengadilan Breivik.

"Dia berbicara tentang bagaimana elit telah mengkhianati kita, demokrasi adalah palsu, kita dipaksa untuk menerima multikulturalisme yang melawan keinginan kita, nasionalisme sedang terkikis, dan sebagainya," kata sutradara Inggris, yang juga menggarap film "Kapten Phillips," dan "United 93."

Saat membaca kesaksian pengadilan tersebut, Greengrass mengatakan bahwa ketika Breivik bangkit dan mengartikulasikan pandangan-pandangan itu pada tahun 2011, mereka dianggap berada di pinggiran wacana politik.

"Saat ini, tidak ada politikus populis sayap kanan yang punya masalah dengan pandangan-pandangan itu. Tentu saja, dan penting untuk mengatakan ini, mereka tidak akan mendukung metodenya. Dan itu artinya tiak ada masalah. Hal yang menakutkan adalah bahwa pandangan dunia ini berada di pusat politik di negara anda, di negara saya dan di seluruh Eropa,” ujar Greengrass.

Hal tersebut menandakan bahwa ada semacam “badai” yang mengancam demokrasi yang berhembus dari Barat.

Itu terjadi karena jutaan orang di seluruh Barat khawatir tentang pekerjaan mereka. Mereka merasa bahwa sistem itu [demokrasi] curang terhadap mereka.

“Yang pasti, Breivik punya pandangan yang mainstream , dan ketika saya mendengarnya, saya benar-benar ingin membuat film ini,” ujar Greengrass.

"22 July" merupakan jenis garapan Greengrass yang berbeda. Meskipun berbahasa Inggris, namun film ini dibuat dengan para pemain dan kru dari Norwegia.

"Saya ingin membuat sebuah film yang tidak begitu kasar [adegan], saya ingin membuat film yang tenang," katanya.

Lebih lanjut katanya, “dan bekerja dengan sekelompok aktor dan kru yang tidak saya kenal sebelumnya. Hal itu semacam memberikan saya ide-ide kreatif."

Hasilnya adalah film yang tenang dan tegas. Tidak berfokus pada serangan teroris, tetapi pada dampak dari serangan yang menyakitkan.

Sebagian besar film yang dibuat mengikuti cara pemerintah Norwegia dan tanggapan pengadilan, serta menceritakan bagaimana para korban bertahan hidup.

"Kisah yang ingin saya ceritakan adalah tentang apa yang terjadi setelah itu, bagaimana Norway berjuang untuk demokrasi dari serangan itu. Karena saya pikir, itulah yang sedang kita hadapi sekarang, bagaimana kita berjuang untuk demokrasi," katanya.

Greengrass mengatakan, kunci untuk membuat film itu adalah mencari tahu persis tujuannya.

"Bioskop punya banyak tujuan yang berbeda. Salah satunya adalah untuk menghibur, tujuan yang mulia. Tapi jelas, bioskop juga bagian dari seni. Banyak sutradara yang membuat film karena obsesi pribadinya," katanya.

Lebih lanjut, kata Greengrass, "saya kira, ini adalah film yang benar-benar masuk ke dalam waktu nyata, mencerminkan keadaan sesungguhnya di dunia. Karena jika sebuah film tidak berhubungan dengan dunia nyata, maka sudah mati."

Greenggrass mengatakan, dalam 100 tahun terakhir, banyak film yang mencoba melihat pada masalah-masalah nyata yang sedang dialami dunia, dan membeberkan kenyataannya pada penonton, dan hal itulah yang coba ia lakukan."

Baca juga artikel terkait SERIAL TELEVISI atau tulisan lainnya dari Sirojul Khafid

tirto.id - Film
Penulis: Sirojul Khafid
Editor: Yandri Daniel Damaledo