Menuju konten utama

Kisah Bandana yang Tidak Sekadar Trendi dan Terus Berevolusi

Terlihat sederhana, bandana bukan sekadar kain bujur sangkar yang berfungsi sebagai aksesoris, namun juga memiliki banyak makna.

Kisah Bandana yang Tidak Sekadar Trendi dan Terus Berevolusi
Header Diajeng Evolusi Bandana. tirto.id/Quita

tirto.id - Dalam peragaan busana Versace Spring Summer 2022, bandana sutra kembali menjadi bintang utama. Tidak hanya dikenakan sebagai penutup atau ikat kepala, tapi juga dililit di pergelangan tangan, leher, pegangan tas atau sebagai pengganti ikat pinggang. Semua itu disajikan dalam warna-warni kue dan motif barok khas Versace yang ikonis.

Selembar kain –awalnya berbahan katun— berukuran standar 56 x 56 sampai 68.5 x 68.5 sentimeter ini bahkan disebut memiliki fleksibilitas setara pisau Swiss Army. Dengan penataan yang berbeda, bandana bisa menciptakan beragam gaya: Girly, bohemian, sampai edgy.

Namun bandana lebih dari sekadar aksesori. Sejarahnya telah mencapai 300 tahun.

Sejarah Bandana

Konon, bandana berasal dari Asia Selatan, tepatnya India. Kata bandana sendiri berasal dari bandhani, yakni teknik pewarnaan yang sudah lama digunakan oleh produsen tekstil di India.

Sumber lain mengatakan bahwa asal kata bandana adalah badhnati, yang dalam bahasa Sanskerta berarti ikatan atau mengikat.

Pada abad 18, VOC dan English East India Company (EIC) mulai mengimpornya ke Eropa, lalu nama tekstil ini berubah menjadi bandana. Sebagian orang Eropa yang mengonsumsi tembakau memakai bandana untuk membuang ingus. Biasanya mereka memakai sapu tangan berwarna polos, tapi selalu ada noda tembakau gelap yang memalukan tertinggal di kain.

Header Diajeng Evolusi Bandana

Header Diajeng Evolusi Bandana. foto/IStockphoto

Memakai bandana bermotif ramai lantas menjadi pilihan mereka agar nodanya tak tampak mencolok.

Kemudian, perempuan Eropa mulai memakai bandana sebagai semacam syal. Motif paisley yang berasal dari Persia menjadi motif yang paling dikenal saat itu. Lambat-laun, bandana semakin ‘naik pangkat’ karena dianggap menyimbolkan status tinggi pemakainya.

Harga bandana bertambah mahal dan suplai semakin sedikit. Pada abad ke-19, beberapa perusahaan Eropa pun mulai memproduksi bandana sendiri.

Di Mulhouse, Prancis, produsen bandana berusaha mengembangkan warna merah Turki yang hingga kini dianggap sebagai warna khas bandana.

Pewarna ini dibuat dari kotoran biri-biri, akar tumbuhan madder dan minyak zaitun, lalu diaplikasikan pada kain melalui proses yang saat itu dianggap amat rumit. Sementara, desain motif paisley mereka tiru dari bandana buatan India. Alat Propaganda dan Promosi Di negara Paman Sam, bandana mulai populer pada masa Revolusi Amerika.

Saat itu, Martha Washington, istri George Washington-Jenderal Angkatan Bersenjata Kontinental-memesan bandana dengan desain khusus pada John Hewson, produsen tekstil dari Philadelphia.

Hewson mendesain bandana katun dengan gambar George Washington di atas kuda, dihiasi meriam dan bendera, lalu bertuliskan “George Washington, Esq., Foundator and Protector of America’s Liberty and Independency”. Waktu itu tahun 1775 atau 1776 dan langkah ini adalah bagian dari perlawanan terhadap kolonialisme Inggris.

Di tengah perjuangan Amerika merebut kemerdekaan, Inggris telah melarang aktivitas percetakan di seluruh koloninya di Amerika demi mematikan upaya propaganda revolusi.

Setelah Amerika merdeka, kisah bandana perjuangan ini menyebar luas. Replikanya diproduksi massal dan bandana pun semakin populer. Para politisi kerap memakainya dalam kampanye mereka.

Bandana Theodore Roosevelt pada 1912 berisi notasi dan lirik lagu kampanye kepresidenannya berjudul “We Want Teddy”. Sementara, bandana Dwight “Ike” Eisenhower pada kampanye 1952 menampilkan wajah Eisenhower dengan tulisan “Win with Ike for President”.

Kepopuleran bandana ditambah biaya pembuatan yang semakin terjangkau membuatnya dijadikan alat promosi dan pemasaran sejak awal abad 20.

Lebih dari itu, ia merupakan simbol perjuangan hak-hak buruh. Pada 1921, terjadi demonstrasi besar-besaran di West Virginia. Lebih dari sepuluh ribu pekerja tambang menuntut hak mereka atas kondisi kerja yang lebih layak dan perlindungan serikat pekerja. Mereka memakai bandana merah, mempersenjatai diri seadanya, lalu berhadapan dengan aparat bersenjata Logan County.

Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Aksi Penambang Batu Bara West Virginia ini, lebih dari seratus orang tewas dan ribuan lainnya ditangkap. Pihak manajemen perusahaan menang, tapi gerakan ini berhasil memicu perubahan baik bagi kondisi pekerja di Amerika.

Pada masa Perang Dunia II, ketika kaum pria maju ke medan perang, perempuan di kampung halaman harus menggantikan peran mereka di tempat-tempat kerja, termasuk di pabrik dan galangan kapal. Bandana menjadi pengikat rambut populer bagi para pekerja perempuan saat itu.

Bahkan, salah satu alat propaganda perang paling ikonis adalah sosok fiktif Rosie the Riveter yang memakai bandana.

Digambarkan sebagai perempuan pekerja yang kuat, memakai celana terusan biru, mengikat rambut dengan bandana merah polkadot putih, Rosie mengepalkan tangan, memamerkan lengannya, dan menyemangati para perempuan pekerja dengan kalimat, “We can do it”.

Hingga kini, bandana belum kehilangan pesonanya sebagai simbol perjuangan. Pada 2017 lalu, muncul gerakan sosial #TiedTogether yang dipelopori oleh The Business of Fashion.

Para desainer, jurnalis, dan pemengaruh diimbau untuk memakai bandana putih sebagai tanda dukungan atas persatuan umat manusia – tak peduli ras, seksualitas, gender dan agama. Inisiatif ini muncul sebagai respons karena industri fesyen selama ini hanya diam di tengah perpecahan dan situasi yang tidak pasti.

Tahun 2017 itu, Donald Trump baru terpilih sebagai presiden AS dan warga Amerika sedang terpecah-belah. Namun pelopor #TiedTogether menolak menyebut inisiatif mereka sebagai gerakan politik semata. Mereka ingin merangkul semua orang dan bukannya memperuncing perpecahan.

Header Diajeng Evolusi Bandana

Header Diajeng Evolusi Bandana. foto/SItockphoto

Pahlawan Berbandana Merah

Citra bandana berubah lagi berkat seorang pahlawan muda bernama Welles Crowther. Welles adalah salah satu korban peristiwa 9/11. Ia bekerja sebagai equity trader di World Trade Center. Ketika United Airlines Flight 175 menabrak menara selatan, sekitar 200 orang berada di lantai 78. Lantai itu gelap dan mulai terbakar.

Pemuda itu memimpin rombongan kecil korban menuju lantai 61. Di sana, petugas pemadam kebakaran menyambut mereka dan membimbing untuk turun melalui lift di lantai 48. Pemuda itu tidak ikut turun. Ia kembali naik ke lantai 78 untuk menolong korban lain.

Enam bulan kemudian, ketika cerita ini diterbitkan oleh The New York Times, nama sang pahlawan tak disebut karena tak satupun penyintas yang mengenalnya.

Mereka hanya mengatakan pemuda itu menutup mulut dan hidungnya dengan bandana merah.

Membaca berita ini, ibu Welles –Alison Crowther—langsung tahu, itu pasti putranya. Welles Crowther sejak usia 6 tahun memang identik dengan bandana merah pemberian ayahnya.

Welles menghabiskan masa SMA dengan menjadi pemadam kebakaran junior dan kapten tim hoki.

Ketika kuliah di Boston College, bandana merah selalu ia kenakan saat bertanding lacrosse. Kampus ini lalu menyelenggarakan Boston College Red Bandana Run setiap musim gugur, di mana semua pelari mengenakan bandana merah. Kisah Welles diangkat menjadi film dokumenter berjudul “Man in the Red Bandana”.

Di kemudian hari, salah satu rekan Welles, atlet snowboarding Tyler Jewell mengenakan bandana merah dalam Olimpiade Musim Dingin.

“Bagi saya, bandana merah melambangkan kekuatan, kehormatan, dan keberanian – segalanya yang dimiliki oleh Welles Crowther,” ujar Tyler.

*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait FESYEN atau tulisan lainnya dari Eyi Puspita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Eyi Puspita
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi