Menuju konten utama

Faisal Basri Sebut Negara Untung dari Akuisisi TPPI

Akuisisi TPPI oleh Pertamina berkontribusi positif terhadap peningkatan bahan baku industri petrokimia di Indonesia.

Faisal Basri Sebut Negara Untung dari Akuisisi TPPI
chief executive partner rsm indonesia amir abadi jusuf (kiri) didampingi international contact partner angela i simatupang (kanan) berbincang dengan pengamat ekonomi faisal basri disela indonesia's economy outlook 2016 yang diselenggarakan rsm indonesia, di jakarta, rabu (24/2). rsm indonesia menilai perekonomian nasional saat ini sedang dalam tren perbaikan, seperti tercermin pada pertumbuhan ekonomi kuartalan yang terus meningkat.antara foto/audy alwi/pd/16

tirto.id - Ekonom Senior Institute for Development of Economics Finance (Indef) Faisal Basri, mengungkap potensi keuntungan akuisisi PT Tuban Petrochemical Industries, bagian dari holding dari PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) jadi anak usaha PT Pertamina.

"Sangat menguntungkan negara. Saya katakan karena hitung-hitungannya jelas dibandingkan metode sebelumnya. Dibandingkan pengadaan konvensional. Ini sungguh menguntungkan negara," kata dia dalam diskusi 'Mengenai TPPI' di Lantai 9 GoWork Menara Standard Chartered, Sudirman, Jakarta Selatan, Jumat (4/10/2019).

Faisal juga mengatakan, bila kilang Tuban Petro bisa dioptimalkan, maka negara akan memiliki keuntungan yang berlipat.

Alasannya, TPPI merupakan kilang penghasil minyak. Selain itu, TPPI memiliki mesin pengolah ampas minyak mentah untuk menjadi aspal, olefin, paraxylene yang merupakan material dasar untuk pembuatan petrokimia.

"Perusahaan yang waktu itu 70 persen, sekarang 90 persen dimiliki negara, beroperasi secara bertahap. Dia dapat pendapatan tadinya tidak. Artinya ada kapasitas yang tidak terpakai jadi terpakai. Negara untung, Kemenkeu bahagia karena ini aset di bawah Kemenkeu dan pejabatnya jadi pengawas di sana," kata dia.

Diketahui, kebutuhan Indonesia terhadap impor petrokimia tinggi. Hal ini mengacu data Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pada investasi yang rendah di sektor petrokimia selama 20 tahun. Produksi bahan baku petrokimia separuhnya masih harus disumbang dari impor.

Bahan baku industri hulu petrokimia membuat RI harus impor. Saat ini, kapasitas produksi dalam negeri untuk bahan baku petrokimia baru mencapai 2,45 juta ton. Sedangkan, kebutuhan dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun.

Faisal pun menyebut, Indonesia harus terus-menerus mengalami defisit, karena menanggung beban impor petrokimia senilai 9 juta dolar AS per tahun.

"Kita selalu defisit 9 juta dolar [AS], karena punya bahan pembuatan pertokimia," ujarnya.

Faisal juga mengatakan, TPPI merupakan peninggalan kakayaan Indonesia yang dulu pernah mengalami krisis pada 1998 yang fungsinya perlu dikembalikan lagi.

Dalam sejarah, TPPI dirintis pada 1995 oleh PT Tirtamas Majutama. Kemudian, TPPI diserahkan kepada pemerintah lantaran Grup Tirtamas terlilit utang Rp3,2 triliun kepada sejumlah bank saat krisis moneter.

Utang berserta bunganya tersebut semakin membengkak hingga saat ini. Tuban Petro pun dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menyelesaikan utang tersebut.

Tuban Petro menerbitkan multiyears bond yang diserap pemerintah dan semestinya dilunasi pada 2014. Namun, skenario tersebut tidak berjalan.

"Ingat, ini adalah sisa-sisa kekayaan negara dari krisis 1998 yang dikelola oleh BPPN. Tadinya oleh PPA [PT Perusahaan Pengelola Aset]. Aset dan uang negara itu pakai obligasi rekap, recovery-nya menjadi naik. Negara untung lagi. Jadi tidak sekadar untung, tapi berlipat ganda keuntungannya," ungkapnya.

Sebelumnya, pemerintah resmi mengkonversi piutang berupa pokok multiyears bond sebesar Rp2,62 triliun menjadi saham pada PT Tuban Petrochemical Industries. Melalui konversi utang tersebut, pemerintah kini memiliki 95,9 persen saham perusahaan tersebut.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham PT Tuban Petrochemical Industries.

Peraturan tersebut diteken Presiden Joko Widodo pada 19 September 2019 dan diundangkan dalam lembar negara pada 23 September 2019.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali