Menuju konten utama
Obituari

F. W. De Klerk, Pemimpin Apartheid Terakhir Afrika Selatan

Frederik Willem de Klerk baru saja meninggal dunia. Dialah pemimpin terakhir Afrika Selatan sebelum kebihakan apartheid dihapuskan.

F. W. De Klerk, Pemimpin Apartheid Terakhir Afrika Selatan
Presiden Frederik Willem de Klerk. (AP Photo/Junji Kurokawa, File)

tirto.id - Pemimpin kulit putih terakhir Afrika Selatan, Frederik Willem de Klerk, meninggal dunia karena kanker di usia 85 pada 11 November 2021. De Klerk dikenal sebagai figur yang kontroversial: Ikut berperan meruntuhkan apartheid dan membebaskan Nelson Mandela namun juga berdiri tegak membela kasus-kasus kekerasan negara terhadap aktivis pembela hak-hak orang kulit hitam.

De Klerk dibesarkan dalam lingkungan politikus yang menikmati manfaat dari segregasi rasial. Bapak dan kakeknya adalah politikus, sementara salah satu pamannya pernah jadi perdana menteri pada dekade 1950-an. Keluarganya punya hubungan kuat dengan Partai Nasional, partai penguasa setelah Perang Dunia II yang melegalkan apartheid.

Partai Nasional dibentuk pada 1914 oleh Afrikaner—orang-orang keturunan Belanda, Jerman, dan Prancis yang sejak abad ke-17 menduduki Afrika Selatan. Mereka hidup relatif mapan setelah merampas lahan serta ternak penduduk asli. Komunitas kulit putih ini merasa Uni Afrika Selatan (didirikan 1910) terlalu terpengaruh pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa sejak abad ke-19. Melansir Encyclopedia Britannica, J. B. M. Hertzog mendirikan Partai Nasional dalam rangka mengurangi kontrol dalam ranah politik domestik tersebut sekaligus menjaga agar kepentingan Afrikaner tidak terusik oleh orang Inggris maupun tuntutan-tuntutan dari penduduk berkulit hitam.

Sebelum Partai Nasional berkuasa, pemerintahan yang pro-Inggris sudah lebih dulu menerapkan perundangan-undangan terkait segregasi rasial, misal membatasi lapangan kerja tertentu di sektor tambang dan jalur kereta untuk orang kulit putih. Orang kulit hitam juga cuma dapat jatah lahan kurang dari sepersepuluh luas Afrika Selatan. Di luar kuota itu, mereka tidak diperbolehkan membeli atau menyewa.

Setelah Partai Nasional menang pemilu pada 1948, regulasi yang mendiskriminasi kulit hitam dan kulit berwarna lain seperti orang India (yang dibawa sebagai budak oleh saudagar Belanda di masa lalu) semakin masif. Selama lebih dari empat dekade mendominasi pemerintahan, mereka melegalkan sistem aturan diskriminatif yang disebut apartheid. Penduduk yang bukan keturunan Eropa diklasifikasikan dalam ras tertentu, pernikahan antarras dilarang, permukiman, rumah sakit, dan sekolah juga dipisahkan sesuai ras.

Ada aksi, tentu ada reaksi. Orang-orang kulit hitam menuntut persamaan lewat protes-protes damai yang tak jarang justru dibalas dengan peluru, misalnya pada Pembantaian Sharpeville pada 1960 yang menyebabkan 69 demonstran meninggal dunia. Setelah itu African National Congress (ANC), organisasi politik yang memperjuangkan penghapusan apartheid, dilarang beroperasi. Tokoh-tokoh ANC seperti Mandela dipenjara atau jadi eksil.

South African Institute of Race Relations (SAIRR) menemukan sejak 1984 sampai 1990 sebanyak 8.577 orang meninggal dunia karena kekerasan politik. Pasukan keamanan negara disinyalir ikut menyokong konflik-konflik etnis untuk menghancurkan oposisi pemerintah, termasuk ANC.

De Klerk memimpin Partai Nasional dan mulai menjabat presiden sejak 1989. Di bawah pemerintahannya, persisnya 10 bulan pertama 1990, SAIRR mencatat jumlah korban meninggal akibat kekerasan politik menembus 3 ribu jiwa. Kendati demikian, pada tahun itu pula de Klerk mengizinkan ANC kembali beroperasi dan membebaskan Mandela. Langkah tersebut membuat de Klerk dan Mandela dianugerahi Nobel Perdamaian karena keduanya mau bekerja sama mengakhiri apartheid.

Pemilu pertama yang diikuti oleh mayoritas penduduk berkulit hitam diselenggarakan pada 1994. Semenjak itulah berakhir era ketika suara 5 juta orang kulit putih mewakili 30 juta orang kulit hitam. ANC keluar sebagai pemenang dan mendominasi pemerintahan sampai sekarang.

Menurut Andrew Harding dari BBC, terlepas dari peran dalam mewujudkan demokratisasi, sejumlah pihak termasuk Mandela tetap melihat de Klerk sebagai seorang Afrikaner konservatif sekaligus oportunis politik. Keputusan de Klerk untuk mengakhiri kebijakan segregasi rasial dipandang berkaitan dengan fakta bahwa Perang Dingin sudah usai, sehingga komunisme—yang kerap disematkan pada gerakan antiapartheid—dipandang tak lagi sebagai ancaman. Afrika Selatan juga terancam oleh berbagai sanksi internasional akibat praktik apartheid.

Pada akhirnya, Harding menulis, de Klerk “tak punya alternatif selain bernegosiasi dengan mayoritas orang kulit hitam.”

Apartheid Apologist?

De Klerk lahir di Johannesburg pada 1936. Ia sempat berprofesi sebagai pengacara sebelum memulai karier politik sebagai perwakilan masyarakat di Vereeniging, kota pertambangan yang sangat prokebijakan orang kulit putih, pada 1970-an. Sepanjang karier politiknya ia dikenal sebagai pembela apartheid garis keras. Ia juga anggota Broederbond, organisasi rahasia supremasi kulit putih.

Ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan (1984-1989), misalnya, alih-alih meratakan akses pendidikan berkualitas untuk setiap anak, de Klerk mempertahankan sistem yang mengakomodasi kepentingan anak-anak orang kulit putih saja bahkan memperluasnya sampai level universitas.

Sikap de Klerk berubah tak lama setelah menjabat presiden. Keputusannya untuk mengizinkan ANC beroperasi kembali dan membebaskan Mandela disambut dengan protes oleh 20 ribu orang kulit putih di Pretoria. Demonstran menampilkan boneka Mandela di tiang gantungan, sementara bendera-bendera Nazi dan simbol-simbol menyerupai swastika milik Afrikaner Resistance Movement menghiasi aksi demo. Salah satu penggeraknya adalah Partai Konservatif, faksi paling sayap kanan dalam Partai Nasionalis. Mereka menuding de Klerk sebagai pengkhianat.

Terlepas dari dikritik oleh pendukungnya, de Klerk sendiri tidak pernah betul-betul mengutuk sistem apartheid maupun ambil tanggung jawab. Meskipun pada 1992 de Klerk jadi pemimpin Afrika Selatan pertama yang mau mengucap “maaf” atas sistem segregasi yang dianggapnya sebagai kebijakan gagal, pada waktu sama dirinya menolak dicap sebagai penjahat. “Ya, kami sudah bikin kesalahan. Ya, kami sudah sering berdosa dan kami tidak mengelaknya. Tapi, kami tidak bisa disebut jahat, ganas dan kejam,” ujar de Klerk kala itu.

Sekitar tiga tahun kemudian, Mandela mendirikan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran didirikan yang ditugaskan menginvestigasi aksi-aksi kejahatan—penyiksaan, penculikan, sampai pembunuhan—terhadap aktivis antiapartheid yang mayoritas dilakukan oleh pasukan sokongan pemerintah. Penyelidikan termasuk saat masa kepemimpinan de Klerk dan Pieter Willem Botha (1978-1989).

Di hadapan Komisi tersebut, de Klerk sekali lagi tidak mau mengakui pemerintahan apartheid sudah bertanggung jawab atas segala kebrutalan. De Klerk bungkam terhadap aksi pembantaian dan regu pembunuh bentukan Magnus Malan, Menteri Pertahanan sejak era Botha. Ia juga tidak menyinggung aksi-aksi pengeboman di markas ANC atau grup-grup antiapartheid.

Dilansir dari Washington Post pada 1996, ia sekadar meminta maaf atas “rasa sakit dan penderitaan” yang ditimbulkan oleh segregasi rasial. Menurut de Klerk, pemerintah—baik pada masa kepemimpinannya dan pendahulunya—memang terpaksa menggunakan cara-cara “yang tidak konvensional” untuk merespons “ancaman revolusioner” dari grup-grup antiapartheid.

Menurut laporan dari Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran tahun 2003, de Klerk menyembunyikan informasi bahwa dirinya mengetahui pemerintahan Botha berada di balik aksi pengeboman Rumah Khotso di Johannesburg, markas bagi organisasi gereja dan grup-grup antiapartheid pada 1988. Meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa, aksi tersebut masuk dalam kategori melanggar HAM. Pihak Komisi pun menganggap tindakan de Klerk sudah “berkontribusi menciptakan budaya impunitas di mana pelanggaran HAM berat dilakukan.”

Opini de Klerk tentang apartheid tak terlalu banyak berubah seiring waktu berlalu. Tahun 2012, misalnya, dalam wawancara dengan CNN ia mengelak ide yang menyamakan apartheid dengan naziisme. Ia juga menolak untuk meminta maaf atas pandangan proapartheid yang dipegangnya semasa muda dengan alasan memang dibesarkan di lingkungan yang menjustifikasi sistem tersebut.

Kendati demikian, ia mengaku jadi “mualaf” setelah menyadari bahwa segregasi berujung pada tergerusnya hak asasi manusia. Apartheid, menurut de Klerk, “secara moral tidak dapat dibela.”

Pada waktu yang sama, de Klerk masih setuju dengan konsep tentang pemisahan atau segregasi grup etnis. Ia mengambil contoh riwayat Czechoslovakia, di mana mayoritas bangsa Ceko pernah hidup berdampingan dengan minoritas orang Slovakia. Menurut de Klerk, konsep bahwa “persatuan etnis dengan satu budaya, dengan satu bahasa, bisa bahagia dan dapat memenuhi aspirasi demokrasi mereka di negara sendiri, tidaklah menjijikkan.”

Singkatnya, di mata de Klerk, konsep apartheid—atau “pembangunan terpisah” menurut istilahnya sendiri—secara garis besar tetap masuk akal.

Tahun 2020 silam, reporter South African Broadcasting Corp. bertanya apakah de Klerk setuju dengan klasifikasi PBB bahwa apartheid adalah kejahatan kemanusiaan. Bisa diduga, jawabnya, “Saya tidak sepenuhnya setuju dengan itu.”

“Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas hal itu (apartheid), tapi ada perbedaan antara menyebut sesuatu sebagai kejahatan, seperti genosida sebagai kejahatan…” ujar de Klerk. “[Apartheid] ini tidak bisa, misalnya, dibandingkan dengan genosida. Tidak pernah ada genosida. Banyak orang meninggal dunia, tapi lebih banyak yang tewas karena kekerasan di antara orang kulit hitam alih-alih akibat apartheid.”

Infografik Frederik Willem de Klerk

Infografik Frederik Willem de Klerk. tirto.id/Quita

Pernyataan-pernyataan de Klerk terkait apartheid selama ini sudah tentu membuat sejumlah rakyat Afrika Selatan muak kepadanya.

“Seandainya saja dia mau bilang, ‘Saya minta maaf dan inilah yang akan saya lakukan dengan aset saya, dengan yayasan saya, beginilah cara saya akan berbicara untuk orang-orang yang sudah jadi korban di bawah pengawasan saya, saya akan mempertanggungjawabkan bagian saya’—tapi tak satu pun itu keluar darinya,” demikian kata Michael Lapsley kepada New York Times. Lapsley adalah pendeta dan aktivis antiapartheid yang kehilangan kedua tangannya pada 1990 ketika membuka bom surat kiriman pasukan keamanan pemerintah.

Setelah de Klerk meninggal, Yayasan F. W. de Klerk mengeluarkan rekaman video sebagai upaya terakhir untuk menunjukkan sisi humanis de Klerk. Isinya menegaskan permintaan maaf de Klerk atas “rasa sakit, luka, penghinaan, dan kehancuran yang sudah apartheid timbulkan pada orang kulit hitam, orang kulit cokelat, dan orang India di Afrika Selatan.” Di dalam rekaman tersebut, de Klerk juga masih berusaha menunjukkan ketulusan dirinya—dan pemerintahannya—untuk mengakhiri apartheid dan membawa keadilan bagi seluruh rakyat.

Pemerintah Afrika Selatan menyatakan hari berduka nasional selama empat hari untuk menghormati de Klerk dan mengibarkan bendera setengah tiang. De Klerk meninggalkan seorang istri dan tiga anak.

Baca juga artikel terkait APARTHEID atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino