Menuju konten utama

Faktor yang Buat Istana Yakin Pertumbuhan Ekonomi Jadi 5,3% di 2020

Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Ekonomi, Arief Budimanta menjelaskan sejumlah hal yang membuat pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi 2020 naik jadi 5,3 persen.

Faktor yang Buat Istana Yakin Pertumbuhan Ekonomi Jadi 5,3% di 2020
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) memimpin rapat terbatas tentang percepatan pembangunan di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/7/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.

tirto.id - Istana optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan berada di angka 5,3 persen. Sejumlah faktor pun dianggap akan menjadi penopang kenaikan pertumbuhan ekonomi.

“2020 kita punya asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN 2020 5,3 persen, maka kemudian ada beberapa faktor eksternal yang kemudian akan menopang sehingga kemudian kita bisa tumbuh baik di tahun 2020,” kata Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Ekonomi, Arief Budimanta, di Istana Negara, Senin (10/2/2020).

Arief mengatakan, faktor pertama banyak suku bunga negara maju seperti Jepang, Amerika, dan Eropa turun. Penurunan suku bunga membuat ada capital inflow ke Indonesia.

Hal itu, kata Arief, berkaitan dengan suku bunga acuan Indonesia di angka 5 persen. Kemudian, suku bunga obligasi Indonesia kini rata-rata 7 persen dengan termin waktu 10 tahun.

"Ini adalah faktor eksternal yang sebenarnya kondisinya cukup baik untuk mendorong perekonomian Indonesia sepanjang kita dapat memanfaatkannya seperti yang dikatakan selalu Pak Presiden," kata dia.

Menurut Arief, beberapa langkah lanjutan untuk merealisasikan ide tersebut adalah dengan mempermudah berusaha di level birokrasi di tingkat daerah dan pusat.

Kedua, kata Arief, adalah membaiknya harga komunitas. Ia mencontohkan kenaikan harga minyak kelapa sawit dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Di sisi lain, kata politikus PDIP ini, ada juga risiko-risiko yang harus dihadapi dalam mengejar kenaikan pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi mitra dagang.

Arief mengatakan, situasi ekonomi Indonesia yang angka pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02 persen lebih baik dibanding negara Turki yang sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen menjadi -2,54 persen atau Cina yang menargetkan naik dari 8 persen, tetapi kini terperosok di angka 6,1 persen.

Namun, kontribusi perdagangan Cina dalam perdagangan Indonesia secara keseluruhan memengaruhi hingga 17 persen. Pemerintah pun mencari solusi dengan membangun hubungan ekonomi ke negara lain seperti Australia.

“Itu yang melandasi salah satu arahan presiden yang kemudian kita mengarahkan ekspor itu ke pasar-pasar non-tradisional sebagai sebuah harapan kalau ini Australia ada semacam buat action plan 5 tahun ke depan dalam kerangka komprehensif partnership agreement kita harapkan dapat memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dengan Australia," kata Arief.

Faktor negatif yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah lemahnya aktivitas perdagangan dan investasi global. Kemudian beberapa isu internasional seperti perang AS-Iran, perang dagang Cina-AS, Brexit hingga isu Corona bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pemerintah akan mengontrol belanja langsung dengan memanfaatkan bahan yang tersedia di dalam negeri.

Selain itu, kata Arief, pemerintah juga mendorong belanja pemerintah yang mendukung konsumsi masyarakat seperti penyaluran dana desa dengan konsep 40 persen di awal, 40 persen di tengah dan 20 persen di akhir.

“40 persen ini diharapkan kemudian dapat dicairkan didistribusikan di Q1 dan diarahkan bukan hanya penyaluran saja tapi pemanfaatannya pada sektor padat karya," kata Arief.

Dari sisi internal, kata Arief, situasi kondusif pasca-Pemilu 2019, penandatanganan RPJMN 2020-2024 dianggap menjadi pemicu positif di Indonesia.

Ia juga mengatakan, peningkatan nilai mata uang rupiah serta peningkatan infrastruktur dan sumber daya manusia lewat program wajib belajar 12 tahun dan program Indonesia pra-kerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Faktor pendorong lain yang kita harapkan juga timbul adalah Omnibus Law yang sekarang lagi proses nantinya dibahas bersama-sama dengan DPR baik Omnibus Law yang terkait bidang cipta kerja maupun yang terkait dengan perpajakan," kata Arief.

Dari sisi risiko, kata Arief, pemerintah mewaspadai El-nino dan La-nina yang akan memengaruhi produksi Indonesia. Kemudian isu kebakaran hutan dan lahan juga berpotensi mengganggu produksi Indonesia.

"Risiko lain potensi keterlambatan peraturan perundang-undangan dari Omnibus Law. Peraturan bukan hanya konteks pemerintah tapi juga respons dari peraturan-peraturan daerah. Ini harus dikerjakan kolaboratif bukan hanya pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah diharapkan sama-sama agar faktor risiko dapat diminimalisasi," kata Arief.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz