Menuju konten utama

Filantropis Dato Sri Tahir Pemilik Grup Mayapada Raih Doktor di UGM

Filantropis Dato Sri Tahir, pemilik Grup Mayapada meraih gelar doktor di UGM.

Filantropis Dato Sri Tahir Pemilik Grup Mayapada Raih Doktor di UGM
Filantropis Dato Sri Tahir meraih gelar doktor dalam bidang Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan dari UGM, Jum’at (30/8). foto/rilis UGM

tirto.id - Filantropis Dato Sri Tahir meraih gelar doktor dalam bidang Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan dari UGM, Jumat (30/8/2019). Pendiri Grup Mayapada ini dinyatakan lulus dengan predikat cum laude.

Tahir mendapatkan gelar doktor usai mempertahankan disertasi berjudul “Studi Ekonomi Kelembagaan dan Kepemimpinan: Studi Kasus Kebijakan Penyelamatan Perbankan pada Saat Krisis Moneter 1997/1998” dalam ujian terbuka program doktor yang berlangsung Jumat (30/8/2019) di Sekolah Pascasarjana UGM.

Ujian terbuka tersebut dihadiri sejumlah tokoh antara lain, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, pendiri dan chairman Lippo Group Mochtar Riady, pendiri Yayasan UPH James T Riady, Jusuf Wanandi, mantan Kapolri Dai Bachtiar, Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, mantan Rektor UGM Dwikorita, dan kalangan pengusaha, profesional, serta pejabat.

Dalam ujian terbuka tersebut dia memaparkan hasil penelitiannya yang menggali berbagai faktor yang memperburuk kondisi sistem keuangan Indoensia pada 1997-1998.

Memakai teori New Institutional Economics (NIE), Tahir melihat kondisi fundamental makro ekonomi dan mikro ekonomi perbankan Indonesia sebelum terjadi krisis moneter turut memengaruhi dan memperburuk keadaan krisis saat itu.

Variabel makro yang dimaksud adalah defisit neraca berjalan, nilai tukar negara, jumlah uang yang beredar, dan investasi langsung. Sementara variabel mikro perbankan antara lain kredit macet Indonesia yang tinggi.

Tak hanya itu, institusi infromasl juga memberikan dampak buruk terhadap efektivitas institusi formal. Institusi infromal yang berkembang di sektor perbankan sejak tahun 1970 dan puncaknya setelah kebijakan paket Oktober 98 adalah maraknya nepotisme, kroniisme, dan korupsi di kalangan bankir dan birokrasi pemerintah. Budaya yang kontraproduktif ini memfasilitasi relasi antar pemerintah dan bankir.

"Akibatnya pemerintah dalam hal ini BI dan BPPN tidak lagi profesional dalam mengontrol sektor perbankan sehingga krisis penyelamatan perbankan tidak efektif untuk memulihkan kesehatan bank," ujar Tahir.

Ditambah dengan lingkungan kelembagaan sektor perbankan tidak menyediakan sistem kewenangan yang kuat kepada lembaga pemegang otoritas moneter dan perbankan sehingga menimbulkan moral hazard. Intervensi politik dan birokrasi terhadap bank sentral dalam mengelola sektor keuangan dan moneter telah melemahkan kapasitas bank sentral dalam memonitoring perilaku bank.

"Kapasitas bank sentral yang lemah ini menyebabkan perilaku moral hazard dalam bentuk pemilihan skim pinjaman luar negeri jangka pendek yang berisiko tinggi dan pengelolaan yang tidak akuntabel," sebutnya.

Menurutnya, tata kelola yang buruk telah menyebabkan hubungan kontrak yang tidak jelas antara pemerintah dan bankir serta meningkatkan biaya transaksi. Sedangkan struktur insentif dalam alokasi sumber daya tidak mendorong kepatuhan bank terhadap aturan formal yang diterapkan.

"Ketidakpatuhan bank-bank penerima program restrukturisasi tidak lepas dari lemahnya aturan formal dalam meyeleksi bank-bank penerima BLBI," ujarnya.

Dia menambahkan, lemahnya kapasitas kepemimpinan baik di pemerintahan maupun bisnis telah menyebabkan pengelolaan perbankan kehilangan prinsip transparansi, profesionalisme, dan prudentialisme.

Akibatnya, pengelolaan perbankan sangat rentan terhadap efek krisis moneter dan memerlukan waktu lama untuk memulihkan kesehatan perbankan.

Baca juga artikel terkait UGM atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Maya Saputri