Menuju konten utama

Evolusi Taktik Pep Guardiola

Musim ini Manchester City bermain lebih pragmatis daripada musim sebelumnya.

Evolusi Taktik Pep Guardiola
Manajer Manchester City Pep Guardiola sebelum pertandingan REUTERS / Phil Noble

tirto.id - Marti Perarnau, dalam Pep Confidential: Inside Pep Guardiola’s Fist Season at Bayern Muenchen, mempunyai kisah menarik tentang Pep Guardiola.

Oktober 2012 lalu, saat memutuskan untuk menjadi New Yorker sementara waktu, Pep Guardiola beberapa kali bertemu dengan Gary Kasparov, maestro catur asal Rusia. Mereka membicarakan banyak hal, dari perkara ekonomi, teknologi, olahraga, hingga kompetisi. Dua orang itu ternyata mempunyai kemiripan: Guardiola dan Kasparov sama-sama keras kepala.

“Mengapa Anda tidak bertanding melawan Magnus Carlsen, pecatur paling menjanjikan di dunia?,” tanya Guardiola.

“Mustahil,” jawab Kasparov. “Aku mempunyai kemampuan untuk mengalahkannya, tapi pada praktiknya itu mustahil untuk dilakukan.”

Guardiola bertanya seperti itu sampai sebanyak tiga kali. Tiga kali pula Kasparov memberikan jawaban yang sama. Mantan pecatur nomor satu dunia itu tidak memberikan penjelasan lebih panjang, membikin Guardiola semakin penasaran.

Pertanyaan Pep itu akhirnya sampai ke telinga Cristina, istri Pep; juga Daria, istri Kasparov. Dan saat keduanya dilibatkan dalam pertemuan, mereka berdualah yang kemudian menemukan jawaban memuaskan dari pertanyaan Guardiola itu.

“Barangkali karena masalah konsentrasi,” terka Cristina.

“Itu dia!,” Daria setuju dengan pendapat Cristina. “Jika pertandingan hanya berlangsung selama dua jam, Gary bisa mengalahkan Magnus, tapi pertandingan biasanya berlangsung selama lima hingga enam jam dan Gary tidak akan betah melampaui waktu berjam-jam dengan beban berat di dalam pikirannya, mamaksanya melakukan hitung-hitungan.”

“Magnus masih muda dan tidak akan sadar dengan apa yang terjadi dengan Anda. Gary memahami dampaknya dengan baik dan tidak ingin melalui hal seperti itu selama berhari-hari. Ada seorang pemain yang bisa berkonsentrasi selama lima jam, ada juga yang hanya mampu selama dua jam. Tidak mungkin baginya [Gary] untuk bisa menang.”

Setelah pertemuan itu, Guardiola tidur larut. Ia menarik benang merah jawaban itu dengan filosofi sepakbolanya, yang dikenal dengan sebutan juego de pocition. Ia ingin beradaptasi sekaligus menyempurnakan juego de pocition. Dan sekitar enam tahun setelah itu, berkat bantuan Cristina dan Daria, juego de pocition Guardiola menunjukkan tanda-tanda mencapai kulminasi.

Risiko Juego de Posicion

Juego de pocition adalah sebuah filosofi permainan yang menekankan pentingnya penguasaan bola. Untuk memaksimalkan filosofi itu, Guardiola kemudian membagi lapangan menjadi 20 zona. Selain itu, ia juga memberikan batasan-batasan khusus terhadap zonal teorinya itu: secara vertikal maksimal hanya boleh ada dua pemain yang berdiri sejajar di tiap-tiap zona, dan maksimal hanya boleh ada tiga pemain yang berdiri sejara di tiap-tiap zona secara horizontal.

Tujuan Guardiola dalam memberikan batasan sangat jelas: pertama, ia ingin agar para pemainnya yang menguasai bola memiliki opsi lebih banyak untuk mengirimkan umpan; dan kedua, Guardioa ingin timnya bermain cair dengan para pemainnya tidak terikat dalam satu posisi tertentu.

Filosofi menyerang itu lantas diimbangi dengan cara bertahan yang mengagumkan. Dalam “Pep’s Four Golden Rule” yang dimuat di majalah Blizzard, Albert Capellas, mantan koordinator La Masia, pernah mejelaskan cara bertahan Pep kepada Simon Kuper, penulis Football Against The Enemy.

Menurut Capellas, cara bertahan Pep mempunyai empat aturan: Pressure on the ball (melakukan counter-pressing segera setelah kehilangan bola dengan tujuan untuk merebut bola secepat mungkin dari pemain lawan), five-second rule (apabila counter-pressing gagal setelah lima detik dilakukan, pemain-pemain Barcelona akan mundur ke belakang), 3-1 rule (pemain-pemain Barcelona tak boleh kalah kuantitas pemain saat bertahan), dan one-second rule (para pemain Barcelona harus mampu memahami sistem permainan dengan cepat).

Filosofi Pep itu memang berhasil membuat Barcelona meraih segalanya. Namun, filosofi tersebut cukup rumit dan tidak mudah untuk dipahami para pemain. Terlebih, jika ia kemudian menerapkannya di klub baru. Agar bisa berjalan maksimal Pep jelas butuh tiga hal: pemain kelas satu, dan waktu.

“Barca mempunyai sistem yang sangat spesifik dan semua pemain harus mampu menyesuaikan diri. Segalanya telah dipelajari hingga tingkat paling rinci. Di Arsenal, aku biasanya bisa bergerak bebas tanpa menghawatirkan apa pun. Di Barca sangat berbeda. Semua orang sudah memiliki posisi masing-masing dan tidak dapat mengalihkan pandangan darinya. Untuk menguasainya, aku harus kembali mengingat-ingat masa masih berada di Barca dulu,” kata Cesc Fabregas.

Meski demikan, Pep justru nekat mengambil risiko dengan mengembangkan juego de posicion sewaktu menangani Bayern Muenchen. Ia ingin membikin filosofi itu lebih fleksibel daripada sebelumnya. Juego de posicion yang sudah rumit dibuat menjadi semakin rumit.

Salah satu pengembangan yang paling kentara adalah peran yang diemban David Alaba. Meski bermain di posisi full-back kiri, ketimbang menjaga kelebaran lapangan, ia lebih sering beroperasi ke tengah lapangan, ke area half-space, seolah-olah menjadi pemain tengah tambahan.

Hal ini memang memberikan keuntungan tambahan dalam zonal teori sebelumnya: karena area lebar lapangan biasanya ditempati oleh full-back dan winger (batasan maksimal posisi vertikal dalam zonal teori Pep Guardiola), saat full-back bergerak ke tengah, pemain tengah jadi memiliki kemungkinan untuk bergerak ke sisi lapangan.

Masalahnya, Bayern tidak memiliki gelandang yang cukup fleksibel, yang mampu bermain melebar maupun tetap berada di aera tengah. Pendekatan Pep akhirnya tidak berjalan lancar. Konsentrasi para pemain buyar. Dampaknya, meski tetap menerapkan counter-pressing pressing, transisi bertahan Bayern seringkali berantakan. Bayern pun ringkih saat menghadapi tim yang pintar melakukan serangan cepat.

Bayern setidaknya tiga kali mengalami kekalahan penting saat menghadapi lawan seperti itu. Pada musim 2013-2014 mereka kalah dari Real Madrid yang memiliki kecepatan. Pada musim 2014-2015, Bayern dijungkalkan Barcelona yang mulai pintar bermain direct. Dan pada musim 2015-2016, mereka kalah dari Atletico Madrid yang jago dalam melakukan serangan balik. Tiga-tiganya terjadi pada babak semifinal Liga Champions Eropa.

“Ini adalah salah satu hasil paling mengejutkan dalam sejarah Liga Champions Eropa -- juara bertahan digempur 0-4 di rumah mereka sendiri. Cara Madrid [mengalahkan Bayern] pun terencana dengan begitu jelas – Madrid mengandalkan set-piece, lalu serangan balik, dan mengatasi kualitas teknik Bayern dengan kekuatan dan kecepatan,” tulis Michael Cox, analis sepakbola Inggris, setelah Bayern dihajar Real Madrid.

Pragmatisme ala Guardiola

Suatu kali, Thierry Henry, mantan pemain Barcelona, pernah mengatakan, “Pep lebih baik mati ketika menyerang daripada bertahan hidup hanya dengan bertahan.”

Pernyataan Henry tersebut memang benar. Namun semakin ke sini, Pep semakin mengerti bahwa ia berulangkali “menemui kematian” karena filosofi menyerangnya itu. Alasannya: untuk menerapkan juego de posicion, para pemainnya jelas membutuhkan konsentrasi yang begitu tinggi.

Setelah gagal total pada musim pertamanya bersama City, Pep kembali bereksperimen dengan juego de posicion. Tidak hanya memainkan Fabian Delph layaknya David Alaba sewaktu di Bayern, Pep juga memberikan peran menarik terhadap Kyle Walker, full-back kanan City. Saat City menyerang, terutama saat bermain dengan formasi 4-3-3, ia akan merapat dengan dua bek tengah, menjadi bek ketiga. Dan saat memiliki kesempatan menyerang, Walker bisa melakukan overlap di daerah half-space.

Di lini tengah, Pep juga melakukan perubahan yang tak kalah menarik. Sementara David Silva dan Kevin de Bruyne -- yang bisa bermain di posisi mana pun di lini tengah -- bermain di posisi “nomor delapan” dengan garansi kebebasan, posisi pivot diserahkan kepada Fernandinho. Sebelumnya, Pep selalu mengandalkan gelandang statis seperti Sergio Busquets maupun Xabi Alonso di posisi tersebut. Fernandinho jelas berbeda dengan keduanya. Ia lebih mobile, lebih beringas, lebih energik, dan lebih cepat.

Dari situ, selain membuat City mempunyai banyak pilihan untuk menguasai daerah half-space, pendekatan tersebut juga mampu mengurangi beban konsentrasi pemain-pemain City saat bertahan. Saat counter-pressing gagal dilakukan, secara otomatis City bisa meminimalisir serangan balik yang dilakukan lawan. Singkat kata, saat bermain dengan formasi 4-3-3 (three band formation), dengan pergeseran posisi itu, City bisa bertahan dengan four band formation: pemain depan, pemain tengah, gelandang bertahan, dan pemain belakang.

Kyle Walker bisa menambah keuntungan kuantitas di lini belakang dan Fabian Delph bisa mengisi posisi Fernandinho saat pemain asal Brasil tersebut itu meninggalkan posisinya. Bagaimana dengan Fernandinho? Ia bisa memaksimalkan perannya sebagai tukang jagal. Musim lalu, Fernandinho rata-rata melakukan 1,2 kali pelanggaran dalam setiap pertandingan, terbanyak di antara pemain-pemain City lainnya.

“Tanggung jawabku sangat besar,” kata Fernandinho mengenai perannya. “Saya selalu berbicara dengan Pep mengenai peranku setiap waktu, juga dengan Michael Arteta. Jika lawan kami mampu menghancurkan pertahanan dan mulai menyerang kotak penalti kami, itu berarti ada yang salah denganku. Aku harus segera memperbaikinya.”

Dengan pendekatan seperti itu, menurut catatan whoscored, City hanya dua kali kebobolan dari seragan balik dalam gelaran Premier League 2017-2018. Pada musim sebelumnya, mereka kebobolan dua gol lebih banyak.

Infografik Juego de Posicion

Yang menarik, musim ini Pep bahkan nampak lebih pragmatis lagi dalam menerapkan juego de posicion. Saat menghadapi tim-tim yang mempunyai kemampuan serangan balik, City lebih hati-hati menguasai bola. Mereka tidak memaksa menyerang secara frontal. Counter-pressing juga dikurangi dan organisasi pertahanan dibenahi.

Pertandingan antara City melawan Liverpool di Anfield 7 Oktober 2018 lalu bisa menjadi contoh. Dalam pertandingan yang berakhir dengan skor 0-0 itu, City cenderung bermain reaktif. Kala itu, tingkat penguasaan bola City hanya mencapai 50,6% -- unggul tipis atas Liverpool. Selain itu, City juga bermain dengan formasi yang tidak biasa: 4-4-2 flat.

Menurut Jonathan Wilson, pengamat sepakbola Inggris, formasi itu memang sengaja diterapkan karena Pep tak mau kalah kuantitas pemain dari Liverpool di lini tengah dan lini belakang. Pendekatan itu sukses menahan daya ledak Liverpool, Wilson kemudian menyebut bahwa “Pep berhasil menggabungkan fleksibilitas dan pragmatisme”.

Kesuksesan gaya baru City dalam mengakali konsentrasi tersebut, yang merupakan bentuk pragmatis dari juego de posicion, lantas dapat dilihat dari perjalan City di Premier League sejauh ini. Menurut Whoscored, tingkat penguasaan bola City musim ini mencapai 64,3%. City rata-rata hanya melakukan 12,2 kali tekel dan 8,5 kali pelanggaran dalam setiap pertandingan. Tingkat intersepsi pemain-pemain City mencapai 10,2 kali dalam setiap pertandingan.

Bandingkan dengan penampilan City musim lalu: tingkat penguasaan bola City mencapai 66,4%. City lebih sering melakukan tekel dan pelanggaran, 14,8 tekel dan 9,1 pelanggaran dalam setiap pertandingan. Tingkat intersepsi pemain-pemain City pun hanya mencapai 9,1 kali dalam setiap pertandingan.

Sejauh ini, gaya baru Pep itu berhasil membuat City berdiri kokoh di puncak klasemen Premier League sebelum dikudeta Liverpool di pekan 16. Sebelum kalah dari Chelsea di pekan 16, City meraih hasil nyaris sempurna: 15 kali bertanding, 13 kali menang, dan 2 kali imbang.

Pertanyannya: Apakah perkembangan juego de posicion itu mampu mengantarkan City untuk merebut gelar Liga Champions Eropa, sebuah gelar terakhir kali disentuh Pep pada tahun 2011 lalu?

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono