Menuju konten utama

Faisal Basri: Anjloknya Investasi Migas karena Skema Gross Split

Skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas, yang semula cost recovery menjadi gross split.

Faisal Basri: Anjloknya Investasi Migas karena Skema Gross Split
Truk tangki LPG melintas di Depot LPG Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (28/7). ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

tirto.id - Iklim investasi sektor hulu minyak dan gas (migas) dinilai anjlok oleh Pengamat Ekonomi dan Politik Faisal Basri. Hal itu lantaran pemerintah tidak bisa konsisten dalam memberikan skema investasi kepada investor/kontraktor. Skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas, yang semula cost recovery menjadi gross split.

“Kita lihat aja hasilnya investasi migas anjlok lebih dari 50 persen. Kenapa? Harga saat itu sedang turun, terus dia [pemerintah] ganti skema menjadi gross split. Kalau gross split harga lagi turun, orang ya enggak mau,” ujar Faisal dalam acara Outlook Ketahanan Energi untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Nasional 2018 di Jakarta, Rabu (13/12/2017).

Pemahaman gross split adalah biaya operasi menjadi beban kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan KKKS diperhitungkan di muka.

Sementara itu, skema sebelumnya yang digunakan, adalah cost recovery, biaya operasi yang awalnya dikeluarkan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), pada akhirnya menjadi tanggungan pemerintah.

“Kalau cost recovery kan dia [KKKS] investasi terus dia dibayar oleh pemerintah, sekarang kan enggak. Iklim investasi makin tidak pasti dan itu sudah terbukti. Ini bukan perkiraan. Ini sudah ditunjukkan oleh data yang turun anjlok investasi. Karena tidak konsisten menjadi gross split,” terangnya.

Faisal kemudian menyebutkan kekeliruan pemerintah tercermin dari adanya revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 52 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

“Terbukti akhirnya gross split-nya ditinjaukembalikan. Bagi hasilnya mau dinaikkan, si kontraktornya dapat 65 persen. Di Meksiko 89 persen jatah kontraktor. Jadi kita naikkan, negara lain lebih menarik,” sebutnya.

Pernyataan Faisal ini didukung oleh catatan SKK Migas sampai dengan November yang menyebutkan realisasi investasi hulu migas baru mencapai 8-9 miliar dolar AS. Sementara itu, hasil revisi work plan & budget (WP&B) 2017 target investasi sebesar 12 miliar dolar AS. Dengan demikian, SKK Migas diproyeksikan dapat mencapai 10 miliar dolar AS hingga akhir tahun 2017.

“10 miliar dolar AS itu akhir tahun, kita kejar 2 miliar dolar AS-lah. Kita lihat masalah efisiensi, tapi kita optimistis tahun depan bisa naik [realisasi investasi],” ujar Wisnu.

Seketaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munanadar mengatakan pasokan gas untuk industri di beberapa daerah masih mengalami kekurangan, yang mana rata-rata kebutuhan gas industri pada 2017 lebih dari 30 persen. Pada 2018 diprediksikan menjadi sekitar 35 persen dengan adanya kenaikan target pertumbuhan industri menjadi 5,67 persen dari 5,4 persen pada 2017.

Haris mengakui, tidak terpenuhinya kebutuhan gas industri memberikan hambatan operasional bagi industri tersebut. Sebab, industri membutuhkan gas untuk energi penggerak dan bahan baku produksi.

“Ya karena ada beberapa sumur gas yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, contohnya di Sumatera Utara. Ada beberapa sumur gas yang hasilnya tidak signifikan sesuai apa yang diharapkan, jadi harus diambil dari negara lain,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait INVESTASI MIGAS atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari