Menuju konten utama

Fadli Zon Keliru, Lapor Harta Kekayaan Masih Perlu

Fadli Zon usul pelaporan harta kekayaan sebaiknya dihapus. Padahal sejarahnya itu dibuat untuk memberantas korupsi.

Fadli Zon Keliru, Lapor Harta Kekayaan Masih Perlu
Fadli zon. FOTO/Antaranews

tirto.id - Fadli Zon tak paham kalau ada semangat reformasi di balik Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Karena itu, dia enteng saja menyebut sebaiknya itu dihapus saja.

Hal ini dinyatakan Saut Situmorang, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Itu ibarat jalan mundur ke sebelum reformasi," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (1/3/2019).

Apa yang terjadi sebelum reformasi--meminjam istilah George Junus Aditjondro--adalah gurita korupsi yang ditopang "istana", "tangsi", dan "partai penguasa." Maka gerakan pro-reformasi bersuara lantang menuntut penghapusan segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Salah satu realisasi pemerintahan pasca-Orde Baru untuk melaksanakan itu adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1999 oleh B.J. Habibie. Dalam Kepres itu diputuskan pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang sifatnya independen.

Dalam Kepres tersebut tertulis pertimbangan utama kenapa komisi tersebut dibentuk adalah "untuk melaksanakan ketentuan UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN."

Setelah KPK dibentuk pada 2002, KPKPN kemudian dibubarkan, tapi fungsinya tetap dijalankan komisi antirasuah tersebut; masuk ke bidang pencegahan. Namanya berubah jadi LHKPN.

Fadli Zon merasa LHKPN tak dibutuhkan lagi karena data kekayaan penyelenggara negara--pihak yang wajib menyetor data hartanya--sudah ada "di pajak," lebih tepatnya di Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

"Semuanya sudah ada di pajak. Satu data saja. LHKPN ini menurut saya dihapus saja. Semuanya dipajak," kata Fadli, Selasa (26/2/2019) kemarin.

Dia juga mengatakan aturan soal LHKPN saat ini masih belum jelas, padahal sebetulnya tidak. LHKPN sudah cukup jelas diatur baik dalam UU 28/1999, UU 20/2002, dan Peraturan KPK Nomor 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan pemeriksaan HKPN.

Di sana dijelaskan siapa saja yang wajib menyetor data harta, termasuk calon presiden dan wakil presiden dan calon kepala daerah.

Wakil Ketua DPR sekaligus politikus Gerindra ini tak menyinggung bahwa data di SPT dengan LHKPN itu beda, dan itu sangat kentara: data SPT ada di ranah privat, tidak dipublikasikan, sementara LHKPN itu data publik yang bisa diakses siapa saja.

Karena itu, LHKPN-lah yang selaras dengan semangat transparansi dan pemberantasan korupsi, bukan data pajak.

Poin ini disorot Lalola Easter, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Dia pun bilang tak habis pikir kenapa Fadli Zon mengusulkan itu.

"LHKPN ada agar publik bisa mencari informasi terkait kewajaran kekayaan penyelenggara negara. Bahkan LHKPN saja datanya masih dikibul-kibulin tuh. Misalnya aset yang ditulis itu hanya aset atas nama yang bersangkutan. Padahal kecenderungannya aset itu disembunyikan atas nama orang lain. Dan itu jarang dilaporkan," katanya kepada reporter Tirto.

LHKPN dan SPT untuk saat ini diurus instansi dan diatur dalam regulasi yang berbeda. LHKPN diurus KPK, sementara SPT adalah ranah Kementerian Keuangan. Tapi baik KPK dan Kemenkeu sejak tahun lalu tengah mengkaji agar dua-duanya diintegrasikan

Agus Sunaryanto, Wakil Koordinator ICW, mengatakan Fadli abai terhadap fakta ini. Dia pun berkesimpulan lewat pernyataannya Fadli sama saja tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.

"Selama aturan hukumnya belum diubah, maka pernyataannya harus dianggap tidak mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi," kata Agus.

Fadli sendiri mengaku terakhir kali melaporkan harta kekayaan pada 2015. Sementara DPR, tempatnya bekerja, adalah lembaga dengan tingkat kepatuhan melapor paling rendah di antara lembaga negara lain.

Per 25 Februari lalu, baru 40 dari 524 wajib lapor LHKPN (setara 7,6 persen) yang menyetor data.

Wakil Ketua KPK yang lain, Laode Muhammad Syarif, pun menyindir: "itu Undang-undang [yang memerintahkan lapor harta] dibuat oleh DPR. Kalau nanti [anggota] DPR juga tidak melaporkan harta kekayaannya, itu berarti tidak menjalankan UU yang mereka bikin sendiri."

Baca juga artikel terkait PELAPORAN HARTA KEKAYAAN atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih