Menuju konten utama

Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh, DPR Hujani Kritik Nadiem

Kebijakan pembelajaran jarak jauh disorot terkait adanya klaster baru Corona di sekolah hingga surat edaran Kemendikbud yang tak ikut hierarki UU.

Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh, DPR Hujani Kritik Nadiem
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (kiri) menerima laporan Panitia Kerja (Panja) Pembelajaran Jarak Jauh dari Wakil Ketua Komisi X DPR Agustina Wilujeng Pramestuti (kanan) saat rapat kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz

tirto.id - Sistem pendidikan Indonesia mau tak mau menerapkan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi. Salah satu kebijakan yang diambil adalah membuka sekolah secara tatap muka secara aman.

Alasan pembukaan sekolah mengacu data pemerintah mengenai kasus Corona di masing-masing daerah. Semula hanya sekolah di zona hijau, kemudian di zona kuning yang boleh dibuka, kendati tak wajib.

Kebijakan tersebut memicu munculnya klaster baru di sejumlah sekolah. Hal ini jadi salah satu evaluasi dari Panitia Kerja (Panja) Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Komisi X DPR RI, Kamis (27/8/2020). Panja ini bekerja sebulan selama Juni-Juli untuk mengevaluasi kebijakan Mendikbud dan Dikti, Nadiem Makarim selama pandemi.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda menyebut ada sekitar 53 guru positif COVID-19 saat pendidikan tatap muka dibuka di zona kuning.

“Ada kekhawatiran di publik, pendidikan tatap muka di zona kuning jadi klaster baru. Apakah betul sudah terjadi klaster baru di sekolah? Ini ada kurang lebih 53 guru positif dan beberapa anak lain,” ujar politikus PKB ini.

Nadiem menampik kebijakan pembukaan sekolah tersebut memicu klaster baru Corona. Ia bilang ada investigasi dari Kemendikbud soal pemicu penularan Corona di kalangan pendidik. Hasilnya guru tersebut sudah tertular sebelum mengajar lagi secara tatap muka. Sesuai protokol kesehatan, sekolah tempat guru tersebut mengajar langsung ditutup.

“Semua klaster bukan karena kebijakan relaksasi, tapi memang kondisi infeksi yang sudah terjadi sebelumnya, yang baru ketahuan saat kita melakukan pembelajaran tatap muka,” kata Nadiem.

Terkait pembukaan sekolah tatap muka, Nadiem melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah, karena instruksi dari pemerintah pusat bersifat pilihan dan bukan paksaan. Kemendikbud mencatat sekolah tatap muka di zona hijau ada 7 persen dan di zona kuning 36 persen pada Juli dari total jumlah sekolah.

“Hak membuka sekolah di pemerintah daerah, tanggung jawab penanganan pandemi juga ada di pemda, karena pemda yang tahu. Pemerintah pusat hanya memberikan hak itu [sekolah dibuka] kembali,” kilahnya.

Kebijakan Nadiem Selama Pandemi Disorot

Selama pandemi, Nadiem mengeluarkan berbagai aturan, namun tak disertai dasar hukum dari undang-undang terkait pendidikan.

Wakil Komisi X DPR RI, Agustina Wilujeng menyebut sejumlah rekomendasi dari Panja Pembelajaran Jarak Jauh. Di antaranya ada berbagai surat edaran terkait pendidikan selama pandemi justru bikin tenaga pendidik takut. Celah untuk salah terbuka lebar, karena bisa surat edaran tak bisa jadi landasan hukum.

Ia meminta agar Kemendikbud harus menyelaraskan regulasi agar tidak melanggar UU.

“Kemendikbud harus terbitkan regulasi sesuai hierarki, bukan dalam bentuk surat edaran. SE dikeluhkan. Jika guru melakukan pelanggaran dari UU sebelumnya, tetapkan pelanggaran yang tak bisa dimaafkan,” katanya.

Kemendikbud juga disorot soal survei pembelajaran jarak jauh kepada peserta didik dan guru. Namun jumlah responden yang disurvei kurang dari 1 persen, sehingga tak dapat menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Ke depan, survei semacam itu perlu dibenahi.

Kondisi pendidikan selama pandemi yang tak jelas itu, tergambar dari kondisi masyarakat yang kepayahan meladeni sistem pembelajaran baru. Penduduk Indonesia yang bisa akses digital mencapai 175,4 juta dari 272 juta orang, tapi 64 persen terpusat di perkotaan.

Para pelajar di daerah juga kesulitan fasilitas telepon genggam agar bisa ikut belajar. Di sisi lain, akses internet juga tak merata. Serta ada para pendidik yang tak siap belajar dari rumah. Ketidaksiapan berkaitan kurikulum darurat yang belum ada.

Masalah kurikulum selama COVID-19, Nadiem bilang tak mungkin bisa ubah semuanya. Kurikulum saat ini dibuat pada 2013. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk desain kurikulum baru perlu 3 tahun. Tapi, kata Nadiem, dalam 2 bulan telah menyesuaikan kondisi, di antaranya ada pengurangan 40 persen dari kompetensi dasar. Itupun, kurikulum darurat sebagai opsi.

“Perubahan kurikulum yang dipaksakan menuai pro-kontra. Sebagian guru tak ingin diubah. Kalau dipaksa, bukan menolong guru, karena sudah biasa dengan kurikulum 2013,” kata Nadiem.

Kemendikbud kini keluarkan kebijakan baru mendukung pembelajaran jarak jauh. Antara lain pulsa untuk siswa, guru, mahasiswa hingga dosen sebesar Rp7,2 triliun.

Baca juga artikel terkait PEMBELAJARAN JARAK JAUH atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz