Menuju konten utama
16 September 1736

Fahrenheit Tak Berbakat Jadi Pedagang, Dia Memilih Eksperimen Sains

Karena sering berutang untuk membiayai sejumlah eksperimennya, Fahrenheit sempat akan dikirim ke Hindia Belanda, namun dia menolak.

Ilustrasi Mozaik Daniel Gabriel Fahrenheit. tirto.id/Sabit

tirto.id - Hanya segelintir negara yang menggunakan skala Fahrenheit untuk mengukur suhu, antara lain Bahama, Kepulauan Cayman, Palau, dan Amerika Serikat (AS). Mungkin tidak akan merepotkan jika di antara negara-negara itu tidak ada AS yang bersikukuh menggunakan Fahrenheit.

Ketika seluruh dunia terbiasa membayangkan titik beku air 0 derajat Celsius dan titik didihnya 100 derajat Celsius, masyarakat AS yang jumlahnya sepertiga miliar dengan meyakinkan menyatakan bahwa titik beku air adalah 32 derajat Fahrenheit dan titik didihnya 212 derajat Fahrenheit. Membayangkannya saja rumit.

Seluruh dunia dipaksa berpikir keras mengonversi Fahrenheit ke dalam Celsius. Caranya, angka suhu dalam Fahrenheit dikurangi 32, lalu dikalikan dengan 5/9. Misalnya, titik didih air adalah 212 derajat Fahrenheit, yang berarti (212-32) x 5/9 = 100,000000008 derajat Celsius. Terlepas betapa menyebalkannya AS yang ngotot tidak mau membiasakan diri menggunakan pengukuran Celsius, skala Fahrenheit sebenarnya lebih akurat ketimbang Celsius.

Suhu udara yang memungkinkan untuk dihuni manusia adalah -28,8 derajat Celsius hingga 43,3 derajat Celsius, rentangnya 72,1 derajat Celsius. Dalam Fahrenheit, itu setara dengan -20 derajat hingga 110 derajat, rentangnya hampir dua kali lipat, yakni 130 derajat Fahrenheit. Dengan skala pengukuran hampir dua kali lipat, maka pengukuran pun menjadi lebih presisi. Perubahan suhu sekecil apa pun akan berarti dan skala Fahrenheit tetap dapat mencakupnya.

Misalnya, di bulan September yang mestinya sejuk, seorang warga Bekasi merasakan teriknya suhu 90 derajat Fahrenheit, alias 32,222 derajat Celsius. Untungnya di hari itu ia pergi menengok neneknya ke Jonggol, Kabupaten Bogor, yang udaranya jauh lebih adem, yakni 80 derajat Fahrenheit, alias 26,666 derajat Celsius. Tanpa harus dibuntuti deretan angka desimal di belakang, skala Fahrenheit sudah membacanya, berkat rentang pengukuran yang lebih panjang tadi. Kenaikan 10 derajat pada skala Celsius setara dengan kenaikan 18 derajat Fahrenheit. Ketika termometer belum bisa menampilkan angka desimal, maka skala Fahrenheit memungkinkan pengukuran suhu tetap akurat.

Saat Fahrenheit membuat termometer pertamanya pada tahun 1714, jelas belum memungkinkan untuk menampilkan angka desimal pada perantinya. Sementara di abad ke-18 tersebut, ilmu kedokteran menunjukkan kemajuan pesat, dan kebutuhan sebuah alat untuk mengukur suhu tubuh manusia menjadi sangat penting.

Termometer Fahrenheit bukanlah yang pertama dibuat, tetapi skalanya yang standar sehingga akurasinya dapat dipercaya memenuhi kebutuhan para dokter yang saat itu sudah meyakini bahwa perubahan suhu tubuh manusia menunjukkan kondisi kesehatannya. (Daniel Gabriel Fahrenheit (1686–1736). Nature 138, 428–429 (1936).

Pada tahun 400 SM, Hippocrates menggunakan punggung telapak tangan manusia untuk menentukan seseorang sedang mengalami demam atau tidak, yang merupakan gejala terjadinya penyakit. Tanpa alat ukur, seorang dokter di masa itu harus mampu mengenali suhu abnormal tubuh manusia. Menurut Hippocrates, dokter harus melakukan tindakan untuk menaikkan suhu tubuh yang terlalu rendah, dan sebaliknya.

Baru pada abad ke-16 dan ke-17, alat untuk mengukur suhu tubuh manusia mulai dikembangkan, antara lain oleh Santorio Santorio pada 1612 dan Robert Fludd pada 1638. Seorang ahli astronomi Denmark di Kopenhagen bernama Ole Rømer juga mengembangkan termometer untuk mencatat perubahan cuaca. (Grodzinsky, Ewa, and Märta Sund Levander. “History of the Thermometer.” Understanding Fever and Body Temperature: A Cross-disciplinary Approach to Clinical Practice 23–35. 23 Aug. 2019).

Kabur dari Penugasan ke Hindia Belanda

Daniel Gabriel Fahrenheit baru berusia 15 tahun dan tengah bersiap mengikuti pendidikan lanjutan di gymnasium ketika kedua orang tuanya meninggal karena keracunan jamur pada 1701. Ayahnya, Daniel Fahrenheit, adalah pedagang kaya raya di Danzig—wilayah yang dihuni orang Jerman, secara administratif bagian dari Polandia dan kini bernama Gdansk. Sebagai anak tertua, Fahrenheit junior disiapkan untuk meneruskan bisnis ayahnya.

Dewan Kota Danzig lantas menunjuk tiga orang warga terkemuka sebagai wali Fahrenheit dan empat orang adiknya. Maka dikirimlah Fahrenheit ke Amsterdam—mendiang ayahnya juga memiliki usaha di sini—untuk belajar bisnis di bawah bimbingan seorang saudagar bernama Herman von Beuningen.

Selama empat tahun (1702-1706), Fahrenheit mulai belajar bisnis, meski tampaknya kurang berbakat. Di tahun-tahun terakhir magangnya sebagai calon pedagang, ia lebih tertarik melakukan eksperimen-eksperimen sains, terutama pembuatan barometer dan termometer. Ia sering meminjam uang untuk melakukan eksperimen sehingga merepotkan para walinya yang mesti membayarkan utangnya.

Geram dengan kelakuan Fahrenheit, pada 21 Januari 1707, para wali Fahrenheit berhasil meyakinkan Dewan Kota Danzig untuk memberikan kewenangan kepada kepolisian di Amsterdam untuk menangkap Fahrenheit dan menyerahkannya kepada VOC untuk dikirim bekerja di Hindia Belanda. (Grigull, Ulrich. “Fahrenheit. A Pioneer of Exact Thermometry”, Proceedings of the Eighth International Heat Transfer Conference, San Fransisco, California, 1986).

Infografik Mozaik Daniel Gabriel Fahrenheit

Infografik Mozaik Daniel Gabriel Fahrenheit. tirto.id/Sabit

“…. Demi melindungi harta peninggalan untuk adik-adiknya, maka kami terpaksa memisahkan harta warisan bagiannya… Tetapi dia tidak peduli dan kembali kepada eksperimen-eksperimen lamanya. Maka kami akhirnya memutuskan… untuk mengirimnya ke Hindia Belanda… kami telah mengirimkan perintah kepada sebuah perusahaan dagang bernama Johannes Droogenhorst & Son untuk membantunya mendapatkan tempat di VOC, dan telah dilakukan. Tetapi pada hari mestinya Daniel Gabriel datang, ia tidak muncul…” Demikianlah laporan tiga wali Fahrenheit atas kelakuan anak muda yang sulit diatur itu kepada Dewan Kota Danzig, sebagaimana tercatat dalam Westergaard, Waldemar, “Daniel Gabriel Fahrenheit”, Science, Vol. 74 No. 1928, 11 December 1931, hlm. 588-589).

Demi menghindari hukuman bekerja di Hindia Belanda yang sangat jauh, Fahrenheit muda kabur meninggalkan Amsterdam serta berkelana ke Jerman, Swedia, dan Denmark. Pada 1708, ia bertemu dengan Ole Rømer di Kopenhagen dan mendiskusikan penyempurnaan termometer. Pertemuan dengan Rømer menunjukkan bahwa pada tahun itu Fahrenheit sudah mulai mengembangkan termometer.

Ketika berada di Jerman pada 1713-1714, ia mengirimkan empat buah termometer ke akademi ilmu pengetahuan di Berlin. Di Halle, Jerman, Fahrenheit memberikan dua termometer kepada Christian Wolff, yang kemudian mengakui pentingnya alat buatan Fahrenheit tersebut serta mencatatnya dalam “Acta Eruditorium”.

Pengakuan Wolff, profesor matematika, menjadi rekomendasi penting bagi perjalanan intelektual Fahrenheit. Sepuluh tahun kemudian pada 1724, Fahrenheit memublikasikan 5 makalahnya dalam Philosophical Transactions Royal Society Inggris dan di tahun yang sama terpilih sebagai anggota kumpulan ilmuwan terkemuka itu. (Grigull, Ulrich. “Fahrenheit. A Pioneer of Exact Thermometry”, Proceedings of the Eighth International Heat Transfer Conference, San Fransisco, California, 1986).

Sebagai penggemar eksperimen pembuatan berbagai alat dan perkakas, hasil karya Fahrenheit bukan sekadar termometer. Percobaan terakhirnya adalah sebuah mesin untuk mengeringkan wilayah-wilayah yang sering terkena banjir, peristiwa yang jamak di Belanda karena permukaan tanahnya rendah dan sebagian berada di bawah permukaan air laut. Mesin tersebut berhasil ia daftarkan patennya sebelum meninggal.

Fahrenheit mangkat dalam keadaan membujang di usia 50 tahun pada 16 September 1736, tepat hari ini 285 tahun lalu di Den Haag. Ia dikuburkan dengan upacara pemakaman kelas 4, pemakaman untuk kaum papa.

Baca juga artikel terkait ILMUWAN atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi