Menuju konten utama

Faldo Maldini dan Wonderkid Politik di Indonesia

Faldo adalah wonderkid politik di Indonesia dan dia adalah satu contoh yang mau bergumul tanpa terpaku pada satu partai.

Faldo Maldini dan mereka yang pernah dianggap "wonderkid" dalam politik Indonesia. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, sosok politikus muda ini kerap mendominasi pemberitaan.

Di layar kaca, ia hadir dalam banyak acara perdebatan politik. Sementara di media sosial, cuitannya acap memantik kontroversi. Di Partai Amanat Nasional, tempat awal ia menempa pengalaman politik praktis, namanyalah yang paling menonjol, kendati di sana juga ada 58 politikus muda lain.

PAN merupakan kendaraan politik yang dipilihnya untuk menjadi anggota parlemen dari kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagaimana tertuang dalam surat resmi pada 3 Oktober 2019. Keputusan itu diketahui media dari sosok ini sendiri dalam surat resmi itu. Dan, belakangan, ketika kabar ia keluar dari PAN, publik bertanya: ke mana wonderkid ini akan berlabuh?

Ya, dia adalah Faldo Maldini.

Sosok kelahiran 9 Juli 1990 ini sejak kuliah sudah menunjukkan niat serius dalam berpolitik. Faldo, misalnya, dikenal aktif dalam dakwah kampus, lalu bergabung dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, organisasi mahasiswa muslim yang lahir pada era reformasi.

Setelah lulus dari Universitas Indonesia, Faldo melanjutkan karier politik dengan bergabung bersama partai politik. Adalah Partai Keadilan Sejahtera yang jadi tujuannya. Namun, langkah ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan Faldo.

"Kalau yakin kepada calon-calon pemimpin masa depannya, PKS harus kasih tempat setelah mereka lulus. Tapi ternyata tidak. Akhirnya saya harus menciptakan jalan saya sendiri," ujar Faldo seperti dilansir BBC.

Langkah Faldo mulai lempang saat ia kuliah pascasarjana di Inggris. Salah satunya ia sukses mengalahkan Ray Zulham Farras Nugraha dalam perebutan kursi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Inggris pada 2013.

Ray adalah anak Zulkifli Hasan alias Zulhas, saat itu Ketua MPR. Kompetisi dengan Ray inilah yang membuka jalan Faldo masuk di PAN. Zulhas, saat itu menjabat Ketua Umum PAN, menaruh harapan kepada Faldo.

Bahkan Faldo yang dinilai sosok politikus milenial ini sempat disebut oleh Zulhas sebagai calon Wali Kota Padang, yang akan diusung PAN pada 2018. Saat itu Faldo sudah menjabat Wakil Sekretaris Jenderal PAN.

Faldo mengafirmasi kabar itu. Meski begitu, ujar Faldo, PAN hendak mencari kader muda yang bisa melenggang ke DPR dan ia menjadi salah satu andalan partai tersebut, kendati pada akhirnya gagal.

Kegagalan Faldo menjadi caleg menimbulkan pertanyaan: Ia mau menapaki karier politiknya sebagai apa? Ia telah menjawab pertanyaan itu dalam suratnya: “Ingin fokus dalam proses pencalonan kepala daerah, sebagaimana yang sudah diatur mekanisme dalam Undang-undang”.

Budiman, Muhaimin, Khofifah...

Faldo tidak sendiri. Banyak politikus milenial seumurnya yang bernasib sama, malah lebih parah.

Sebut saja Giring ‘Nidji’ Ganesha dari Partai Solidaritas Indonesia yang gagal menjadi anggota DPR tahun ini karena partainya gagal mencapai ambang batas perolehan suara. Giring tidak terdengar lagi gaungnya saat ini.

Indonesia memiliki beberapa politikus muda yang diharapkan menjadi "pemimpin masa depan." Ada yang bernasib sama seperti Faldo atau sedikit lebih beruntung, meski akhirnya mentok dan tak berpengaruh dalam mengambil kebijakan.

Salah satunya Budiman Sudjatmiko, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Dengan pengalaman turut mendirikan Partai Rakyat Demokratik menjelang keruntuhan Orde Baru, Budiman dikenal aktivis yang tangguh. Ia pernah melakukan protes dengan cara mogok makan saat dalam penjara akibat tuduhan subversif. Setelah hukumannya selesai pada 1999, Budiman melanjutkan sekolah di London. Sekembalinya ke tanah air, ia bergabung dengan PDI-P pada 2004.

Meski demikian, karier politik Budiman tak lantas berujung baik.

Ia hanya berhasil menjadi anggota DPR selama 10 tahun. Setelah itu, ia kandas dan beralasan tak terlalu serius mengikuti kompetisi Pileg 2019.

Nasib Budiman berbeda jauh dengan Puan Maharani, putri Megawati: anggota DPR -> Ketua DPP PDIP -> Menteri -> Ketua DPR; yang semua itu hanya perlu waktu 10 tahun.

“Orang harus beberapa tahun di PDIP untuk masuk ke DPP. Kami hormati rule itu," ujar Budiman saat bergabung dengan PDIP, seperti dilansir Tempo.

Meski menyadari sulit mengembangkan karier politik di PDIP, Budiman memutuskan tetap bertahan hingga sekarang.

Faldo dan Budiman, dalam beberapa hal, memiliki kemiripan. Selain kedua orangtuanya bukan politikus, mereka terjun ke dunia politik pada usia muda. Bedanya, Faldo memilih berpetualang dengan berpindah parpol. Sementara Budiman tetap berdiam pada satu partai, untuk saat ini.

Nasib berbeda ditunjukkan Muhaimin Iskandar, yang menjabat Ketua Umum PKB selama 19 tahun.

Perkenalan Muhaimin dengan dunia politik diawali karena aktivitasnya dalam organisasi mahasiswa. Ia menjadi Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia periode 1994-1997.

Setelahnya, dalam usia 32 tahun, cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama ini didapuk menjadi Sekretaris Jenderal PKB periode 1998 sekaligus sekjen pertama partai bentukan NU tersebut. Belum purna tugasnya, ia kemudian dipilih partainya untuk menjadi Wakil Ketua DPR 1999-2004 dan 2004-2009.

Dalam autobiografi Melanjutkan Pemikiran & Perjuangan Gus Dur (2010), salah satu kader PKB, Umaruddin Masdar, pernah memprediksi jika Gus Dur kelak akan menjadikan Muhaimin sebagai pemimpin PKB di masa mendatang.

Prediksi itu benar, memang. Namun, sejak Muhaimin menjabat sebagai posisi Ketua Umum PKB, karier politiknya seolah mandek. Itulah kenapa sosok yang sekarang berumur 53 tahun ini belum bisa mencicipi kursi presiden atau bahkan sekadar calon presiden.

Nama Muhaimin hanya pernah diprediksi oleh beberapa lembaga survei sebagai calon wakil presiden Jokowi pada Pilpres 2019. Namun, kita tahu bagaimana hasil akhirnya: pendaming Jokowi adalah Ma’ruf Amin, Kiai NU dan Ketua Majelis Ulama Indonesia.

Satu lagi wonderkid masuk politik waktu seumur jagung adalah Khofifah Indar Parawansa.

Setelah lulus kuliah pada 1991, Khofifah memutuskan terjun ke dunia politik. Setahun berikutnya, Khofifah terpilih menjadi anggota DPR plus Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan periode 1992-1997. Usianya saat itu 27 tahun.

Sama seperti Muhaimin, Khofifah pernah menjabat Wakil Ketua DPR pada 1999. Saat berusia 34 tahun, Gus Dur mengajaknya untuk mengisi posisi menteri di kabinetnya. Khofifah juga yang mengubah nama Menteri Peranan Wanita dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan. Karier Khofifah mulai berubah ketika menjadi Gubernur Jawa Timur dalam Pilkada 2018.

Pilihan Khofifah menjadi pemimpin negara sama sekali tidak keliru, mengingat kariernya hanya mandek di DPR dan pengurus partai. Kini namanya lebih dikenal publik dan bukan sebagai politikus muda kompeten saja, tetapi bakal capres 2024 mendatang. Seperti yang telah disampaikan oleh Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, Januari 2019:

"Ketum Muslimat NU Gubernur Jatim, Capres RI 2024-2034, Ibu Hj Khofifah Indar Parawansa."

Infografik Wonderkid Overrated

Infografik Wonderkid Overrated. tirto.id/Sabit

Sebab Kegagalan dan Strategi Selanjutnya

Para politikus muda sebagaimana di atas sebenarnya punya awal modal politik yang lumayan. Budiman, misalnya, selain sebagai aktivis, juga menimba ilmu di luar negeri. Namun demikian, Megawati memiliki pandangan lain.

“Demokrasi kita masih muda, Budiman. Masyarakat kita masih agraris dan heterogen. Kamu perlu terjun lagi ke bawah. Kenali lagi masyarakat Indonesia. Kelilinglah dan temui mereka,” kata Megawati seperti kenangan Budiman dalam bukunya berjudul Anak-anak Revolusi Buku 2 (2014)

Tak hanya itu, Megawati memberi Budiman tugas lain, yang belum berhasil ditunaikannya:

“Coba kamu bantu, Budiman. Khususnya bantu untuk mengonsolidasikan kekuatan ini [anak muda]. Bukan hanya kader-kader di dalam PDI Perjuangan, melainkan orang-orang nasionalis pengikut Bung Karno yang ada di luar partai. Orang-orang yang ingin Indonesia konsisten mencapai cita-cita kemerdekannya.”

Sedangkan Muhaimin, sejak bertikai dengan Gus Dur pada 2005, karier politiknya menjadi tak keruan. Meski tetap berkuasa atas PKB, jalan menuju kursi presiden kian bertambah terjal. Ada ketidaksetujuan serius dari kalangan Gusdurian dan loyalis Gus Dur lain jika Cak Imin jadi pemimpin negara.

Sebagai contoh, Muhaimin pernah ditolak ketika hendak memperingati haul Gus Dur di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Padahal, salah satu poin kemenangan Jokowi-Amin pada Pilpres 2019 juga karena dukungan Gusdurian.

Sementara itu, Khofifah masih punya peluang untuk mengembangkan karier politik, termasuk menjadi presiden sekali pun. Berkaca dari presiden perempuan pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri, tantangan utamanya adalah menghapus stigma soal laki-laki tak bisa dipimpin perempuan.

Pada 2004, pemikiran pragmatis soal perempuan tak bisa memimpin laki-laki masih melekat. Politikus Partai Solidaritas Indonesia sekaligus kader NU, Mohamad Guntur Romli dalam Nahdlatul Ulama: dinamika ideologi dan politik kenegaraan (2010), menulis bahwa fatwa ini dikeluarkan dari ulama-ulama yang mendukung pencalonan Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, saat itu sebagai cawapres Wiranto.

Penolakan itu ramai terjadi di Jawa Timur. Dengan melihat konteks sosio-historisnya, tepat belaka keputusan Khofifah menguasai Jawa Timur terlebih dulu.

Selain Faldo, masih banyak anak muda yang mungkin saja berhasil meraih kepercayaan publik dan bisa menikmati kursi empuk di parlemen. Beberapa di antara mereka memang tidak bisa dilepaskan dari nama besar keluarganya.

Misalnya saja Puteri Komarudin, politikus Partai Golkar, anak dari Ade Komarudin, mantan Ketua DPR. Ada juga Hillary Brigitta Lasut dari Partai NasDem, putri Bupati Kepulauan Talaud, Elly Engelbert Lasut.

Dalam komposisi DPR kali ini, setidaknya ada 66 anggota dari generasi Milenial. Berbeda dengan Faldo yang lebih dulu populer karena kiprahnya di media sosial, ke-66 orang ini baru ramai menjadi perbincangan setelah menembus parlemen. Faldo kini kembali ke Padang, kampung halamannya, setelah gagal di Bogor.

Strategi itu bisa jadi tepat. Berkaca dari satu pengalaman: politikus terakhir yang semula amat populer di kampung halamannya kini berhasil menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Baca juga artikel terkait PILKADA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Eddward S Kennedy