Menuju konten utama
Misbar

Farzi: Drama Kriminal Sarat Kritik Sosial dari Orang-Orang Kalah

Farzi sukses menjadi serial India terlaris sejauh ini. Selain aksi, ia juga dibumbui kritik sosial yang jeli dan akting ciamik para aktornya.

Farzi: Drama Kriminal Sarat Kritik Sosial dari Orang-Orang Kalah
Poster Serial Farzi (2023). (FOTO/Dok. Prime Video)

tirto.id - Ketimpangan pendapatan sanggup menggelapkan mata, memicu individu terjun ke dunia kriminal, dan tak pernah kembali lagi. Begitulah ide yang mendasari serial Farzi (dalam bahasa Hindi berarti palsu).

Farzi merupakan serial kreasi Raj Nidimoru dan Krishna D.K. (atau Raj & DK) yang juga berlaku sebagai sutradara dan produser seluruh episode. Ditayangkan di Amazon Prime Video sejak Februari lalu, Farzi kini menyandang status sebagai serial India terlaris.

Serial ini berada di semesta yang sama dengan The Family Man (2019), judul lain kreasi duet filmmaker asal Andhra Pradesh tersebut. Kendati demikian, ia bisa sepenuhnya diikuti tanpa menonton judul yang bikin Raj & DK angkat nama itu terlebih dulu.

Masih membawakan tema kriminal dengan komedi dan unsur thriller, Farzi mengambil latar di Mumbai, India, dalam formula klasik perburuan kriminal. Kisahnya berangkat dari Sunny (Shahid Kapoor), seorang seniman andal tapi miskin, yang insecure dengan status sosio-ekonomi pacarnya yang out of the league. Dia pun mesti menyelamatkan bisnis Kranti Magazine, koran milik kakeknya.

Sebagai bagian dari kalangan ekonomi lemah, Sunny tak punya banyak peluang pula jalan keluar untuk mengatasi berbagai masalah. Maka Sunny menggamit sahabatnya, Firoz (Bhuvan Arora), untuk menjalankan bisnis uang palsu. Kemampuan berdagang Firoz dipadukan dengan skill seni dan imitasi Sunny yang tak dimiliki para pencetak uang palsu lainnya.

Keduanya lantas beradu dengan Michael (Vijay Sethupathi), polisi pemburu pengedar uang pulsa yang memanggul cela dan isu pribadi—kehausan akan pengakuan publik, terutama istrinya.

Dengan protagonis yang terlibat terorisme finansial dan polisi yang terobsesi memburunya, Farzi digarap layaknya kisah heist ataupun mobster. Memang tak ada yang benar-benar baru darinya, selain kenyataan bahwa Farzi menekankan betul latar pemantik terperciknya kelindan kisah kriminal ini.

Komentar Sosial yang Jeli

Kisah seseorang yang terjun ke dunia hitam demi menyelamatkan bisnis dan hidup orang terdekatnya saja mungkin tak cukup. Untungnya, Farzi menempatkan bagian terpentingnya di permulaan episode, yaitu ketika Sunny dan Firoz diculik sindikat besar. Mulai dari titik itu, serial ini menjadi cukup menarik untuk diikuti kelanjutannya.

Urusan lain yang membuat serial ini tetap menarik adalah komentar sosialnya.

Sedari mula, ia menunjukkan kondisi dunia kerja yang tak adil. Senja kala media cetak, karya seni yang tak bakal pernah dihargai bila tak datang dari pelukis terkenal, dan tentunya jenis kriminal yang lahir dari dunia seperti ini.

Itu semua disampaikan dengan bagaimana dua sahabat Sunny dan Firoz menertawakan kemiskinan diri melalui dialog-dialog yang kadang klise, tapi juga lucu dan telak. Ia dipenuhi lines dan dialog yang memancing untuk dijadikan bahan meme atau gambar reaksi, yang juga berselaras dengan self-deprecating-nya kaum milenial.

Buah pikiran yang sama mendorong Sunny untuk mengambil risiko lantaran lelah menjadi sosok insignifikan. Membuka jalannya menjadi pencetak-pengedar uang palsu kecil-kecilan dan kemudian mengantarnya terlibat ragam kerja sama dan konflik dengan pemain besar di kancah uang palsu, seperti Mansoor (Kay Kay Menon), atau dalam kusutnya kisah personal dengan Megha (Raashii Khanna).

Petualangan dunia hitam itu tak pernah lepas dari Farzi sebagai komentator isu sosial. Potret suram India, atau bisa jadi negara miskin dan berkembang pada umumnya, dijabarkan ke dalam banyak aspek.

Adagium “jika diberi kesempatan, kita semua pencuri” mungkin kelewat menggeneralisasi. Namun, Farzi menunjukkannya. Orang-orang ricuh berebutan uang palsu yang ditebar Sunny & Firoz di jalanan. Lain waktu, massa tak kalah ricuhnya berebutan merampok uang dari orang yang tewas di rel kereta.

Pegawai negara korup atau petugas perbatasan bisa disogok. Kepolisian apa lagi. Pada satu sisi, mereka berdalih bahwa tingkat kriminalitas kelewat tinggi, sementara mereka sendiri kekurangan tenaga. Di lain sisi, Sunny mencak-mencak di kantor polisi lantaran rakyat sebagai pembayar pajak harus memohon-mohon meminta kemurahan hati hanya agar polisi melakukan tugas mereka.

Sementara itu, para birokrat tak betul-betul peduli dengan isu di akar rumput. Karakter Menteri Keuangan digambarkan bak karikatur seorang pejabat boomer yang gila eksposur. Sialnya, hampir semua gambaran itu cukup akurat dengan kondisi kita hari ini.

Dan pastinya jangan lupakan kritik akan macetnya jalanan Mumbai, yang menjadikan aksi kejar-kejaran mereka tak ubahnya adegan dalam film komedi.

Buntutnya, segala persoalan itu bermuara pada karakter seperti Sunny. Dia berulang kali mencoba untuk menyesali perbuatan kriminalnya, tapi gagal. Alih-alih, Sunny justru menganggap dirinya membantu perekonomian. Baginya, mencetak lembaran rupee ilegal tak ubahnya bakti sosial.

Itu seolah menyatakan secara tersirat bahwa dia hanyalah satu dari sekian banyak individu yang memanfaatkan lubang dalam sistem yang sedari awal sudah jelek dan tak pernah adil.

Festival Orang Kalah

Membuat uang palsu ini membuat kau jadi orang palsu juga” jadi gagasan utama narasi Farzi. Ketamakan mengantar kiprah Sunny dan Firoz menuju petaka, menuju penyelesaian pada finale season perdana Farzi.

Itu sekalian menjadi awal baru, sebagai pengantar untuk season kedua yang mungkin bakal menyuguhkan kelanjutan Sunny vs Mansoor sekaligus menguak potensi para atasan Mansoor yang jauh lebih berkuasa.

Dari dua anak di stasiun, penceritaan Farzi menempuh jalan menuju kusutnya cara kerja dunia, ketergantungan pada mereka yang kaya akibat bisnis ilegal, hingga melibatkan intrik politik dari petugas partai berkuasa dan oposannya. Dari dua anak di stasiun yang tumbuh dan bergumul dengan hidup, jadi para pemuda yang menempuh jalan penuh darah di pengujung kisah.

Dari seorang antihero menjadi kisah origins sesosok villain, sejauh ini. Penceritaan yang juga sayangnya mesti dilewati dengan cukup banyak ganjalan.

Farzi memaparkan bisnis peredaran uang palsu dengan begitu merinci. Dari pengerjaan detail uang dan bahannya hingga distribusi di baliknya. Padahal, itu bisa saja jadi kurang menarik bagi sebagian penonton yang mengharapkan lebih banyak aksi.

Di luar soal uang, ia juga kadang tak cukup menarik. Cukup mudah memprediksi hubungan Sunny dan Megha bahkan ketika para aktornya baru tampil di layar. Gamblangnya (dan suksesnya) cara Sunny mendekati Megha pun bisa dibaca sebagai upaya penulisan yang tak cukup mementingkan pada bagaimana plot-plotnya terjalin dengan rapi. Begitu pun hubungan kedua karakter yang lebih mirip relasi dalam opera sabun.

Banyak segmen yang mestinya bisa dipangkas. Seperti berlarutnya kisah rumah tangga Michael yang tak menghadirkan banyak fungsi untuk plot utama. Begitu pun perbincangan antara Sunny dan Yasir ataupun kakeknya yang terasa berulang dan tak signifikan.

Infografik Misbar FARZI

Infografik Misbar FARZI. tirto.id/Fuad

Farzi bersikeras untuk membuat sebagian besar karakternya sebagai orang kalah. Porsi untuk kisah pribadi Michael barangkali bisa dialihkan pada latar karakter seperti Mansoor—yang kendati kerap mendapat tekanan dari atasannya, tapi tak pernah benar-benar terasa bobotnya.

Konflik-konflik sampingannya kadang kurang memikat dan mendalam. Di beberapa titik, penuturan yang disampaikan tidak linier dan malah jadi membingungkan. Dan itu semua disajikan dalam tempo yang kelewat variatif—menjadikan beberapa episodenya terasa menjemukan.

Beberapa bagian akting, terutama dari karakter sampingannya, kadang terasa kurang meyakinkan. Meski begitu, ada akting-akting cukup meyakinkan dari Shahid Kapoor sebagai antihero dari kelas pekerja. Dia terkesan cukup alami memerankan karakter berlatar kelas menengah ke bawah. Begitu juga dengan para aktor yang screentime-nya tinggi, seperti Vijay Sethupathi dan Bhuvan Arora.

Bila ada episode yang terasa menjemukan, ini lantaran adanya episode yang bisa dikategorikan sebagai titik-titik terbaik dalam serialnya. Ambil contoh saat Sunny dan Firoz mesti membeli kapal di Oman—serial ini mengambil banyak latar di luar India, seperti Oman, Jordan, dan Nepal—di mana hadir pula karakter sampingan yang mengesankan seperti Captain Taal dan Svetlana dalam kisah penyelundupan yang seru dengan skala lebih besar.

Bagian aksinya memang salah satu poin terbaik Farzi. Entah itu pengejaran, penggerebekan, hingga “perang” penutupan rute maupun saling sadap dari kedua pihak. Semua itu ditunjang score oleh Ketan Sodha dan lagu-lagu yang mengesankan suasana berbeda dari kisah thriller pada umumnya oleh Sachin–Jigar dan Tanishk Bagchi.

Sinematografinya bisa dikatakan memadai untuk sebuah serial populer. Ditampilkan dengan gambar dan penyuntingan penuh gaya, dengan split screen yang berulang kali diterapkan demi menunjukkan proses maupun keterkaitan antarkarakter. Begitu pun warna-warna dan pilihan gambar-gambarnya yang cukup mengesankan saat aksi bergeser dari riuhnya Mumbai.

Bisa dimaklumi bila ada penonton yang tak hendak melanjutkan Farzi setelah beberapa episode atau bagiannya. Namun secara keseluruhan, ia adalah hiburan drama kriminal yang dikemas dengan layak dan cukup menghibur.

Baca juga artikel terkait SERIAL TV atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi