Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Fenomena Pindah Partai Jelang Pemilu 2024, Apa Untung Ruginya?

Imam menilai politikus kutu loncat muncul karena melihat probabilitas untuk menang. Parpol hanya dilihat sekadar kendaraan kekuasaan.

Fenomena Pindah Partai Jelang Pemilu 2024, Apa Untung Ruginya?
Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

tirto.id - Fenomena pindah partai di Indonesia menjadi hal lumrah menjelang pemilu. Tak sedikit nama-nama populer maju sebagai calon anggota legislatif dari parpol berbeda setiap gelaran pemilu, misalnya Venna Melinda yang memutuskan bergabung dengan Partai Perindo.

Perpindahan Venna Melinda ke Perindo merupakan yang ketiga kalinya selama ia berkarier dalam dunia politik. Putri Indonesia 1994 itu pertama kali terjun ke politik dengan menjadi calon anggota legislatif dari Partai Demokrat. Ia pun masuk parlemen dua periode, yaitu 2009-2014 dan 2014-2019.

Namun, pada 2018 atau menjelang Pemilu 2019, Venna Melinda memutuskan hengkang dari Demokrat dan berlabuh di Partai Nasdem. Alasan pindah partai karena saat itu ia mendukung Joko Widodo, sementara Demokrat mendukung rivalnya, yaitu Prabowo Subianto.

Pada Pemilu 2019, Venna Melinda kembali maju sebagai caleg dari daerah pemilihan yang sama, yaitu Dapil Jatim VI (Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten dan Kota Blitar). Akan tetapi, ia gagal lolos ke parlemen.

Jelang Pemilu 2024, Venna Melinda kembali pindah partai dan menyatakan maju kembali sebagai calon anggota DPR RI. Lewat Partai Perindo, ia akan maju dari Dapil Jatim VI. Dengan kata lain, meski maju dari dapil yang sama, tapi selalu pakai kendaraan parpol berbeda.

Contoh lainnya adalah Wanda Hamidah. Perempuan kelahiran Jakarta, 21 September 1977 ini pernah menjadi anggota DPRD DKI 2009-2014 dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, ia dipecat PAN karena mendukung Jokowi-JK pada Pemilu 2014, sementara PAN mengusung Prabowo-Hatta Radjasa.

Pada Pemilu 2019, Wanda maju kembali sebagai anggota legislatif dari Partai Nasdem. Akan tetapi, ia gagal masuk ke Senayan lewat daerah pemilihan DKI Jakarta. Jelang Pemilu 2024, Wanda kembali aktif di dunia politik dengan bergabung dengan Partai Golkar. Ia dikukuhkan sebagai kader di tengah acara HUT Golkar yang digelar pada 20 Oktober 2022.

Selain nama Venna Melinda dan Wanda Hamidah, tentu masih banyak figur populer lainyang pindah parpol jelang Pemilu 2024. Dua di antaranya adalah Muhammad Zainul Majdi atau TGB dan R Mardi Hardjono alias Sang Alang. TGB pindah dari Golkar ke Perindo, sementara Sang Alang --pencipta lagu 2019 Ganti Presiden—memutuskan meninggalkan Gerindra dan gabung Demokrat.

Penyebab Fenomena “Kutu Loncat”

Berdasarkan catatan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pada Pemilu 2019 terdapat 31 anggota DPR yang memutuskan pindah parpol. 20 dari 31 orang tersebut pindah ke Partai Nasdem. Sementara 11 lainnya tersebar ke enam parpol, yakni Golkar, Gerindra, PKB, PAN, PKS, dan Partai Berkarya.

Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam tidak memungkiri bahwa faktor pragmatisme juga menjadi alasan kemunculan politikus “kutu loncat.” Ia beralasan, kader kutu loncat muncul karena melihat probabilitas untuk menang.

“Motifnya adalah motif dasarnya adalah soal pragmatisme politik bagaimana parpol dilihat sekadar sebagai kendaraan kekuasaan,” kata Imam kepada reporter Tirto.

Imam juga tidak memungkiri bahwa alasan tidak mendapat peran di partai lama sebagai faktor utama kader menjadi “kutu loncat.” Mereka yang tidak dapat posisi kemudian memilih pindah sebagaimana pandangan pragmatisme.

“Bagi caleg, ini kalau bicara pragmatisme mereka akan selalu survive, tetapi kalau dari sisi ideologi tentu patut dipertanyakan,” kata Imam.

Imam menegaskan, partai yang ditempati kader kutu loncat akan mengalami masalah. Partai ini harus menyesuaikan kembali diri organisasi mereka, sementara mereka sudah memiliki kader yang berproses.

Di sisi partai yang ditinggalkan, hal itu akan menunjukkan partai gagal mengelola dan mengkader sesuai ideologi partai. “Ini bisa dikatakan pengelolaan partai dari sisi kaderisasi dan ideologisasi kader gagal,” kata Imam.

Sementara di sisi lain, publik akan menilai kandidat sebagai kutu loncat dan tidak punya pendirian. Namun, publik bisa saja permisif selama kepentingan pendukung diakomodir oleh kandidat kutu loncat tersebut.

“Bagi rakyat tentu ada plus minusnya. Jika dia bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat, apa pun partainya tentu tidak begitu masalah, tetapi kalau kemudian sekadar mendapat kekuasaan, tentu menjadi masalah," kata Imam.

Analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengakui, fenomena kutu loncat partai masih ada. Ia sebut penyebabnya banyak faktor. Pertama adalah ketidaksesuaian antara pandangan kader dengan platform partai. Hal itu tidak dipungkiri kerap terjadi jelang pergantian kekuasaan.

“Sama dengan kita, misal kita kerja di satu kantor, kalau kita sudah tidak nyaman, pasti kita akan mencari kantor yang lain. Sama, berpartai juga. Berpartai kalau sudah tidak nyaman pasti akan pindah ke partai lain dan itu memang biasanya, fenomenanya jelang pemilu, menjelang kontestasi politik, jelang perebutan kekuasaan,” kata Ujang.

Faktor kedua, kata Ujang, adalah harapan. Kandidat tersebut pindah partai karena melihat harapan bisa terpilih sebagai anggota DPR serta punya peran besar di partai. Kandidat itu membandingkan kondisi di partai saat ini yang mungkin kurang difungsikan dan dihargai lewat perannya. Ketika pindah, ia akan sekuat tenaga mendapatkan jabatan, dalam hal ini kursi legislatif.

Faktor lain adalah soal pragmatisme. Figur tersebut hanya melihat benefit dari pindah partai. Ketika ia melihat peluang, maka tidak tertutup kemungkinan kandidat alias si kutu loncat pindah.

"Di mana ada peluang, di situ ada harapan, di situ ada kesempatan yang lebih baik, ya dia keluar dan berjuang di tempat barunya tersebut," kata Ujang.

Ujang menambahkan, permasalahan pragmatisme berkaitan dengan kondisi partai. Sikap partai yang menerima kutu loncat juga memicu kandidat rela pindah parpol dan berlabel 'kutu loncat'.

"Jadi pragmatisme ada, lebih dominan ketika pindah-pindah partai tersebut dan ini fenomena umum yang terjadi di figur yang menjadi kutu loncat maupun di partai-partai politik dan penerimaan partai politik juga kan biasa-biasa saja, enggak ada yang nolak. Mereka terima-terima saja," tutur Ujang.

Ujang menegaskan, ada beberapa faktor partai akhirnya rela menerima kutu loncat. Penerimaan itu karena figur tersebut sudah memiliki modal, baik popularitas maupun finansial.

Ujang menilai, fenomena kutu loncat bukan masalah jika ditilik dari sisi kenyataan politik. Hal ini tidak lepas dari kondisi politik Indonesia yang mengedepankan pragmatisme dan simbiosis mutualisme. Namun, jika melihat secara etika politik, hal tersebut tidak baik.

"Secara etika politik enggak bagus, tapi di politik jarang menggunakan etika dan dilakukan ya perjuangan pragmatisme tadi itu," tutur Ujang.

Ujang menambahkan, "Jadi kalau secara politik bagus, baik partainya, [maupun] calegnya, dia akan mati-matian berjuang di partai yang baru dan partai baru akan mendapat efek popularitas dan efek elektoral."

Apa Dampaknya?

Ujang menegaskan fenomena kutu loncat tidak akan membawa dampak buruk politik. Sebab, kondisi masyarakat Indonesia permisif dalam berbagai masalah seperti korupsi.

Kasus korupsi dan kutu loncat ini menjadi hal lazim sehingga tidak ada penekanan bahwa hal tersebut melanggar. Padahal, kata Ujang, jika berbicara etika politik, aksi kutu loncat adalah etika kurang pas dalam fenomena politik.

"Mestinya ada dampak buruknya, ada hukuman atau sanksi sosial dari masyarakat, tapi faktanya enggak. Faktanya mereka yang kutu loncat, publik figur yang terkenal, yang populer dan banyak uang juga terpilih di partai barunya," kata Ujang.

Sikap permisif publik membuat para kutu loncat bisa tetap melenggang ke posisi strategis seperti anggota DPR. Hal ini semakin kuat karena rakyat memilih bukan berdasarkan visi, misi atau program, melainkan kedekatan personal.

"Rakyat sebenarnya gak diuntungkan. Kerugiannya, ya karena mestinya para kutu loncat berjuang di partai dan konsisten untuk membangun aspirasi rakyat, tetapi dia pindah partai dan masyarakat perlu adaptasi kembali," kata dia.

Ujang yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menambahkan, kemunculan kutu loncat menandakan fungsi dan kaderisasi partai gagal.

"Jadi partai politik yang kaderisasi enggak jalan, tadi fungsi-fungsi partai enggak ada yang jalan, kelembagaan partai politik juga. Itu sebenarnya yang terjadi, sehingga ya siapapun bisa masuk partai manapun dengan suka-suka dengan kepentingan masing-masing, apalagi punya uang," kata Ujang.

Ujang menilai, masalah kutu loncat harus diselesaikan. Ia menilai fenomena ini bisa dihentikan jika DPR menggunakan wewenang mereka untuk mengubah aturan demi mencegah politikus kutu loncat. Namun, hal itu sulit terjadi karena partailah yang mengisi kursi di DPR dan mereka tidak mau kehilangan benefit tersebut.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz