Menuju konten utama

Eti Binti Toyib, Kisah Pembebasan TKI & Bom Waktu Hukuman Mati

Eti binti Toyib Anwar bebas setelah diyat (uang darah) Rp15,2 miliar terpenuhi dari gotong royong warga di Indonesia.

Eti Binti Toyib, Kisah Pembebasan TKI & Bom Waktu Hukuman Mati
Aktivis Migrant CARE mengangkat poster bernada protes di depan Kantor Kedutaan Besar Arab di Indonesia, Jakarta, Selasa (20/3/2018). Migrant CARE dan SBMI melakukan demonstrasi di depan Kedubes Arab setelah pemerintah Arab menjatuhkan hukuman mati pada Zaini Misrin, tenaga kerja asal Indonesia di Arab. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Eti Binti Toyib Anwar, tenaga kerja wanita (TKW) akhirnya pulang ke Indonesia, Senin (6/7/2020). Ia berangkat ke Arab Saudi untuk mencari nafkah, alih-alih selama 19 tahun terakhir Eti justru menempati sel di Arab Saudi, menanti hari kebebasan.

Eti merupakan warga Kampung Cikareo RT 1 RW 2, Desa Cidadap, Kecamatan Cingambul, Majalengka, Jawa Barat. Pada 2001, Eti bersama buruh migran lain dari India dituduh membunuh majikannya, Faisal al-Ghamdi, di Kota Taif, berjarak 65 kilometer di tenggara Kota Makkah, Arab Saudi. Sejak saat itu, Eti mendekam penjara.

Satu-satunya peluang Eti bebas dari hukuman mati adalah pembayaran diyat (uang darah). Masalahnya keluarga majikannya di awal tahap negosiasi meminta diyat 30 juta riyal atau sekitar Rp107 miliar. Kementerian Luar Negeri RI menjalankan lobi antarkeluarga. Keluarga Eti bertemu dengan ahli waris majikannya untuk meminta maaf pada 2015 dan 2016 di Arab Saudi.

Keluarga majikan Eti telah memaafkan dan tetap minta diyat pada 2017. Akhirnya dicapai kesepakatan diyat sebesar 4 juta riyal atau sekitar Rp15,2 miliar. Anggaran Kemenlu tak cukup menebus seluruh diyat. Akhirnya ada penggalangan dana pada 2018-2019 dari jaringan ormas Islam terbesar Indonesia Nahdlatul Ulama, ASN Pemprov Jawa Barat, Kemenlu dan donatur perorangan.

NU lewat sayap organisasi Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqoh (LAZISNU) berhasil menggalang ke donatur dari berbagai kalangan hingga mencapai 80 persen atau Rp12,5 miliar. Kemudian, pegawai negeri di Pemprov Jabar, tempat tinggal Eti, menyumbang hingga total Rp1 miliar, disusul Kemenlu sebesar Rp1,5 miliar. Dana gotong royong selama tujuh belan telah menyelamatkan Eti dari hukuman mati. Tapi masih ada Eti-eti lainnya yang kini menanti uluran tangan.

Kepulangannya ke Indonesia menandakan akhir dari proses panjang nan berliku dan menjadi satu kisah sukses penyelamatan TKI, di antaranya ratusan WNI yang kini terancam hukuman mati di luar negeri.

Ratusan WNI Terancam Hukuman Mati

Eti merupakan WNI pertama yang bebas dari hukuman mati dan pulang ke Indonesia pada 2020. Pada 2019, WNI di Malaysia Siti Aisyah, bebas dari hukuman mati dalam kasus pembunuhan Kim Jong-nam, saudara Presiden Korea Utara, Kim Jong Un. Siti Aisyah merupakan bagian dari 33 WNI di luar negeri yang berhasil dibebaskan Kemenlu dari hukuman mati sepanjang 2019.

Kemenlu dalam laporan kinerja 2019, menyebutkan masih ada 171 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. Lebih dari 10 di antaranya berada di Arab Saudi. Ancaman hukuman mati para WNI tersebut berkaitan kasus narkoba, pembunuhan, sihir, zina, penculikan, dan senjata api.

Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel menolak menyebutkan jumlah WNI di Arab Saudi yang terancam hukuman mati. Terkait masih adanya ancaman hukuman mati, ia berjanji akan terus mencari solusi.

“Masih ada yang high profile case. KBRI akan selalu menghadirkan negara di tengah-tengah WNI di Arab Saudi. KBRI berpegangan dengan jargon, kita datang untuk melayani bukan untuk dilayani,” kata dia kepada Tirto, kemarin.

Advokasi Lebih Baik

Meski demikian, Kemenlu terus bekerja seperti klaim Agus untuk mengadvokasi kasus WNI di luar negeri. Selama 2015-2019 atau periode pertama pemerintahan Joko Widodo, ada 253 WNI lepas dari hukuman mati. Kendati demikian, Migrant Care, organisasi nirlaba untuk buruh migran, mencatat ada enam WNI dihukum mati selama 2008-2018, empat di antaranya terjadi saat Jokowi memimpin Indonesia.

Ke-6 WNI di eksekusi mati di luar negeri yakni Yanti Irianti pada 12 Januari 2008; Ruyati 18 Juni 2011; Siti Zainab 14 April 2015; Karni Binti Merdi Tasim 16 April 2015; Zaini Misrin 18 Maret 2018; dan Tuti Tursilawati 29 Oktober 2018.

Wahyu Susilo, direktur Migrant Care, menyebut, eksekusi WNI saat Jokowi memimpin karena absesnnya advokasi hukuman mati di pemerintahan sebelumnya.

“Masih adanya ratusan WNI terancam hukuman mati ini karena advokasi tak berjalan di era pemerintahan sebelumnya. Justru sejak era Jokowi ada peningkatan advokasi terhadap pembebasan WNI yang terancam hukuman mati,” ujar Susilo kepada Tirto, kemarin.

Setiap tahun, kata dia, ada upaya pengurangan jumlah WNI yang terancam hukuman mati. Bila ke depan tak lagi ada advokasi, kasusnya akan jadi bom waktu hingga muncul eksekusi mati WNI di luar negeri. Ia mencontohkan kasus Eti, bila tanpa advokasi akan jadi bom waktu di zaman Jokowi.

"Kasus Eti ini kan ada di pemerintahan sebelumnya. Itu kalau tidak ada advokasi, akan jadi bom waktu di zaman Jokowi. Sekarang ini kepulangan saja,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait TENAGA KERJA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher & Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Zakki Amali