Menuju konten utama
Kekerasan Seksual

Fakta-Fakta Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULM Banjarmasin oleh Polisi

Bayu Tamtomo, polisi pelaku pemerkosaan divonis rendah pada 11 Januari 2022, tapi korban baru mengetahuinya 12 hari kemudian.

Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Minggu, 23 Januari 2022, sekitar pukul 20.00 WITA, Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mendapat laporan dari mahasiswa perihal dugaan pemerkosaan yang dialami oleh salah satu mahasiswa Fakultas Hukum ULM atas nama VDPS. Hal itu diketahui dari unggahan di akun Instagram milik korban, ia menceritakan masalah perundungan yang ia hadapi.

Pihak kampus segera menghubungi korban dan membentuk Tim Advokasi Keadilan untuk VDPS guna memberikan pendampingan hukum. Lantas pada 24 Januari, tim advokasi bersama Wakil Rektor 3 ULM, Dekan FH ULM, dan segenap pimpinan FH ULM beraudiensi dengan pihak Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, Polresta Banjarmasin, dan Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Kalimantan Selatan.

Tim Advokasi Keadilan menemukan beberapa fakta. “Korban melaksanakan program magang resmi dari Fakultas Hukum ULM selama satu bulan pada Satuan Reserse Narkoba Polresta Banjarmasin, tanggal 5 Juli-4 Agustus 2021 dan dalam kesempatan itu korban berkenalan dengan Bripka BT,” kata Dekan Fakultas Hukum ULM Abdul Halim Barkatullah, dalam keterangan tertulis, Selasa (25/1).

BT adalah Bayu Tamtomo, anggota Sat Res Narkoba Polresta Banjarmasin.

Temuan berikutnya yakni pelaku berulang kali mengajak korban jalan-jalan, tapi selalu ditolak korban. Pada 18 Agustus 2021, pelaku kembali mengajak korban bepergian, tapi korban terpaksa menurutinya. Bayu menjemput korban menggunakan mobil, kemudian dalam perjalanan, pelaku mengajak korban untuk ke hotel namun korban emoh.

Pada perjalanan itu pun Bayu memberikan minuman energi yang dicampur anggur merah yang telah dibuka. Akibatnya korban lemas, sehingga pelaku mengangkutnya ke sebuah hotel di KM 6 Banjarmasin. Karena lemas, Bayu membawa korban ke kamar menggunakan kursi roda. Di kamar itulah diduga korban dua kali diperkosa si polisi.

Proses hukum berlanjut, pelaku didakwa Pasal 286 dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 tahun atau Pasal 290 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 7 tahun. “Padahal menurut kami, pelaku lebih tepat diterapkan Pasal 285 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 12 tahun,” kata Abdul Halim.

Berdasar dakwaan, jaksa menuntut pelaku dengan dakwaan Pasal 286 KUHP dengan tuntutan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan alias di bawah separuh ancaman maksimum. Terhadap tuntutan jaksa, Majelis Hakim menyatakan Bayu melanggar Pasal 286 KUHP dan memvonisnya 2 tahun 6 bulan kurungan, seperti tercantum pada Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 892/Pid.B/2021/PN BJM.

Kini korban mengalami trauma berat dan dalam pendampingan psikolog guna memulihkan kejiwaannya. Tim advokasi pun menemukan kejanggalan perkara, antara lain:

Pertama, kasus berlangsung sejak Agustus 2021, tapi tidak satu pun ada pemberitahuan dari pihak berwenang kepada pihak universitas maupun fakultas sebagai penyelenggara program magang, lantaran pelaku dan korban berada dalam tempat kerja yang sama.

Kedua, tidak ada pendampingan hukum terhadap korban, tapi hanya pendampingan secara psikologis oleh dinas terkait. Hal ini mengakibatkan proses hukum tidak dikawal optimal.

Ketiga, persidangan berlangsung sangat cepat, yakni sidang pertama pada 30 November 2021 dan sidang vonis pada 11 Januari 2022. Artinya persidangan dilakukan dalam waktu 31 hari kerja atau 43 hari kalender.

Keempat, dalam tuntutannya, jaksa mencantumkan Pasal 286 KUHP, sementara tim advokasi berpendapat seharusnya jaksa mencantumkan Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan dengan ancaman hukuman yang lebih berat. Penyidik dan jaksa tidak menggunakan ketentuan Pasal 89 KUHP yang merupakan perluasan makna ‘kekerasan’ dalam Pasal 285 KUHP.

Kelima, pada saat pembacaan putusan tanpa dihadiri oleh korban, jaksa langsung menyatakan menerima dan menolak saat tim advokasi meminta upaya banding yang akan berakhir 25 Januari. Keenam, hakim menjatuhkan hukuman yang sangat ringan, yakni pidana penjara 2 tahun 6 bulan dari 7 tahun ancaman maksimum dalam Pasal 286 KUHP. Artinya hukuman yang dijatuhkan hakim kurang lebih seperempat dari ancaman maksimum, tepatnya 27,7 persen.

Tim Advokasi pun mendesak agar Polri melakukan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada Bayu. Kini Polda Kalimantan Selatan masih mengusut perkaranya secara internal.

“Masih proses oleh Bidang Profesi dan Pengamanan,” kata Kabid Humas Polda Kalimantan Selatan Kombes Pol Mochamad Rifa’i, ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (25/1/2022). Ketika dipertegas perihal masih pemeriksaan internal dan belum ada sidang etik, Rifa’i membenarkannya. “Iya.”

Namun, Kapolresta Banjarmasin Kombes Pol Sabana A Martosumito memastikan Bayu sudah dipecat. Sabana mengatakan Bayu sudah menjalani sidang etik di Polda Kalimantan Selatan dengan putusan pemberhentian tidak dengan hormat terhitung sejak Desember 2021.

Pernyataan Kapolresta Banjarmasin tersebut bertolak belakang dengan Kabid Humas Polda Kalimantan Selatan saat dikonfirmasi Tirto. Rifa’i sebut masih dalam proses pemeriksaan internal, tapi Sabana klaim Bayu sudah dipecat sejak Desember 2021.

Macan Kertas

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berujar pihaknya menyesalkan dan mengecam tindakan kekerasan seksual yang dilakukan Bayu terhadap VDPS, serta mengapresiasi korban yang berani melaporkan dugaan pemerkosaan, karena untuk bisa mengadukan dibutuhkan keberanian yang luar biasa.

“Sangat ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa Bripka BT, kami berharap Jaksa Penuntut Umum melakukan banding agar setidaknya ada sedikit rasa keadilan bagi korban,” ujar dia kepada reporter Tirto, Selasa (25/1/2022).

Kompolnas berharap jika pelakunya polisi yang seharusnya menegakkan hukum dan bisa melindungi korban, tapi malah berbuat keji pada korban, maka terdakwa seharusnya dijatuhi hukuman maksimal dengan ditambah pemberatan, kata Poengky.

“Yang bersangkutan (Bayu) sudah disidangkan Komisi Kode Etik Polri dan diputus PTDH, tetapi yang bersangkutan justru melakukan perlawanan, oleh karena itu kami berharap putusan banding terhadapnya tetap menguatkan PTDH,” terang Poengky. Untuk mencegah kejahatan serupa terulang lagi, maka sanksi hukum berat bagi pelaku diharapkan akan menjadi efek jera.

Selanjutnya penting ditingkatkan sensitivitas gender pada para anggota Polri agar lebih menghormati perempuan, seperti melalui contoh teladan pimpinan, pendidikan/kursus, dan pengawasan dari pengawas internal.

Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berkata putusan pengadilan sudah ada, tapi sejak awal hukuman etik dan disiplin harus diterapkan.

“Apalagi saat ini sudah ada putusan dari pengadilan, artinya memang Kapolda harus melakukan pemberhentian tidak dengan hormat sesegera mungkin,” ucap dia kepada reporter Tirto.

Agar hukuman etik dan disiplin di internal Polri memberikan efek jera, kata dia, maka harus konsisten. Tanpa konsistensi, sambung Bambang, aturan dan hukum akan jadi ‘macan kertas’.

Kejanggalan Informasi

Redaksi Tirto mengakses situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Banjarmasin, Selasa (25/1/2022), sekira pukul 12.00, untuk mencari detail perkara kasus ini. Ketika mengetikkan nama terdakwa di kolom pencarian, hasilnya ialah muncul nomor perkara 892/Pid.B/2021/PN Bjm, dengan Penuntut Umum Seliya Yustika Sari, dan terdakwa Bayu Tamtomo, serta tanggal registrasi perkara yakni 17 November 2021 berklasifikasi ‘Kejahatan.

Namun ketika situs serupa diakses pada Rabu (26/1/2022), pukul 8 pagi, terjadi perubahan. Di situ hanya tertulis nama Seliya Yustika Sari selaku Penuntut Umum, tapi nama terdakwa ‘Disamarkan’. Ketika mengakses kolom ‘Data Umum’, nama Seliya dan Bayu ‘Disamarkan’, pun dakwaan, serta kasus itu tidak dipublikasikan. Pada kolom ‘Putusan’ tertulis 11 Januari 2022 sebagai tanggal putusan.

Berikut isi putusan:

  1. Menyatakan terdakwa Bayu Tamtomo bin Sumardi bersalah melakukan tindak pidana “bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya”;
  2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Bayu Tamtomo bin Sumardi dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan;
  3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
  4. Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan;
  5. Menetapkan barang bukti berupa: 1 (Satu) lembar baju kaos kuning berkerah merek IEBE GIRL; 1 (Satu) lembar celana jeans warna hitam size 30 merek MARLCATH; 1 (Satu) buah BH warna hitam size 36/80; 1 (Satu) buah celana dalam warna hitam LYDYLY size L.
  6. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Selanjutnya, jika Anda mengetikkan nama Seliya Yustika Sari di kolom pencarian, maka bakal terpampang bahwa dia adalah Penuntut Umum dalam kasus narkotika yang nomor perkaranya 920/Pid.Sus/2021/PN Bjm. Terdapat pula dua nama terdakwa Jayadi alias Jabul bin Jamrani dan Siad Fadillah Ba’asim alias Said bin Mardiansyah Ba’asim. Lengkap pula isi dakwaan.

Pada 25 Januari, tim advokasi mendapatkan informasi bahwa Seliya Yustika Sari sebagai Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan banding kasus Bayu Tamtomo kepada Pengadilan Negeri Banjarmasin. Hal itu diperkuat oleh Akta Pernyataan Banding Nomor: 02/Akta.Pid.B/2022/PN Bjm. Seliya menghadap kepada Panitera Pengadilan Negeri Banjarmasin Iyus Yusuf.

Dalam dokumen itu ditulis “Bahwa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum banding telah melewati tenggang waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang.”

“Padahal, Senin, 24 Januari, kami berkunjung ke Kejaksaan Tinggi dan bertemu Jaksa Penuntut Umum (Jaksa I Alfa Fauzan, namanya tidak muncul di situs Pengadilan Negeri dan di berkas) yang bersangkutan menyatakan bahwa kasusnya sudah inkrah karena jaksa menyatakan menerima putusan hakim,” aku Erlina, Ketua Tim Advokasi sekaligus Wakil Dekan 3 Fakultas Hukum Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Lambung Mangkurat, kepada reporter Tirto, Rabu (26/1/2022).

Korban mengunggah status di akun media sosialnya karena tidak tahan usai mengetahui kalau hakim telah memvonis Bayu. Hari itu korban bertanya kepada Alfa Fauzan ihwal jadwal sidang berikutnya. Fauzan bilang “sudah putusan.” Putusan pada 11 Januari, namun korban baru mengetahuinya 12 hari kemudian.

“Korban sangat terkejut, lebih terkejut lagi bahwa putusannya hanya 2 tahun 6 bulan, dari situlah kami mengetahui kasus ini. Itu pun dari mahasiswa lain yang membaca status korban dan (kemudian) menyampaikan kepada kami,” tutur Erlina.

Menyelidiki si Jaksa

Vonis ringan terhadap Bayu Tamtomo diputuskan oleh Moch Yuli Hadi (Hakim Ketua sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Banjarmasin, cum Raden Roro Endang Dwi Handayani dan Mohammad Fatkan (hakim anggota). Kejaksaan merespons kasus ini.

Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan Abdul Rahman mengatakan jaksa menuntut Bayu selama 3 tahun dan 6 bulan dengan pertimbangan. “Hal yang memberatkan, pertama, bahwa akibat perbuatan BT ini mengakibatkan trauma pada VDP. Kedua BT merupakan anggota polisi aktif,” kata dia dalam jumpa pers di kantornya, Selasa lalu.

Lantas hal yang meringankan Bayu adalah karena dia merupakan tulang punggung keluarga dan sudah melakukan upaya perdamaian dan permintaan maaf tertulis yang ditandatangani korban. “Terhadap putusan tersebut sikap terdakwa menerima putusan majelis hakim. Selanjutnya jaksa menerima putusan majelis hakim.”

Alasan jaksa menerima putusan hakim karena putusan itu telah memenuhi seperdua dari tuntutan. Perihal penanganan perkara, Plt Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan memerintahkan Asisten Bidang Pengawasan untuk mengklarifikasi si jaksa guna mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran disiplin.

Baca juga artikel terkait KASUS PERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz