Menuju konten utama

FFI: Perempuan Korban Perkosaan yang Menang Bersama Marlina

Kemenangan Marlina di FFI 2018 adalah pesan nyaring tentang kesetaraan dan suara perempuan-perempuan berprestasi.

FFI: Perempuan Korban Perkosaan yang Menang Bersama Marlina
Sutradara Mouly Surya dengan memegang piala citra berbicara seusai menerima penghargaan kategori Sutradara Terbaik pada Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2018, di Gedung Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (9/12/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - "Buat semua cewek-cewek yang bermimpi menjadi sutradara, kalian pasti bisa,” kata Mouly Surya. Di tangannya, tergenggam Piala Citra Sutradara Terbaik 2018. “Ini memang bukan stereotipe sutradara,” lanjutnya sambil menunjuk diri sendiri dari atas kepala sampai setengah badan. “Tapi, bukan berarti kalian tidak bisa,” tambahnya.

Maksud Mouly, seorang perempuan tak mesti berambut pendek atau memakai setelan jas hitam—seperti penampilannya malam itu—supaya bisa jadi sutradara dan menang sebagai yang terbaik dalam festival film. Ia bilang, perempuan harus percaya diri, karena “Kalian pasti bisa!”

Mouly menang atas karyanya Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (selanjutnya disebut Marlina), sebuah film yang menceritakan perjalanan seorang perempuan korban perkosaan, dalam mencari keadilan. Tokoh utamanya, Marlina, diperankan dengan cemerlang oleh Marsha Timothy yang juga diganjar Piala Citra sebagai Pemeran Utama Perempuan Terbaik untuk film yang sama.

Dalam Marlina, Mouly membungkus sebuah problema besar dengan cara yang sangat segar. Perempuan Marapu asal Sumba itu diceritakan pernah hamil, tapi keguguran. Ia juga pernah bersuami, lalu jadi janda. Bahkan dalam babak pertama film itu, Marlina diperkosa, tapi berhasil memenggal kepala pemerkosanya.

Sang tokoh utama tampil sebagai simbol perempuan etnis, dari kelas bawah, tidak berpendidikan, dan tinggal di daerah terpencil. Singkatnya, kelompok masyarakat marjinal yang tak tahu kalau nasibnya ditindas sistem yang masif dan terstruktur. Yang membuatnya Marlina berbeda: ia hanya yakin jika keadilan atas hal yang menimpanya harus ditegakkan.

Meski telah mengakhiri nyawa para perampok dan pemerkosanya, Marlina tetap ingin dunia tahu kalau kebebasannya sudah dikangkangi—bahwa dendamnya harus dituntaskan.

Pesan kesetaraan dan narasi tentang beratnya beban hidup perempuan nyalang berkoar dalam Marlina. Mouly membingkai perempuan sebagai sumbu utama film ini, sementara laki-laki adalah kebisingan yang menghantui mereka. Premis itu diukirnya tebal-tebal. Para perempuan dalam film-film itu selalu ditampilkan gagah berani, sementara para laki-lakinya tolol dan cemen.

infografik marlina

Kritik terhadap budaya patriarki yang sering kali menempatkan perempuan jadi warga kelas dua direkam Mouly dengan rapi, dingin, tapi tetap tajam. Tak heran kalau film ini jadi yang paling terdepan dalam memborong nominasi sekaligus jadi pembawa Piala Citra terbanyak dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2018.

Selain Mouly dan Marsha, Marlina juga menyabet penghargaan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, Skenario Asli Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penata Suara Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, dan bahkan Film Terbaik.

Buat Mouly sendiri, ini Piala Citra keduanya sebagai sutradara terbaik, setelah sebelumnya berhasil jadi perempuan pertama yang menang di kategori itu selama FFI ada.

Kemenangan Mouly, seorang sutradara perempuan, jadi lebih gemilang karena memang filmnya merekam perjuangan penyintas perkosaan. Sepuluh piala yang diraih Marlina pun terasa jadi pesan nyaring yang hadir di FFI 2018. Sebab, tahun ini kasus kekerasan seksual memang jadi salah satu isu paling disoroti.

Mulai dari kasus pemerkosaan Agni (bukan nama sebenarnya) di Universitas Gadjah Mada (UGM), kriminalisasi pada korban pelecehan Baiq Nuril, Frisca (nama samaran), korban perkosaan anggota DPRD di Sumba Barat, dan sejumlah kasus pelecehan seksual di kampus yang ditemui Tirto, termasuk kasus Lara di Bali.

Para penyintas kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang secara statistik memang mayoritas perempuan mulai berani bicara. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2018, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 25 persen dari 259.150 kasus pada 2016 menjadi 348.446 kasus pada 2017. Penanganan kasus yang tak pernah beres dan perlakuan tak adil pada korban juga jadi pasal yang bikin banyak pihak geram.

Sehari sebelum acara penganugerahan FFI, 8 Desember, ratusan orang dari berbagai golongan bahkan melakukan pawai akbar menuntut disegerakannya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual di Jakarta. Regulasi hukum yang selama ini ada dianggap masih belum ramah bagi korban dan perlu diperbaiki lewat RUU tersebut.

Kemenangan Marlina di FFI bisa jadi momentum pengingat bahwa perjuangan para korban dan penyintas belum tuntas. Betul, bahwa isu ini memang sudah mengapung ke permukaan dan jadi perbincangan arus utama. Namun, ketidakadilan masih terjadi: ketidakadilan yang diinterpretasi Mouly dalam perjalanan Marlina ke kantor polisi sambil menenteng kepala buntung.

Di pengujung pidato kemenangannya, Marsha Timothy menyebut khusus nama Egi Fedly, pemeran pemerkosanya di dalam Marlina. Mungkin kalimatnya terdengar seperti sedang bercanda, tapi terselip makna kuat dan tajam di sana.

Katanya, “Thank you, Bang Egi. For making me so cool holding your head.”

Baca juga artikel terkait FFI 2018 atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf