Menuju konten utama

Etika yang Menghambat Mobil Tanpa Pengemudi

Mobil tanpa pengemudi (autonomous car) kian siap secara teknologi. Persoalannya adalah: mesin tak dapat menggantikan manusia untuk memecahkan problem etis.

Etika yang Menghambat Mobil Tanpa Pengemudi
Pengemudi keselamatan mengangkat tangannya saat mengendarai mobil swatantra di jalan di Singapura, Jumat (23/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Edgar Su.

tirto.id - Imajinasi tentang mobil yang dapat membawa dirinya sendiri tanpa pengemudi sudah berusia cukup lama. Saat melihat hal itu terjadi di depan mata, mulut bisa menganga, dan sejumlah kata-kata seperti futuristik, canggih, keren pun berlompatan dalam pikiran.

Pada 2003, manusia sudah terpukau dengan kemampuan mobil hibrid Toyota, Prius, yang disebut dengan sistem intelligent parking assist. Sistem tersebut memungkinkan Prius melakukan parkir paralel secara otomatis tanpa bantuan tangan manusia.

Kini, dalam dua tahun terakhir, dunia semakin dibuat terpukau dengan kemampuan fitur AutoPilot pada mobil listrik buatan Tesla Motors. Meski sempat membawa korban beberapa waktu yang lalu, fitur AutoPilot yang ada pada mobil-mobil Tesla merupakan teknologi yang paling mendekati puncak teknologi mobil tanpa pengemudi (autonomous car) yang dimiliki manusia dan dapat diakses publik.

Namun di balik semua faktor "wow" itu, sesungguhnya ada beberapa hal lebih vital yang ditawarkan mobil tanpa pengemudi. Ia menjanjikan berkurangnya kemacetan di jalanan melalui kontrol yang lebih terintegrasi. Tapi yang lebih penting, teknologi ini menjanjikan mampu mengurangi angka kecelakaan kendaraan bermotor dengan tajam.

Berkurangnya angka kecelakaan jalan raya menjadi sangat penting sebab World Health Organization (WHO) mencatat 1,25 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan itu pula yang menjadi penyebab utama kematian orang muda berumur 15 hingga 29 tahun.

Jika tidak ada penanganan yang mumpuni, kecelakaan lalu lintas diprediksi akan meningkat dan akan menjadi salah satu dari tujuh penyebab utama kematian global pada 2030.

Sudah bukan rahasia jika penyebab utama kecelakaan di jalan raya adalah faktor manusia. Statistik sudah mengungkapkan fakta tersebut.

Menurut studi yang dilakukan Departemen Transportasi Amerika Serikat pada 2015, sebanyak 94 persen penyebab kecelakaan di negara tersebut adalah faktor manusia. Sementara di Indonesia, Indonesia Traffic Watch (ITW) mengklaim bahwa 80 persen penyebab kecelakaan di jalan raya pada 2014, baik kendaraan roda dua maupun roda empat, karena kesalahan manusia.

Hal yang sama terjadi di Inggris Raya. Berdasarkan catatan kepolisian, “kegagalan untuk melihat dengan baik” menjadi penyebab lebih dari 30,000 kecelakaan pada 2013.

Dengan data sedemikian rupa, teknologi autonomous car menjadi ide yang menarik. Lantas mengapa negara-negara di dunia, terlebih di AS yang saat ini memimpin pengembangan teknologi ini, tidak segera membuat peraturan yang melegalkan teknologi tersebut berjalan di jalan raya?

Jawabannya sederhana: perdebatan etik.

Masalah Troli

Akar permasalahan autonomous car secara etis dikenal sebagai "masalah troli" (the trolley problem). Inilah problem etis yang sudah menghantui teknologi ini sejak mulai muncul.

Bentuk umum permasalahan ini sebagai berikut: Ada troli yang meluncur lepas kendali di atas rel. Pada salah satu titik, terdapat lima orang yang diikat di atas rel, dan tidak bisa bergerak. Troli itu bergerak langsung menuju mereka.

Anda berdiri agak jauh dari rel tersebut, di samping tuas rel. Jika Anda menarik tuas ini, troli akan beralih ke jalur yang berbeda. Namun, Anda melihat bahwa ada satu orang di jalur yang berbeda tersebut.

Anda memiliki dua pilihan: (1) tidak berbuat apapun, dan kereta membunuh lima orang di jalur utama, atau (2) Anda menarik tuas, mengalihkan kereta ke jalur sisi di mana kereta itu akan membunuh (hanya) satu orang. Pertanyaan utama pada permasalahan ini adalah: pilihan mana yang lebih etis.

infografik trolley problem

Entrepreneur, penulis dan jurnalis John Battelle, mengatakan, dikutip dari laman NewCo Shift, sebelum adanya teknologi autonomous car, "masalah troli" hanyalah menjadi teka-teki filosofis di ranah hukum. Namun saat ini, hal tersebut menjadi pembahasan penting terutama oleh para produsen kendaraan.

Model mengemudi saat ini menempatkan tanggung jawab sosial di bahu pengemudi. Jika seorang pengemudi mengoperasikan kendaraan, maka ia bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kendaraan itu. Namun, dalam model autonomous car, maka yang memegang peranan tersebut adalah mesin yang dikendalikan oleh algaritma yang bekerja merespons aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagaimana aturan tersebut diputuskan itulah yang menjadi masalah.

Battelle menjabarkan situasi "masalah troli" pada autonomous car tersebut dalam kehidupan nyata dengan meminta kita membayangkan sedang berada dalam mobil autonomous yang tiba-tiba berhadapan dengan sejumlah anak kecil yang menyeberang secara mendadak.

Terdapat tiga pilihan yang dapat dilakukan oleh kendaraan itu. Pertama, membanting setir kendaraan ke kanan menuju jalur berlawanan, yang sangat berisiko karena harus berhadapan dengan mobil dari arah berlawanan. Kedua, membanting setir ke kiri jalan, menaiki trotoar dan jatuh pada selokan, juga masih memuat risiko yang sangat membahayakan penumpang. Atau, ketiga, tetap maju dan menabrak kelompok anak tersebut dan nyawa penumpang terselamatkan.

Jika manusia yang memegang kendali, opsi kedua merupakan opsi yang mungkin paling masuk akal untuk dilakukan. Namun hal berbeda sangat mungkin terjadi jika kendali kendaraan sudah diambil-alih oleh mesin.

Sikap Produsen Merespons Problem Etis

Mercedes Benz pada Oktober lalu, misalnya, mengatakan bahwa mereka akan lebih memprioritaskan keselamatan penumpang yang berada dalam kendaraan autonomous terbaru mereka. Hal ini berarti jika mobil-mobil Mercedes dihadapkan pada situasi itu, mereka akan memilih untuk mengambil opsi ketiga, tetap berjalan lurus, yang dapat menewaskan sejumlah anak yang menyeberang.

"Jika Anda tahu Anda dapat menyelamatkan setidaknya satu orang, setidaknya selamatkanlah satu orang itu. Satu orang yang berada di dalam mobil," kata Christoph von Hugo, manajer sistem bantuan pengemudi dan keselamatan aktif Mercedes, seperti dikutip dari laman Car and Driver. "Jika Anda tahu pasti bahwa satu kematian dapat dicegah, maka itulah prioritas pertama Anda."

Dalam perspektif produsen mobil, hal itu jelas masuk akal. Sebab, jelas tidak ada konsumen yang mau membeli mobil jika tahu mobil tersebut akan lebih memprioritaskan keselamatan orang lain daripada sang konsumen. Skenario di mana setiap produsen mobil akan mengikuti jejak Mercedes menjadi hal mudah dibayangkan.

Kondisi tersebut akan membuat situasi menjadi pelik. Pemerintah di berbagai belahan dunia, sebagai pihak yang membuat peraturan, akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memutuskan bagaimana autonomous car dapat diadopsi dan berjalan dalam kehidupan sehari-hari jika para produsen mobil memutuskan mengikuti jejak Mercedes.

Sudah jelas bahwa manusia harus menyiapkan banyak perencanaan sebelum melepaskan robot ke dalam kehidupan sehari-hari. Singkatnya, kita sangat membutuhkan rencana yang sama sekali baru untuk persoalan transportasi ini. "Sebuah rencana yang mampu dengan sangat dalam memikirkan kembali peran automobil yang dimainkan dalam kehidupan kita. Itu akan mengambil waktu setidaknya satu generasi," jelas Battelle.

Teknologi autonomous car sudah tersedia, dan teknologi niscaya akan menjadikannya semakin baik dari waktu ke waktu. Namun, dengan perdebatan etis tadi, yang akhirnya menyerempet isu politik karena terkait kebijakan yang diambil oleh negara, mungkin kita tidak akan melihat autonomous car berjalan massal dalam waktu dekat.

Baca juga artikel terkait AUTONOMOUS CAR atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Zen RS