Menuju konten utama
20 September 1946

Festival Film Cannes di Antara Pesta Pora dan Aksi Politis

Layar berkelas.
Ganjaran kualitas 
di palem emas.

Festival Film Cannes di Antara Pesta Pora dan Aksi Politis
Ilustrasi Cannes Film Festival. tirto.id

tirto.id - Festival Film Cannes lahir dari kejumawaan. Ia bisa menjadi besar berkat kecongkakan yang muncul dari perannya sebagai penghubung, pencetak, pencetus, sekaligus penentu standar bagus atau buruknya film, pantas atau tidaknya sineas mengepakkan sayapnya di jagat layar perak.

Hal-hal semacam itu bahkan sudah tampak sejak festival tersebut diselenggarakan pertama kali pada 20 September 1946, tepat hari ini 72 tahun silam.

Kendati kebesarannya sebagai festival film sudah melegenda—yang lantas ditetapkan para pegiat film menjadi tolak ukur keberhasilan karier mereka—Cannes tak luput dari kesalahan dan dekadensi gagasan. Dua faktor itu kerap mengiringi perjalanan Cannes, dari zaman baheula sampai sekarang.

Semua gula-gula di atas terangkum dalam satu nama: Palme d’Or.

Melawan Propaganda Fasis

Lahirnya Cannes adalah wujud perlawanan atas propaganda fasis Benito Mussolini.

Pada 1938, mengutip David Scott Diffrient, profesor kajian media dan film dari Colorado State University, dalam “From Nazis to Netflix, The Controversies and Contradictions of Cannes” yang dipublikasikan The Conversation (2017), diplomat Perancis Philippe Erlanger, kritikus film René Jeanne, serta Menteri Pendidikan dan Seni Nasional Jean Zay datang ke Festival Film Venice. Kedatangan mereka dimaksudkan untuk memenuhi undangan dari pemerintah Italia.

Namun, gelaran Venice bikin mereka tak nyaman. Alasannya, ketiga orang ini menjadi saksi bagaimana film-film pro-fasis dari Italia dan Jerman macam Olympia atau Luciano Serra, Pilota memenangkan penghargaan tertinggi di ajang Venice. Ketidaknyamanan mereka—atau bisa dikata kemuakan—kian menjadi-jadi saat film anti-perang garapan Jean Renoir, The Grand Illusion, disambut secara tak hangat.

Sepulang dari Italia, mereka pun berinisiatif membikin festival film yang, dalam bayangan Erlanger, “bebas dari intervensi pemerintah maupun propaganda politik” serta “murni dibuat untuk merayakan seni.”

Ide tersebut lalu terlaksana pada 1 September 1939 usai memperoleh persetujuan dari Kementerian Pendidikan Perancis. Nama acaranya: Le Festival International du Film.

Sayang, wacana Erlanger urung terlaksana karena di waktu bersamaan Jerman menginvasi Polandia. Acara Le Festival terpaksa gulung tikar usai film pertama garapan William Dieterle, Quasimodo, diputar.

Setelah Perang Dunia II berakhir, komitmen Erlanger untuk menghidupkan festival film kembali membuncah. Pemerintah Perancis agak keberatan mengingat mereka tidak punya alokasi dana untuk mengongkosi rencana Erlanger. Akhirnya disepakati: festival film dapat terealisasi asalkan dibiayai dengan patungan. Pada 20 September 1946, festival diadakan.

Hajatan pertama Cannes menjadi medan tampilnya film-film yang kelak menyabet status klasik, seperti Rome, Open City besutan Roberto Rossellini hingga Notorious garapan Alfred Hitchcock.

Menariknya, idealisme Erlanger buat mewujudkan “festival yang betul-betul bicara soal seni” perlahan menyatu dengan arus komersialisasi produk-produk Hollywood yang saat itu menarik perhatian masyarakat Perancis.

Pada 1959, Menteri Kebudayaan Perancis André Malraux menyerukan pembentukan “pasar film internasional.” Tujuannya: memperkuat daya tarik Cannes secara komersial. Malraux mulai mengumpulkan pekerja di industri film, memperluas jaringan, hingga menjadi penengah kesepakatan antara produser dan sutradara.

Gelagat pemerintah ke arah komersialisasi film itu juga yang kemudian mendorong lahirnya gerakan French New Wave. Sebutan itu adalah predikat untuk eksperimen-eksperimen sinematik di luar tradisi sinema Perancis yang berbasis adaptasi sastra dan digunakan untuk menandai generasi baru pembuat film yang berambisi mengubah wajah perfilman di dalam negeri.

French New Wave melahirkan sosok-sosok macam François Truffaut sampai Jean-Luc Godard dengan deretan karya yang kental nuansa pencarian akan gaya realis. Karya-karya mereka juga mampu mengartikulasikan kegelisahan sosial dan politik pada zamannya.

Momen Terbaik: 1968

Paris, Mei 1968, panas. Jutaan buruh dan puluhan ribu mahasiswa Sorbonne turun ke jalan menentang kebijakan pemerintahan konservatif Charles de Gaulle yang tak pro-rakyat, kapitalisme global, sampai Perang Vietnam. Bentrok dengan aparat tak terhindarkan, korban berjatuhan. Perancis, singkat kata, mengalami periode brutal dengan ketakutan akan pertumpahan darah, ancaman perang sipil, serta pertikaian tak berkesudahan antara faksi kiri dan kanan.

Situasi serupa tak cuma melanda Perancis, tapi juga di kawasan Eropa secara keseluruhan. Di negara-negara lain, kritikan dan protes ditujukan pada kediktatoran dan birokratisme partai (Eropa Timur) atau elitisme partai (Eropa Barat).

Kondisi kacau ini berdampak pula pada hajatan Cannes. Sedianya, catat Variety, Cannes edisi ke-21 (1968) dijadwalkan pada 10 sampai 24 Mei. Namun, sekelompok pekerja film yang dimotori Truffaut, Godard, Claude Berri, Claude Lelouch, sampai Louis Malle meminta Cannes dibatalkan. Alasannya: pihak festival harus bersolidaritas kepada demonstran yang turun di jalanan Paris.

“Saya berbicara tentang dukungan kepada mahasiswa dan buruh. Dan kalian masih saja membahas adegan tembakan dan close-up?” kata Godard waktu itu dengan berapi-api.

Tapi, penyelenggara festival tetap bergeming. Direktur Cannes, Robert Favre Le Bret, menilai festival harus terus berlangsung dan lepas dari politik—atau dengan kata lain huru-hara yang terjadi di luar—karena acara ini dihadiri banyak produser dari luar Perancis.

Sikap Cannes membuat Godard dan konco-konconya murka. Berdasarkan laporan Bilge Ebiri dalam "The Day They Canceled Cannes" (2018), pada 18 Mei, tatkala Peppermint Frappe diputar, mereka memaksa menghentikan jalannya film. Adu fisik pun tak bisa dihindarkan. Alih-alih jadi arena apresiasi film, Cannes malah jadi arena baku hantam.

Guna mencegah suasana semakin parah, pihak mahasiswa dan festival bertemu. Kesepakatan pun diteken: festival dibatalkan. Dari yang semula ada 28 film yang bakal diputar, hanya 11 yang bisa ditayangkan.

“Saya tahu bahwa banyak orang akan mencela kami mengenai kejadian di Cannes,” ungkap Truffaut. “Tetapi, saya juga tahu bahwa berhari-hari kemudian, ketika tidak ada pesawat, tidak ada lagi kereta api, tidak ada rokok, tidak ada layanan telepon, dan tidak ada bahan bakar, festival akan dianggap sebagai cemoohan yang luar biasa jika terus berjalan.”

Infografik Mozaik Cannes Film Festival

Boikot dan Aksi Politis

Terlepas dari agenda politis yang termaktub dalam gerakan 1968, tuntutan boikot Cannes yang dilakukan Godard dan sineas lainnya sebetulnya turut menyasar situasi krisis di ranah film Perancis itu sendiri. Mereka dibuat geram dengan serangkaian kebijakan pemerintah yang dinilai blunder.

Misalnya saja, ketika Menteri Malraux memecat Henri Langlois, kepala Cinematheque Francaise, yang dihormati. Atau saat para sineas ini menganggap Center du Cinema Francaise, lembaga film Perancis, lebih peduli akan prospek film-film box office dibanding tradisi kualitas, yang kemudian berdampak pada menjamurnya film-film komersial AS di Perancis.

Boikot Cannes membawa dampak perubahan yang signifikan. Langlois mendapatkan pekerjaannya kembali. Center du Cinema Francaise jadi lebih inklusif. Kemudian dibentuk Societe des Realisateurs de Film yang ditujukan untuk melindungi kepentingan para pembuat film.

Dari segi pengelolaan Cannes sendiri, beberapa perubahan juga dicapai. Mulai gelaran 1969, Cannes punya Quinzaine des Réalisateurs, atau biasa dikenal Directors’ Fortnight, sebuah festival paralel di samping Cannes yang bebas dan independen.

Cannes, pada akhirnya, adalah festival film yang kaya sejarah. Tak cuma berbicara soal film, Cannes juga menyentil dinamika politik, sosial, gerakan massa, yang sampai sekarang dirayakan sebagai pesta pora sineas di seluruh dunia.

Baca juga artikel terkait FESTIVAL FILM atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan