Menuju konten utama

Fasis yang Baik adalah Fasis yang Tobat

Life After Hate menawarkan solusi untuk kembali ke jalan anti kekerasan.

Fasis yang Baik adalah Fasis yang Tobat
Christian Picciolini (kiri) dan Shannon Martinez saat masih berafiliasi dengan organisasi skinhead rasis satu dekade lalu. FOTO/Alex Picciolini/AP

tirto.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya bersikap terhadap aksi kekerasan yang terjadi di Charlotesvile. Meski telat dua hari, Trump menyebut bahwa aksi kejahatan yang dilakukan atas nama kebencian ras adalah hal yang buruk. "Rasisme itu jahat, dan mereka yang menyebabkan kekerasan atas namanya adalah kriminal dan bajingan - termasuk KKK, neo-nazi, kelompok suprematis kulit putih, dan kelompok kebencian lainnya yang berlawanan dengan segala nilai yang kita pegang teguh sebagai orang Amerika," kata Trump.

Sebelumnya satu orang tewas dan 35 lainnya luka-luka setelah demonstrasi berujung rusuh terjadi di Charlottesville, Virginia Sabtu (12/8). Demonstrasi damai ini merupakan respon dari aksi kaum nasionalis kulit putih memprotes rencana merobohkan patung seorang jenderal Konfederasi, kubu pro-perbudakan semasa Perang Saudara AS (1861-1865). Dua kubu demonstran ini bentrok dan sebuah mobil ditabrakkan ke kerumunan manusia oleh kelompok suprematis.

Heather Heyer, perempuan berusia 32 tahun menjadi korban tewas setelah ditabrak oleh pendukung nazi dan fasis, ungkap Kepala Kepolisian Charlottesville Al Thomas seperti dikutip Reuters. Korban luka-luka bervariasi, dari yang luka parah sampai ringan. Pengemudi kendaraan yang menabrakan diri ke kerumunan massa itu berhasil diidentifikasi sebagai James Alex Fields Jr dan didakwa dengan tuduhan melakukan pembunuhan tingkat dua, alias pembunuhan yang telah diniatkan namun tidak direncanakan.

Baca juga:

Trump dikritik oleh sejawatnya sendiri dari Partai Republik karena menolak mengecam kelompok penyebar kebencian dari ekstrem kanan. Namun Jaksa Agung Jeff Sessions menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut bersumber dari kefanatikan dan kebencian rasial. "Karena itulah mereka telah mengkhianati nilai-nilai fundamental kita dan itu tak bisa ditolerir," ujar Sessions. Beberapa tim pengusaha yang dibentuk oleh Trump menyatakan mengundurkan diri sebagai protes diamnya Trump terhadap aksi terorisme ini.

Bagaimana sebenarnya aksi kekerasan dan terorisme domestik yang dilakukan kelompok kanan di Amerika Serikat?

Riset dari Southern Poverty Law Center (SPLC), menyebut bahwa kelompok supremasi kulit putih lebih banyak bertanggung jawab daripada mereka yang mengaku melakukan atas nama Islam. Heidi Beirich dari SPLC mencatat bahwa ada 68 plot dan serangan teroris di Amerika di bawah pemerintahan Obama, enam di antaranya dilakukan oleh mereka yang mengaku muslim, sementara sisanya dilakukan oleh orang kulit putih. "Faktanya adalah wajah dari terorisme domestik di negara ini (Amerika Serikat) sejak lama dilakukan oleh kulit putih," kata Heidi.

Laporan lain yang disusun lintas lembaga federal di bawah Government Accounting Office (GAO), menyebutkan bahwa sejak September 2001 angka kematian akibat kelompok sayap kanan meningkat tiga kali lipat ketimbang korban aksi-aksi kelompok teroris muslim. Dari 85 kekerasan yang terjadi sejak 12 September 2001, kelompok sayap kanan bertanggung jawab untuk 62 kasus sementara kelompok ekstremis muslim 23 kasus. Namun pemerintah Obama maupun Trump mengabaikan statistik ini dan bersikeras untuk melawan terorisme atas nama Islam alih-alih teroris domestik.

Lantas bagaimana cara mengatasi kelompok sayap kanan dan neo-nazi di Amerika? Mungkin Life After Hate (LAH) bisa menjadi jawaban. Organisasi LAH lahir dari upaya para mantan pendukung neo-nazi dan Ku Klux Klan (KKK) untuk melawan kekerasan serta kampanye kebencian kelompok kanan. Organisasi ini didirikan oleh Angela King, Tony McAleer, Christian Picciolini, dan Sammy Rangel. Tiga orang dari pendiri organisasi ini merupakan mantan anggota kelompok radikal yang melakukan kekerasan terbuka kepada kelompok minoritas kulit hitam dan Yahudi Amerika.

Christian Picciolini misalnya adalah salah seorang anggota neo-nazi terkenal di Amerika Serikat. Pada usia 14 tahun Picciolini direkrut oleh kelompok fasis Chicago Area Skinheads (CASH) oleh Clark Martell, dua tahun kemudian Martell yang pendiri CASH masuk penjara. Picciolini kemudian memimpin CASH pada usia 16 tahun dan bergabung ke Hammerskins, kelompok supremasi kulit putih yang kejam. Picciolini juga kerap menghadiri band punk fasis White American Youth (W.A.Y.) dan band penyebar kebencian Final Solution.

Pada 1996 setelah menyadari ada yang salah dari gerakan fasis yang ia jalani, Picciolini menyatakan keluar. Picciolini, dalam wawancara dengan Upworthy, menyebut bahwa pada mulanya ia bergabung dengan kelompok sayap kanan karena ingin diakui. Ada perasaan bahwa ia ingin jadi jagoan dan bisa menaklukan dunia. “Di kelompok ini kami diajarkan menyerang orang lain untuk mempertahankan diri. Dan kami melakukan itu, menyerang orang lain,” katanya.

Pada usia 19 tahun, kelahiran anak pertama Picciolini membuat pandangan hidupnya berubah sama sekali. Ia yang pada mulanya penuh kebencian dan kemarahan tiba-tiba merasakan cinta dan ingin menyebarkannya. Dalam keadaan gamang itulah ia membuka toko musik yang menjual album dan merchandise musik-musik rasis kulit putih. Di sana ia bertemu dengan orang Afrika Amerika, Meksiko, dan mulai berdialog. Pada 2010 ia mendirikan Life After Hate, organisasi yang fokus pada advokasi damai dan melawan ekstremisme. Salah seorang rekan awalnya adalah Arno Michaels, salah seorang pendiri gerakan Neo Nazi terkenal di Amerika, yang juga tobat.

infografik neo nazi bertobat

Tidak hanya Picciolini dan Arno Michaels, pendiri Life After Hate lainnya adalah Tony McAleer, seorang anggota neo-nazi dan koordinator the White Aryan Resistance (WAR). McAleer juga pernah menjadi manajer band rasis Odin's Law. McAleer, yang tak percaya Holocaust benar-benar terjadi, tersohor karena sering berkelahi di jalanan. Pada 1990an McAleer semakin disegani karena secara terbuka kerap melakukan aksi-aksi jalanan dan membuka layanan hotline untuk kaum suprematis kulit putih.

Sebagai seseorang yang lahir di keluarga katolik, McAleer menyatakan ia punya banyak pertanyaan di benaknya. Menjadi nakal adalah upaya McAleer mencari perhatian khalayak, namun alih-alih dirangkul ia diasingkan oleh kawan-kawannya di sekolah khusus Methodist di Inggris. Setelah mengalami banyak kekerasan, ia menemukan teman-teman baru di kelompok skinhead yang mengajarinya cara berkelahi dan membenci. Tapi semuanya berubah saat putrinya lahir pada 1991. McAleer merasakan perubahan dan kegamangan karena aksi-aksi keji yang ia lakukan selama ini takut terjadi pada anaknya.

Pada 1995, saat anak kedua McAleer lahir, ia pun semakin bimbang. Aktivitas seperti mabuk, berkelahi, memaki, menyebar kebencian, dan melakukan kekerasan membuatnya tak nyaman. Ia dilanda cinta yang luar biasa besar kepada dua buah hatinya, sehingga memutuskan untuk keluar dari kelompok kebencian. McAleer lantas bergabung dengan kelompok hak asasi manusia dan menemukan jalan lain, dari ekstrem kanan ke kemanusiaan.

Life After Hate menjadi rumah bagi banyak orang, termasuk 75 orang yang pernah berafiliasi dengan kelompok suprematis kulit putih dan akhirnya menemukan jalan damai. Tidak hanya menangani bekas-bekas anggota neo-nazi dan KKK, Life After Hate banyak membantu mereka yang merasakan kebencian rasial untuk mencari tahu apa sumber kebencian ini. Life After Hate juga diberi kesempatan oleh Google untuk menyebarkan ide-ide perdamaiannya pada 2011 dalam sebuah pertemuan di Dublin. Di sana mereka berbagi dengan mantan kombatan Kolombia, mantan mujahidin, hingga bekas diktaktor untuk merumuskan jalan terbaik merangkul orang-orang fasis.

Baca juga artikel terkait FASISME atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Windu Jusuf